Jakarta, BISKOM – Usai permohonan Peninjauan Kembali (PK)-nya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA), kini nasib dari terpidana kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Baiq Nuril berada di tangan Presiden.
Baiq pun dikabarkan akan segera mengajukan amnesti ke Presiden Joko Widodo dengan harapan agar orang nomor satu di Indonesia tersebut dapat melepaskan dirinya dari jerat hukuman penjara.
Di sisi lain, MA sendiri mengaku tak mempermasalahkan persoalan itu. Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro menjelaskan bahwa Baiq Nuril memiliki hak untuk mengajukan amnesti ke Presiden.
“Hak pemohon dalam hal ini Baiq Nuril, kemudian itu juga diatur dalam UUD 1945,” kata Andi di ruangan Media Center MA, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Meski begitu, Andi mengingatkan bahwa meskipun permohonan amnesti sudah diajukan, Presiden tidak serta merta bisa segera mengambil tindakan lantaran dirinya harus mendengarkan pertimbangan serta pendapat dari lembaga legislatif terlebih dahulu. Pasalnya, kasus Baiq Nuril ini memerlukan pengamatan yang jeli. Sehingga adalah yang terbaik jika Jokowi mempertimbangkan dengan baik terkait hal pemberian amnesti.
“Pada Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 disebutkan, Presiden harus mempertimbangkan pertimbangan MA sebelum memberi Grasi atau Rehabilitasi. Kemudian, Pasal 14 ayat (2) UUD menyatakan bahwa Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR,”katanya.
Oleh karena itu, Andi menyebut DPR selaku lembaga legislatif akan memberikan pendapatnya terkait Amnesti yang akan diajukan oleh mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram.
“Jadi kalau menempuh amnesti yang memberikan pendapatan atau rekomendasi adalah DPR,”jelas Andi.
Tak Ada Maladministrasi
Keputusan MA menolak permohonan PK Baiq Nuril sempat mendapat cibiran dari Ombudsman. Seorang anggotanya, Ninik Rahayu menyebut bahwa MA telah mengesampingkan Perma No.3 Tahun 2017 terkait Penanganan Kasus Perempuan Berhadapan Dengan Hukum dalam penolakan PK terhadap Baiq Nuril.
Ombudsman bahkan tega menyebut bahwa terdapat praktek maladministrasi, penyalahgunaan wewenang serta sejumlah penyimpangan prosedur dalam badan MA ketika menangani kasus Baiq Nuril.
Tak terima, Andi lalu secara tegas membantah bahwa pihaknya tidak sedikit pun melakukan hal tercela seperti itu. Lebih lanjut, Andi menilai bahwa pernyataan Ombudsman tidak berdasar.
“Ombudsman mensinyalir bahwa ada maladministrasi, saya mengatakan itu tidak berdasar, memang kita mengeluarkan Perma no 3 tahun 2017 tentang pedoman dalam menangani atau mengadilan perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum,” tutur Andi.
Andi menjelaskan dalam isi Perma tersebut adalah perempuan yang berkonflik, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi serta perempuan sebagai pihak.
“Baiq Nuril disini perempuan sebagai terdakwa. Kalau menjadi korban, ada jalur hukumnya. Tapi yang diadili bahwa dia diposisikan sebagai pihak terdakwa,” ujar dia. (Hoky)
Sumber: Info Breaking News.