Akademisi Unika Soegijapranata, JC Tukiman Taruna Sayoga, Ph.D.

Semarang, BISKOM – Pola relasi sosial (PRS) memang sedang berubah, siap-siap sajalah. Dulu, sebutlah sangat subur di era Orde Baru (Orba), PRS sangat didominasi oleh ABS, -asal bapak senang- , bukan saja melanda pada tataran birokrasi dan para birokratnya, bahkan sampai ke tataran rumah tangga pun pola ABS berlangsung. “Seiring tumbangnya Orba, di era reformasi, PRS masuk ke dalam kategori “bungahi sakarepe dhewe,” cenderung suka-suka karena eforianya merasa terlepas dari kekangan pola ABS,” terang Akademisi Unika Soegijapranata Semarang, JC Tukiman Taruna Sayoga, Ph.D.

Seolah terimbas oleh gejala PRS sekehendak hatinya sendiri, sekarang ini tiba saatnya PRS Sosiometrik; contohnya: Seorang Bupati marah-marah dan menyebut (seorang) Menteri ngeyel, goblok, bla….bla….. Ada juga seorang Walikota “meledek” kepala pemerintahan dan kepala Negara untuk jangan datang ke wilayahnya meskipun dalam konteks mudik. Sejumlah kepala daerah, katanya juga mengungkapkan protesnya kepada Pemerintah Pusat karena merasa aturan pusat tidak sinkron pun tidak jelas, dan sebagainya. Intinya, tibalah PRS sosiometrik; siapa seolah-olah bebas mencaci siapa hanya karena alasan tidak senang’ atau siapa memuji-puji setinggi langit seseorang hanya karena sedang senang pada orang itu.

Menurut Taruna, PRS masyarakat kita sangat didominasi oleh empat struktur, yakni struktur komunikasi, kekuasaan, sosiometrik, dan lokomosi; dan keempatnya itu bisa bergeser ke kanan atau ke kiri seperti pendulum seturut zamannya. Seperti contoh ABS di atas, zaman itu PRS yang lebih dominan adalah struktur kekuasaan, karena seluruh PRS bertumpu kepada (seseorang) yang sedang berkuasa. Sampai ke tingkat rukun tetangga (RT) dan RW pun, saat itu sangat terasa sekali PRS berstruktur kekuasaan. Di era reformasi, PRS yang berkembang lebih ke pola komunikasi, yaitu pola relasi yang ditumpukan pada cara dan struktur komunikasi saat itu, utamanya komunikasi politik. Di era reformasi, siapa yang punya pengaruh (kuat) adalah mereka yang piawai melakukan komunikasi (politik), maka tidak mengherankan tumbuh suburnya partai politik terjadi saat itu.

Taruna menegaskan, PRS dengan struktur sosiometrik semakin menggejala akhir-akhir ini, yaitu pola relasi yang didominasi oleh senang dan tidak senang.  “Lihat saja contoh yang telah disebutkan di atas, betapa siapa pun, -lupakah pada jabatan dan amanah yang sedang diemban?- bisa marah-marah termasuk mengungkapkan dengan kata-kata kasar karena (sedang) tidak senang. Pola relasi sosial senang dan tidak senang mendikotomi masyarakat kita ke dua kelompok besar yang seolah-olah saling berhadap-hadapan untuk “saling melempar bom Molotov:” kelompok yang di sini menyebut kelompok yang di sana “Ka”, sedang kelompok Ka menyebut yang di depannya adalah kelompok “Ke,” misalnya.  PRS senang dan tidak senang diembuskan dengan berbagai cara dan memang rasanya semakin subur karena medianya semakin mudah, murah, cepat, dan bisa berlipat. Nulis satu dua kata saja segera bisa di share ke ratusan bahkan ribuan orang hanya dalam hitungan detik. Itulah PRS sosiometrik yang sedang sangat menggejala namun juga sangat  memrihatinkan,” ujar Taruna.

Lebih lanjut Taruna mengatakan, PRS dengan struktur lokomosi sebenarnya sedang trending di kalangan milenial, karena para milenial sedang “ditarik perhatiannya” ke cara-cara berfikir, berkarya, dan berkehidupan ala milenial. “Sayang, minggu-minggu terakhir ini kaum milenial sedang “dihabisi” dengan kejamnya oleh orang-orang yang tampaknya lupa bahwa mereka pun dulu pernah muda. Mundurnya dua sosok milenial dari Stafsus Presiden, contohnya, sertamerta kejamnya “orang-orang tua” menghakiminya, rasanya akan berpengaruh kepada perkembangan PRS lokomosi. Padahal, pada intinya, PRS lokomosi menegaskan bahwa setiap zaman itu mempunyai/ada daya tariknya sendiri-sendiri; dan tidak perlu ada pihak-pihak yang iri atau menghalangi daya tarik itu berkembang,” pungkasnya. (red)