Beberapa waktu yang lalu muncul suatu diskusi, dimana pada kondisi saat ini, ketika data kependudukan tidak kunjung benar, mana yang lebih urgent dipilih: membangun sistem jaringan dan integrasi Sistem Informasi Kependudukan atau menerapkan biometrik sebagai upaya melakukan verifikasi data kependudukan? Kelihatannya duplikasi database kependudukan memang sangat krusial. Hingga saat ini belum ada kebijakan yang benar-benar efektif di bidang kependudukan, sehingga negara ini kesulitan mendata penduduknya sendiri.
Tren biometrik yang diyakini unik dengan spesifik karakteristik fisiologi manusia, sudah banyak digunakan di berbagai negara, terutama pada pasport. Tren biometrik ini pula yang mengilhami kebijakan biometrik pada pasport Indonesia. Dewasa ini Surat Ijin Mengemudi (SIM) pun mulai ketularan melalui rencana mempercanggih SIM dengan teknologi biometrik. Dan yang terakhir diwacanakan adalah penggunaan Kartu tanda Penduduk (KTP) dengan teknologi serupa, dengan harapan kepemilikan identitas ganda dapat diminimalisir.
Pada sisi berbeda, beberapa kalangan berpendapat bahwa untuk mewujudkan identitas tunggal, biometrik masih tidak efektif. Yang urgen diwujudkan dengan existing Teknologi Informasi kependudukan yang sudah digelar di berbagai daerah adalah pembangunan networking dan mengintegrasikan Sistem Informasi kependudukan. Identitas ganda akan menjadi lebih sulit diwujudkan bila Sistem Informasi kependudukan benar-benar telah terintegrasi melalui sistem interkoneksi.
Mengapa harus ganda?
Sistem administrasi dalam pelayanan publik di Indonesia, meskipun sudah ditopang dengan implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi, kurang memberi kemudahan bagi seorang perantau misalnya, untuk melakukan pembaharuan dokumen publiknya, seperti memperpanjang KTP. Meski secara de yure dilarang, secara de facto seseorang realtif lebih mudah memperoleh identitas baru dari pada harus mengeluarkan banyak energi untuk memperpanjang KTP ke kampung halaman yang jaraknya ratusan kilometer.
Sebuah KTP baru pada pria dewasa relatif mudah didapatkan meski tanpa dilengkapi surat pindah dari daerah asal. Sehingga jalan pintas memang dirasakan lebih efektif dan efisien, apalagi didukung oleh lemahnya law enforcement dibidang dokumen sektor publik ini. Alhasil, pengembangan e-government, menjadi paradoks produktifitas.
Pola pelayanan pemerintah yang terkotak-kotak dalam area kebijakan otonomi daerah menyebabkan Pemerintah Daerah lebih fokus kepada layanan lokal. Konsep integrasi pelayanan umum kurang terperhatikan oleh raja-raja kecil. Layanan pemerintah lintas otonomi daerah sulit sekali diwujudkan. Tidak heran bila praktek-praktek duplikasi identitas penduduk pun mudah, murah, efektif dan bahkan transparan dilaksanakan. Bagaimana bisa kondisi ini bertahan lama dari negara kesatuan yang bernama Republik Indonesia? Adakah kondisi pelayanan pemerintah seperti ini yang diidamkan warga negara?
Biometrik
Biometrik memang unik. Implementasi teknologi ini dalam identitas penduduk, seperti KTP misalnya memang memungkinkan authentifikasi seseorang dengan dokumen identitasnya lebih valid. Potensi pemalsuan identitas jadi relatif lebih sulit dilaksanakan. Namun, pulau-pulau informasi yang saat ini dijalankan antar Pemerintah Daerah, memungkinkan seseorang tetap bisa memiliki lebih dari satu identitas.
Misalkan penduduk pada Pemerintah Daerah A yang sudah beridentitas KTP biometrik, tetap bisa membuat identitas yang sama di Pemerintah Daerah lain, karena antara Pemerintah Daerah yang satu dengan yang lain tidak dapat saling melakukan verifikasi. Misalkan pun verifikasi antar pulau informasi (antar Pemerintah Daerah) dilakukan secara periodik offline (tidakrealtime), jelas akan memakan waktu yang tidak sebentar. Dan ini cenderung tidak disukai, karena pelayanan pemerintah akan dirasakan lebih lambat daripada sebelumnya.
