Hal 48-49-50-Ilustrasi-aPerdagangan bebas Asean-China diharapkan membawa harapan positif agar produk-produk Indonesia memiliki nilai jual yang lebih tinggi di kancah global. Salah satunya adalah piranti lunak  atau software. Lalu bagaimana kiprah industri software lokal sejauh ini?

Asean China Free Trade Area (ACFTA) atau perdagangan bebas antara China dan negara-negara ASEAN, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam tak terasa telah setahun berlangsung. Jika pada masa awal pakta perdagangan ini diberlakukan banyak sekali terjadi pro kontra di media, kini kritik tajam tampak semakin redup.

Pada kenyataannya, meski beberapa industri di tanah air dikabarkan merugi, namun ACFTA tak semuanya bersisi negatif.  Di dunia teknologi informasi (TI), industri piranti lunak atau software lokal terbilang cukup berkembang dengan jumlah pemain yang  tumbuh pesat.

Menurut International Data Corporation (IDC) pada 2010 lalu, jumlah software house atau independent software vendor (ISV) di Indonesia pada 2006 tercatat sekitar 250 pebisnis. IDC memprediksi,  pelaku bisnis software  akan terus berkembang hingga mencapai 500 perusahaan hingga 2011.

Berkaca pada survei yang dilakukan sebuah situs pekerjaan online di Amerika, CareerCast.com, pelaku bisnis software ataupun pembuat software memang cukup menjanjikan. CareerCast.com melaporkan bahwa  pembuat software menduduki peringkat teratas sebagai pekerjaan terbaik di tahun 2011 karena memiliki tingkat stres yang rendah, bayaran yang bagus, dan permintaan pasar akan perangkat canggih yang terus meningkat.

Survei yang mengevaluasi 200 profesi berdasarkan data dari U.S Bureu of Labor Statistics ini juga menyebutkan ahli sistem komputer sebagai pekerjaan yang baik karena  umumnya dibayar dua kali lipat dari pekerjaan peringkat terburuk, yakni pekerja kilang minyak.

Apalagi, kualitas software produksi lokal juga terus meningkat dan tidak kalah handal dibandingkan piranti lunak buatan asing. Bahkan untuk beberapa jenis software, produk lokal lebih unggul dibandingkan buatan asing.

Direktur PT Realta Chakradarma, Wiwin Wangsa mengungkapkan, piranti lunak produk lokal tidak kalah kualitasnya dengan buatan asing, dan juga kompetitif dari sisi harga. “Pemberlakuan ACFTA awal tahun lalu terbukti bukan merupakan sebuah ancaman, karena  kualitas software produksi dalam negeri semakin meningkat dan bisa bertahan, bahkan  mampu berekspansi ke luar negeri,” katanya seperti dikutip Republika.

Karena itu, kata Wiwin, sudah sewajarnya jika perusahaan di Indonesia lebih memilih software buatan lokal.

Prospek di Indonesia

Menurut catatan asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki), saat ini ada sekitar 250 perusahaan yang bergerak mengembangkan peranti lunak.

“Dari data kami memang ada 250 perusahaan di bidang pengembangan software di Indonesia. Namun pengembang individu ataupun perusahaan yang termasuk sebagai perusahaan startup jauh lebih banyak dan tidak terhitung,” tukas Ketua Aspiluki, Djarot Subiantoro, di pembukaan iMulai 3.0, di Jakarta (25/1).

Ditambahkan olehnya, selama tahun 2010 lalu telah terjadi lonjakan aplikasi yang dikembangkan oleh developer lokal. Menurut Djarot, lonjakan ini disebabkan oleh aplikasi untuk perangkat mobile. Hanya saja di Indonesia sendiri, komposisi antara penjualan hardware dan ketersediaan software belum berimbang. Dia menyebutkan penjualan hardware mencapai 80 persen, sedangkan software hanya 20 persen saja.

“Ini artinya, penggunaaan komputer di Indonesia hanya sebagai pengganti mesin tik saja. Bandingkan dengan negara Eropa yang komposisinya sudah 60 persen untuk hardware dengan 40 persen untuk software,” sebutnya.

Djarot memprediksi, di tahun 2011 ini ada kemungkinan pertumbuhan 11 sampai dengan 12 persen untuk perusahaan startup teknologi informasi (TI) di tanah air. “Namun, angka ini termasuk flat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu,” tandasnya.

Di sisi lain, Donny A. Sheyoputra, perwakilan Business Software Alliance (BSA) Indonesia mengatakan, potensi bisnis software di Indonesia masih benar-benar menjanjikan. Pasalnya, jutaan perusahaan berskala kecil dan menengah hingga ratusan ribu sekolah siap menyerap berbagai produk piranti lunak ini.

M. Ismail Thalib, Presiden Direktur PT Zahir International yang juga merupakan salah satu anggota lokal BSA mengatakan, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) adalah salah satu pangsa pasar yang menjanjikan untuk bisnis software di Indonesia. “Jumlah UKM di Indonesia itu ada 40 juta perusahaan,” ucap Ismail.

