Ketua Dewan Penyantun dan Pengajar Program Pascasarjana pada Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, JC Tukiman Taruno Sayoga Ph.D.

Semarang, BISKOM – Benang merah yangdapat saya tarik atas pencermatan berbagai kajian, koreksi, bahkan protes terhadap RUU HIP, ialah adanya  beberapa titik lemah pada rancangan undang-undang itu, dan yang terlemah ada pada dugaan akan terjadinya bahaya degradasi Pancasila. Awal dari bahaya degradasi itu sudah dimulai dari judul RUU, yakni Haluan Ideologi Pancasila. Bukankah Pancasila itu sudah final, sudah “given” bagi bangsa Indonesia, dan kalau sekarang ini dirancang akan adanya undang-undang baginya, itu berarti menempatkan Pancasila pada posisi yang justru “mudah tergoyang.” Bukan suatu hal yang mustahil sebuah undang-undang ke depannya dapat diganti atau sekurang-kurangnya diamandemen. Nah, bahaya kan?

Mengawali telaah ini, saya mengusulkan judul/nama undang-undang itu diubah menjadi Undang-undang tentang haluan membangun Negara kesatuan Republik Indonesia, dan berarti rancangannya menjadi RUU Haluan Membangun NKRI. Draft RUU dan Naskah Akademik yang sudah ada tetap dipakai dengan sejumlah perubahan penyesuiannya. Beberapa argumentasi mendasari usulan perubahan judul ini, pertama, mimpi DPR dalam RUU HIP adalah sangat pentingnya negeri kita RI ini memiliki pedoman, pegangan, dan haluan membangun. Mengapa sangat penting? Selama ini keluhan utama di mana-mana ialah masih kuatnya ego sektoral dan ego-ego lainnya, dan dampak dari berbagai pembangunan secara egoistis itu sangat terasa dalam berbagai tumpang tindihnya kebijakan atau pun peraturan, sulitnya koordinasi maupun garis kebijakan, dan sebagainya.

Mimpi indah DPR seperti itu pantas kita apresiasi dan dukung, dan dalam semangat meraih tujuan mulia itu, perlu disadari secara kolektif betapa landasan ideologi membangun NKRI itu adalah Pancasila. Tegasnya, haluan membangun NKRI adalah penjabaran Pancasila secara utuh-bulat, bukannya “diperas-peras” seperti banyak protes atas RUU HIP. Dengan kata lain, penyesuaian yang harus ditempuh adalah membuang sejumlah uraian dan pasal yang bernuansa “memeras” Pancasila.

Kedua, membangun NKRI ke depan bukan saja membutuhkan haluan dan perumusan perundang-undangannya, melainkan membangun NKRI itu sebuah kebutuhan serta motivasi dasar dalam penyelenggaraan Negara ini. Naskah akademik dan rumusan RUU HIP sangat kuat menegaskan tentang betapa pentingnya para penyelenggara Negara ini berpedoman pada haluan yang baku, tegas, dan jelas. Sekarang ini saatnya kita sepakati terbitnya undang-undang tentang haluan membangun. Ketiga, protes atau pun koreksi atas RUU HIP terutama pada (a) pentingnya TAP MPR no XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan ajaran Komunisme/Marxisme perlu masuk dalam konsideran. Menurut kalangan DPR sendiri, ada pengakuan bahwa tidak dicantumkannya TAP MPRS no XXV itu dalam konsideran hanya melulu kelalaian saja, bukan kesengajaan. Artinya, tuduhan adanya akomodasi terhadap peluang hidupnya kembali komunisme di NKRI sudah dijawab tidak benar.

Berikutnya, (b) adanya kekawatiran karena dalam RUU HIP terjadi distorsi konsep ketuhanan dan keadilan sosial  dengan sangat jelas akan dapat terselesaikan jika semua uraian yang ditengarai distorsif itu diganti dengan berbagai pedoman membangun NKRI sebagai implementasi dan upaya membumikan Pancasila  mulai dari  sila pertama sampai dengan sila ke lima. Dan (c) di antara berbagai protes atau ungkapan keberatan, ada pihak-pihak yang mengusulkan agar RUU HIP ditarik atau setidaknya ditunda pembahasannya untuk menghindarkan protes-protes lain yang bisa menjadi kontra-produktif. Terkait hal ini, DPR-RI, terutama Baleg, hendaknya segera mengambil kesepakatan untuk mengganti judul RUU HIP menjadi RUU Haluan Membangun NKRI dan selanjutnya menuntaskan perbaikan redaksional atas perubahan itu. Para legislator hendaknya yakin bahwa mimpi besarnya tidak akan mengalami perubahan apa pun bila judulnya berubah.

Tanggapan gegap-gempita atas RUU HIP memberikan pembelajaran politik sangat berharga, di antaranya, apa pun dan siapa pun tidak boleh tergesa-gesa ketika akan dan harus membuat keputusan penting. DPRRI pun tidak boleh tergesa-gesa, apalagi dalam membuat perancangan sebuah undang-undang ada pikiran: “Pokoknya ada dulu draftnya, kelengkapannya menyusul.”  Masyarakat sangat tahu betapa sulitnya koordinasi kerja di level DPRRI, tetapi sesulit apa pun pikiran seperti disebutkan di atas hendaknya tetap dihindari. Pada sisi yang lain, merebaknya sebuah isu, -apalagi beberapa isu- , sering sudah sangat mudah menyulut timbulnya berbagai respons padahal belum tentu orang/pihak yang memberi respons itu membaca naskah akademik maupun draft rancangan undang-undangnya. Misalnya, isu adanya degradasi nilai-nilai keadilan sosial dimunculkan oleh seseorang, segera dan amat cepat isu itu berkembang-merebak meski orang-orang itu belum tentu membaca tuntas; maka belum tentu tahu juga di mana degradasinya terjadi, atau mengapa makna keadilan sosial terdegradasi.

Simpulannya, DPR terutama Baleg, hendaknya segera menempuh strategi gerak cepat dan jangan menunggu ada protes lain atas RUU HIP ini. Selamat bekerja bermotto 3 C: cepat-cerdas-cermat demi NKRI.

Penulis: JC Tukiman Taruna Sayoga Ph.D., Akademisi Unika Soegijapranata Semarang (red)