Sistem pelaporan data kependudukan Pemerintah Daerah kepada Direktorat Jenderal Adminduk Departemen Dalam Negeri yang dilakukan secara periodik sangat dimungkinkan teridentifikasinya duplikasi data kependudukan. Namun, mekanisme ini akan dirasakan terlambat, karena dokumen duplikasi sudah terlanjur beredar di masyarakat. Dan tentu saja diperlukan kerja extra dan berpotensi berbiaya mahal untuk melakukan tindakan hukum dalam upaya menertibkan identitas kependudukan.
Pengalaman membuktikan, bahwa tingkat kedisiplinan Pemerintah Daerah untuk melakukan update database kependudukan kepada Departemen Dalam Negeri relatif rendah. Bukti sederhananya adalah, data pemilih pemilu/pilkada dan penduduk miskin yang selalu menuai masalah. Implementasi TIK bagi kepentingan kependudukan belum optimal.
Dari sisi biaya pun, kebijakan identitas kependudukan biometrik jelas tidak murah, apalagi dengan teknologi biometrik tercanggih yang relatif lebih sulit dimanipulasi. Teknologi biometrik juga dianggap masih banyak kelemahan, seperti authentifikasi sidik jari yang mudah terganggu bila tangan kotor atau terluka. Komponen biaya juga makin membengkak karena teknologi biometrik memerlukan perangkat keras Teknologi Informasi dan Komunikasi berkecepatan tinggi, yang tentu saja berbanding lurus dengan biaya.
Interkoneksi
Pada dasarnya, semua penduduk Indonesia sudah terdata oleh pemerintah. Permasalahannya, tidak sedikit penduduk yang terdata ganda atau sengaja mendatakan diri secara ganda untuk berbagai alasan. Kebijakan pemerintah melakukan akta masal dan gratis merupakan langkah strategis untuk mendata penduduk secara tepat. Apalagi pada tahun 2007 yang lalu telah dilaksanakan pula Coklit (pencocokan dan penelitian) yang merupakan pendataan penduduk door to door.
Nama penduduk yang tertera pada akta kelahiran dapat dijadikan dasar verifikasi data penduduk, dengan catatan, dalam setiap setiap nama dalam dokumen identitas kependudukan tidak boleh disingkat. Penyingkatan nama penduduk menjadi salah satu modus dalam kriminalitas penggandaan identitas kependudukan di negeri ini.
Apabila pada kebijakan biometrik KTP memerlukan teknologi baru yang belum tentu efektif, pembangunan interkoneksi database antar Pemerintah Daerah menjadi lebih mengedepankan dimungkinkannya verifikasi database kependudukan dapat dilaksanakan secara realtime antar Pemerintah Daerah di seluruh indonesia. Ini menjawab permasalahan klasik data ganda penduduk Indonesia.
Kata kuncinya adalah data ganda penduduk. Data itu ada, bukan tidak ada. Tetapi data tersebut menjadi tidak berguna ketika tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber verifikasi. Dengan demikian, solusi yang perlu ditempuh adalah menjadikan data yang sudah ada menjadi dapat diakses secara efektif. Dan ini memerlukan pengembangan network dan integrasi sistem kependudukan yang baik dan terkendali.
Menambahkan komponen biometrik dalam dokumen identitas kependudukan memang cemerlang. Namun meninggalkan rasionalitas interkoneksi Sistem Informasi Kependudukan nasional, diyakini tidak akan sepenuhnya menyelesaikan masalah krusial yang sudah ada. Justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Setidaknya masalah biaya tinggi di tengah-tengah keterpurukan ekonomi bangsa. Apalagi bila kebijakan tersebut masih bersifat coba-coba. Semoga bangsa ini mau belajar dari pengalaman.
Oleh:
Bambang Dwi Anggono
Pengajar di bidang TI dan bekerja di badan infokom – PDE Kabupaten Kebumen. Dapat dihubungi di redaksi [at] biskom.web.id atau bbdw1 [at] kebumen.go.id
Bejo org daerah, Misalnya Bejo mau beli motor dijakarta KTPnya harus jakarta supaya plat nomornya B, atau mau nyicil KPR KTPnya harus jakarta biar disetujui atau melamar kerja KTP harus jakarta. Jika Bejo buat KTP Jakarta dan KTP daerah Bejo dihapus, maka saya tidak bisa mengurus tanah, motor, rumah Bejo yang ada di kampung dan bagaimana cara ngurus perpanjangan STNK kendaraan yang dikampung jika KTP daerah sudah dihapus. Itu kan bukan masalah sepele karena menyangkut harta dan hak milik. Buat Rekening Bank dikampung juga gak bisa, makanya solusinya Bejo buat KTP Jakarta dan KTP kampung alias ganda, hayooo, ada solusi lain?
SOlusinya ada, yaitu integrasi SI Administrasi Kependudukan. Thanks