Indra Sosrodjojo, CEO PT Andal Software berpendapat, kebutuhan software di Indonesia seharusnya bisa dipenuhi oleh vendor software lokal.  “Dari 500 industri TI Indonesia yang masuk untuk jualan produk software cuma 20%,” jelasnya.

Indra menambahkan, “Sebenarnya, keunggulan software asing itu hanya di segi pengalaman membuat software saja. Sedangkan di segi kualitasnya orang Indonesia bisa mengusahakannya.”

Padahal untuk memakai software asing ini banyak kesulitan yang ditemui pengguna. Pertama, software asing itu harganya mahal, karena dibeli dengan dolar Amerika. Kedua,  bahasa programnya dengan bahasa Inggris, sehingga butuh orang yang mengerti bahasa inggris yang baik untuk memakainya. Ketiga, dibuat secara umum tidak menyentuh karakter kultur perusahaan yang ada di Indonesia.

Hal 48-49-50-Ilustrasi-bSoftware Lokal

Bicara kualitas, software produksi lokal tidak kalah handal dibandingkan piranti lunak buatan asing. Bahkan cukup banyak perusahaan asing yang menggunakan software buatan lokal.

Direktur PT Realta Chakradarma yang mengembangkan software untuk perhotelan, Wiwin Wangsa mengungkapkan, bukan hanya handal, dari sisi harga, software lokal juga lebih kompetitif dibandingkan software asing.

Wiwin mencontohkan, software Rhapsody dan Hotelite yang dikembangkan Realta Chakradarma telah diaplikasi di 160 hotel di seluruh Indonesia di bawah grup Accor. Rhapsody digunakan untuk hotel bintang empat dan lima sedangkan Hotelite untuk hotel bintang dua dan tiga. Hotelite memiliki tiga modul utama yang terintegrasi dan lengkap yaitu Front Office (antara lain front office, point of sales, dan marketing), general ledger, dan modul logistik (cost control and inventory).

“Jadi software ini melayani dari front office hingga keperluan logistik seperti pengadaan barang. Semuanya bisa terkontrol. Bahkan hingga ke pemasukan selain kamar, seperti penjualan berbagai barang kerajinan. Sedangkan software serupa dari luar negeri biasanya hanya melayani front office saja. Sedang backoffice seperti pengadaan barang tidak termasuk dalam sistem sehingga banyak kebocoran,” imbuh Wiwin.

M. Ismail Thalib Direktur PT Zahir Internasional mengemukakan hal yang sama. Menurutnya, banyak software buatan dalam negeri kualitasnya lebih bagus dibandingkan buatan luar negeri. Sebab produk lokal lebih sesuai dengan karakter dan kebutuhan lokal. Sedangkan produk asing belum tentu sesuai dengan kebutuhan para penggunanya di dalam negeri.

“Contohnya software akuntansi yang dikembangkan Zahir dan membidik kalangan usaha kecil menengah atau UKM. Software ini dibuat sesuai dengan kebutuhan UKM di Indonesia sehingga harganya terjangkau. Di luar juga banyak software untuk UKM yang dibuat Amerika, Australia, Malaysia,dan Singapura. Tapi tidak semuanya bisa diaplikasikan di sini karena kondisinya memang berbeda,” katanya.

Menurut Ismail, potensi pengembangan piranti lunak lokal masih sangat besar. Sebab pasarnya juga sangat besar. Misalnya, dari jutaan UKM yang ada di Indonesia, baru sejumlah kecil usaha yang menggunakan TI untuk mendukung kegiatan bisnisnya. “Jadi pasar untuk software UKM masih terbuka lebar. Sebab penggunanya memang masih sedikit. Ini menjadi peluang tersendiri,” imbuh Ismail.

Pasar Luar Negeri

Selain digunakan di dalam negeri, software lokal juga sudah banyak yang berekspansi ke luar negeri. Ini membuktikan software lokal memiliki kualitas yang bia diandalkan. Salah satunya adalah software produksi PT Realta Chakradarma.

“Sejumlah hotel di Singapura sudah menjadi klien kami dan mengaplikasikan software untuk perhotelan yang kami kembangkan. Ini tentu membanggakan kami meskipun sebenarnya kami lebih fokus pada pasar dalam negeri karena masih terbuka lebar,” terang Wiwin.

Ekspasi juga dilakukan oleh PT Pesona Edukasi yang mengembangkan software PesonaEdu. Sesuai namanya, software ini ditujukan untuk dunia pendidikan. Piranti lunak ini telah diekspor ke lebih dari 23 negara di dunia. Ini membuktikan software lokal bisa berbicara di kancah global. PesonaEdu adalah piranti lunak yang membantu guru menerangkan sains, matematika dan fisika dengan lebih mudah sehingga bisa dipahami murid. Siswa belajar dengan melihat video yang membahas salah satu topik pelajaran dengan sistem simulasi interaktif. Berbagai topik terkait sains, matematika dan fisika dibahas dalam software ini. Perpaduan antara suara dan gambar animasi yang ditampilkan dengan simulasi interaktif ini diharapkan dapat membuat siswa lebih memahami sains, matematika dan fisika.

