Krisis finansial yang mendera Amerika Serikat sudah pasti akan berpengaruh pada industri teknologi informasi. Kendati demikian setidaknya ada hikmah bagi industri TI di Indonesia, misalnya bisa menghemat devisa nasional dengan memanfaatkan lebih banyak lagi software buatan Indonesia, termasuk software open source.
Hikmah yang lain dari krisis moneter yang juga mendera ke berbagai negara ini adalah menyadarkan kita bahwa sudah saatnya kita membangkitkan peran bangsa sendiri dengan memanfaatkan potensi alam yang ada. Tanpa upaya tersebut, kita seakan tak berdaya membendung persyaratan pemberian pinjaman dan lain-lain yang menggunakan standar mereka. Padahal belum tentu kita butuhkan pakai standar tersebut.
Jika kita perhatikan, standar procurement pinjaman luar negeri harus memenuhi standar mereka sehingga konsultan kita meski jauh lebih mampu tak akan bisa memenuhi syarat administratif. Akibatnya, kita harus menggunakan konsultan asing yang notabene bayarnya dalam USD dan mahal sekali, padahal kita sudah punya standar internal yang harus dipenuhi. Belum lagi standar bidding yang secara detil bila diteliti banyak bertentangan dengan standar internal kita, termasuk juga terhadap standar global yang dianut. Hal tersebut bisa ditemui di beberapa proyek TurnKey. Dengan alasan proyek Turnkey, maka bidding dibuat berbenturan dengan standar COBIT di mana harus dilakukan analisa terhadap 34 proses manajemen teknologi informasi. Banyak hal yang lain yang bisa kita teliti dan ujungnya adalah bentuk eksploitasi gaya baru dari negara yang punya modal. Sesuatu yang banyak tak diketahui oleh pimpinan ketika menandatangani perjanjian pinjaman asing.
Saat ini Amerika Serikat mulai kesulitan, sehingga kita harus menjadikan sebagai peluang untuk bangkit. Minimal kita mulai dengan memanfaatkan karunia alam, yaitu penggunaan bahasa Indonesia. Sesuatu yang saya teliti banyak menjadi penyebab utama kegagalan proyek-proyek yang dibiayai dengan hibah maupun pinjaman luar negeri, sebagai akibat dari kegagalan komunikasi. Untuk keberhasilan semua proyek perbaikan, kita harus pergunakan standar Bahasa Indonesia sebagai standar komunikasi bagi semua proyek dan dokumentasi resmi di negara ini, sehingga tak ada hambatan dalam manajemen perubahan sekaligus menjadi pembatas upaya globalisasi yang alamiah.
Upaya menembus negara berkembang dengan standar global dan membatasi upaya negara berkembang masuk ke pasar negara maju, dapat kita imbangi dengan penentuan standar lokal oleh komunitas yang disetujui negara. Suatu yang harus kita lakukan agar mereka tidak semena-mena memanfaatkan pasar di negara kita yang justru sebenarnya sangat besar. Minimal kalau sudah terlanjur pakai kosultan asing, mau tidak mau mereka harus belajar bahasa Indonesia, atau minimal mereka atau konsultan asing itu harus menyewa tenaga konsultan lokal untuk menjadi penterjemah agar mampu memenuhi kewajibannya.
Kebijakan ini sejak beberapa bulan lalu sudah mulai kita temui di salah satu lembaga negara, yang di tingkat Eselon I yang mulai menetapkan bahwa bahasa resmi dalam kegiatan rapat, komunikasi resmi dan dokumentasi dalam proyek bantuan luar negeri, wajib mempergunakan Bahasa Indonesia. Semoga gerakan ini menular menjadi kesadaran nasional ke semua lembaga negara dan swasta, serta akan menjadi lebih baik lagi bila secara resmi diusulkan oleh wakil rakyat dan dinyatakan sebagai standar negara. Dengan begitu, semua konsultan asing yang bekerja di Indonesia harus memiliki sertifikasi bahasa teknis di bidangnya sebelum memperoleh Working Permit.
Selanjutnya, alangkah baiknya bila kita mulai kembali ke peradaban yang lebih tinggi dari sekadar budaya pasar bebas yang merupakan bagian dari demokrasi. Kita kembali kepada budaya asli kita yang justru lebih tinggi dari demokrasi, yaitu musyawarah yang diikuti dengan kegiatan nyata bergotongroyong, bekerjasama, semuanya dapat kita gunakan kembali untuk menjadi dasar strategi mengendalikan pasar di negara kita sendiri. Kita tinggalkan paradigma dan peradaban persaingan bebas, yang justru diajarkan oleh bangsa asing agar terjadi kehancuran potensi pengusaha dalam negeri, dan bila dikaji justru merupakan kemunduran bagi bangsa kita yang sebelumnya mengenal budaya musyawarah dan gotongroyong yang sebenarnya memiliki tingkatan yang lebih tinggi. Kita tidak harus takut bekerjasama dan dinyatakan sebagai negara yang memonopoli pasarnya untuk bangsanya sendiri, selama disepakati oleh masyarakat kita sendiri dalam komunitas resmi, dan bukan dibuat oleh pemerintah. Kita berharap tidak ada lagi lembaga dunia yang bisa memaksa komunitas di negara kita ini untuk melakukan apa yang terbaik bagi bangsanya.
Semoga gerakan ini menular menjadi kesadaran nasional ke semua lembaga negara dan swasta, serta akan menjadi lebih baik lagi bila secara resmi diusulkan oleh wakil rakyat dan dinyatakan sebagai standar negara. Dengan begitu, semua konsultan asing yang bekerja di Indonesia harus memiliki sertifikasi bahasa teknis di bidangnya sebelum memperoleh working permit.
Hari S. Noegroho
Pakar e-Government, Ketua Dewan Pengurus Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII). Dapat dihubungi via redaksi@biskom.web.id atau hnoegro@pacific.net.id
Hidup Swadesi. Kebangkitan Nasional yang real OL.
Terima kasih atas inpirasinya.
Jabat Erat
Joe