PENGGUNA internet acap kali tidak berdaya menghadapi serangan peretas (hacker). Padahal baik pengguna pribadi, perusahaan, perbankan hingga negara dipastikan memiliki data rahasia yang tersimpan dalam jaringan internet, dan tidak boleh diakses pihak lain tanpa ijin. Yang menghawatirkan, para peretas terus bertambah hingga mencapai jumlah yang mencengangkan.
Federasi Terknologi Informasi Indonesia (FTII) mencatat, ada sekitar 42.000 serangan cyber dalam jaringan internet Indonesia. “Kami mencatat adanya serangan cyber yang jumlahnya hingga 42.000 per hari. Tanpa kita sadari, serangan tersebut bisa juga mengancam pertahanan dan keamanan negara, karena para hacker luar memang mengincar fasilitas vital di dalam negeri,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) FTII, Irwin Day.
Menurutnya, malware adalah jenis serangan cyber paling berbahaya dan paling banyak. “Banyak malware dan virus yang tanpa disadari kita unduh, kemudian mencuri data kita lewat jaringan internet. Setiap hari menjadi bagian tugas kami untuk menangkalnya dengan anti virus dan anti malware yang anggota kami buat,” tambahnya.
Sementara Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jenderal TNI Budiman mengakui, Indonesia memang masih rawan dengan serangan berbasis teknologi informasi (TI). Ia mencontohkan, baru-baru ini isu penyadapan sempat jadi pembicaraan hangat di Indonesia. Bahkan ujicoba peralatan TNI Angkatan Darat (AD) juga pernah diretas oleh pihak lain.
“TNI AD mulai mencoba agar jaringan negara tak bisa disadap. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan software dan perangkat lokal. Dengan produk buatan lokal, secara mandiri kita bisa mengenal produk itu sendiri untuk kemudian melakukan antisipasi sedini mungkin,” ujar Budiman.
TNI AD juga berusaha untuk tidak menjadi korban penyadapan. TNI AD akan semakin memperkuat keamanan dengan melatih sumber daya prajurit. Upaya yang dilakukan adalah dengan menjalin kerjasama dengan para pakar teknologi informasi di FTII. Nantinya, FTII akan memberikan pelatihan hacking untuk para prajurit TNI AD.
Kerjasama tersebut tertuang dalam penandatangan nota kesepakatan atau MoU antara TNI AD dengan FTII pada hari ini di Mabes AD, Jakarta (16/5).
Ketua Umum FTII, Sylvia W. Sumarlin mengatakan, “Kami sudah melatih 30 prajurit untuk bisa paham hacking for forensic. Kerjasama ini sendiri sudah berjalan dua tahun. Target pelatihan diperuntukan bagi 100 prajurit.”
Melalui kerjasama ini pula, papar Budiman, TNI AD mencoba mengikuti pola riset teknologi yang dilakukan negara maju. “Di negara maju, ilmu maupun riset biasanya didapat oleh militer. Kemudian turunan risetnya diberikan ke pemerintahn. Setelah itu diberikan ke bisnis sebelum dijual ke negara berkembang,” katanya.
Kedepannya TNI AD dan para pakar TI berencana untuk mengembangkan robot yang bisa digunakan dalam kegiatan militer, dan dalam waktu dekat juga akan mengembangkan pesawat tanpa awak (UAV) untuk kegiatan pemetaan wilayah dan spionase. • M. TAUFIK
Berita terkait:
– Perkuat Sistem Pertahanan, TNI Luncurkan OpenBTS