“Software ini ditujukan sebagai alat bantu guru untuk mengajar. Guru tidak bisa lagi bersikap konvensional dan harus membuka diri terhadap tren TI yang ada. Siswa pun dapat menemukan kesenangan untuk belajar sains, matematika dan fisika melalui software ini,” ungkap General Manager (GM) PT Pesona Edukasi, Simon Bone.

PesonaEdu, lanjut Simon, memiliki lebih dari 1.500 simulasi interaktif yang sudah diterapkan di lebih dari tiga ribu sekolah di Indonesia. Piranti ini ditujukan mulai dari SD, SMP, SMA dan juga SMK. Kehebatan software ini sudah diakui kehebatannya di dunia internasional, antara lain dengan meraih penghargaan terbaik ketiga di bidang software Matematika dan Sains. Pada ajang World Summit Award di Italia, November 2007, piranti lunak buatan anak negeri itu berhasil menonjol diantara pebisnis software dari 85 negara peserta.

Perusahaan pembuat software lokal yang patut diperhitungkan adalah PT. C&C (Cindy dan Chintia).   Direktur Utama PT. C&C, Widiyantono mengungkapkan,  saat ini mereka mempunyai  sekitar 15 produk yang juga telah digunakan di luar negeri, diantaranya Sistem Absensi Wajah, Sistem Absensi Wajah dan Sidik Jari, Sistem Antrian Multi Media,  Sistem Deteksi Infus dan Visitor Management.

“Produk kami memiliki tingkat kandungan dalam negeri paling tinggi yaitu 70%,” kata Widiyantono kepada BISKOM awal Januari lalu. Yang membanggakan, Inggris, Amerika, Nigeria, China dan Jepang juga sudah menggunakan software PT. C&C.

Kendala Perkembangan Software Lokal

Banyak masalah yang dihadapi oleh perusahaan TI lokal dalam mengembangkan perusahaan di pasar software. Mulai dari sistem pembayaran hingga pusat penyebaran teknologi itu sendiri. Dipaparkan Djarot Subiantoro, saat ini banyak perusahaan startup yang gagal berkembang karena masalah pembayaran sistem software yang dibeli oleh pihak tertentu.

“Dulu sistem pembelian dilakukan dengan ‘sistem putus’, dengan komposisi pembagian yang telah diatur. Namun saat ini sistem pembayaran berubah dan dilakukan secara per bulan. Ini yang membuat perusahaan startup software gagal berkembang,” terang Djarot.

Sementara itu penyebaran teknologi yang cukup terjadi jurang perbedaan antara pengguna di daerah Jawa dan di luar Jawa yang terlalu besar. Sehingga perusahaan tidak bisa mengembangkan ide bisnisnya lebih jauh lagi.

Djarot pun mempunyai beberapa solusi bagi perkembangan industri software di tanah air, diantaranya adalah fokus belajar pada negara tertentu yang sudah berkembang industri peranti lunaknya. Seperti diketahui, India kuat di bidang pengembangan software, Taiwan maju dalam industri semikonduktur dan Malaysia pun.

“Kita tidak bisa memilih ketiganya menjadi kiblat perusahaan TI. Perlu ada fokus satu negara saja yang harus dipilih,” sebutnya.

Solusi yang terakhir adalah masih diperlukannya pusat semacam inkubasi bagi ide-ide perusahaan TI untuk mulai mengembangkan aplikasi. Untuk hal ini maka diperlukan kerja sama antara perguruan tinggi, pemerintah dan perusahaan itu sendiri, meski ketiganya saat ini memiliki ego dan kepentingan masing-masing.

“Perguruan tinggi kebanyakan teori, pemerintah terlalu ribet dengan aturan-aturan sedangkan perusahaan mengejar keuntungan. Ketiganya tentu harus disatukan untuk menciptakan semacam pusat inkubasi,” tandasnya.

Masalah lain yang terus menjadi momok adalah persoalan pembajakan. Kurangnya pendidikan atau kesadaran publik dan penegakan hukum menjadi momok berlanjutnya jumlah pembajakan di Indonesia. Padahal, studi IDC yang meneliti manfaat ekonomi yang diperoleh dengan menekan pembajakan software di 42 negara di seluruh dunia meyebutkan bahwa pengurangan tingkat pembajakan software sekitar 10 persen dapat menciptakan 500.000 lapangan kerja berkualifikasi high-tech job dalam kurun waktu tiga hingga empat tahun di seluruh dunia, atau sekitar  1.884 lapangan kerja di Indonesia.

Selain itu pengurangan tingkat pembajakan software juga meningkatkan GDP sebesar US$ 2,4 miliar dan menghasilkan pemasukan pajak hampir sebesar US$ 124 juta pada 2013.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.