Munculnya nama Tifatul Sembiring sempat mengejutkan banyak orang ketika diumumkan sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II (2009-2014). Maklum, sebelumnya banyak yang berharap dan memprediksi posisi ini bakal ditempati oleh profesional teknologi informasi (TI), sementara Tifatul berasal dari Partai Keadilan Sejahtera.
Meski begitu, ternyata dalam hitungan hari, kelahiran Bukittinggi – Sumatera Barat, 28 September 1961 ini mampu meyakinkan masyarakat bahwa ia pun memiliki komitmen untuk memajukan TI. Lewat dukungannya pada berbagai event dan program TI, pria yang mengawali karirnya sebagai Direktur Asaduddin Press dan sempat bekerja PT PLN Pusat Pengaturan Beban Jawa, Bali, Madura pada tahun 1982 ini juga menargetkan dapat memajukan industri TI sebagai salah satu pilar perekonomian di Indonesia.
Sesuai bidangnya, Tifatul yang lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Informatika dan Komputer, Jakarta yang kemudian melanjutkan ke International Politic Center for Asian Studies Strategic Islamabad, Pakistan ini diharapkan membawa angin segar dalam pekembangan TI nasional ke depan.
Kepada BISKOM, Tifatul mengemukakan visi dan misinya di Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) untuk lima tahun kedepan. Simak kutipannya.
Seberapa besarkah kontribusi TI terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia? Dan seberapa besar yang ingin Bapak capai pada lima tahun mendatang?
Pengembangan TI bukan saja dapat meningkatkan daya saing bangsa, tetapi juga mempercepat tercapainya kemakmuran nasional dengan bertambahnya pengetahuan dan intelektual masyarakat. Sektor komunikasi dan informasi juga mampu bertahan dalam krisis global dan secara bertahap telah meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan nasional. Sektor ini secara nyata telah menyumbang gross domestic product (GDP) sebesar 15 persen dan terus menanjak sejak tahun 1999 hingga 2007, dari 3% menjadi 6%. Angka ini tentunya saya harapkan dapat meningkat selama dan sesudah saya menjabat sebagai Menkominfo.
Bagi Bapak, sebenarnya apa saja indikator kemajuan TI di Indonesia?
Ada lima hal yang menandakan suksesnya TI dalam pembangunan di Indonesia, yaitu pertama sebagai pilar penting penggerak pembangunan, sebagai pembangkit dan penyerap tenaga kerja, sebagai sumber devisa baru, sebagai pilar penting mencerdaskan bangsa dan terakhir sebagai alat demokrasi dan pemersatu bangsa.
Program apa yang Bapak canangkan untuk mencapai kemajuan tersebut?
Saya membaginya dalam beberapa program. Pertama adalah program 100 hari masa jabatan saya, dimana saya ingin lebih banyak melakukan koordinasi dan konsolidasi internal, melakukan silahturahmi dengan para stakeholder dan menciptakan sinergi antar departemen. Kedua, pada program 1 tahun, saya mencanangkan sosialisasi budaya birokrasi yang bersih dan peduli, meningkatkan implementasi e-government dan aparatur pemerintah yang mampu menerapkan e-government, serta menciptakan harmonisasi semua peraturan perundangan tentang pos dan telematika. Disamping itu Depkominfo juga ingin meningkatkan pendayagunaan dan apresiasi terhadap tenaga profesional dan lembaga di bidang telematika serta meningkatkan hubungan masyarakat yang harmonis.
Kemudian pada program 5 tahun, saya berharap dapat membangun desa informatif (information villages), meningkatkan e-literacy agar masyarakat lebih melek telematika, meningkatkan pengembangan TI berbasis lokal, dan membina harmonisasi peraturan jaringan telekomunikasi inter operator. Di samping itu, yang tak kalah penting adalah terciptanya banyak konten sehat dan bermanfaat, meningkatkan implementasi e-government sampai tingkat daerah dan meningkatkan pembangunan sumber daya manusia (SDM) di bidang TI dan komunikasi.
Adakah rencana pembangunan jangka menengah yang dicanangkan Depkominfo?
Rencana jangka menengah kami adalah tersedianya layanan informasi dan komunikasi yang mendukung kegiatan ekonomi di seluruh desa di Indonesia, kemudian kami juga menginginkan adanya penetrasi telepon dan televisi hingga mencapai 90% rumah tangga dan penetrasi broadband mencapai 50% populasi serta 100% desa.
Selain itu, sekali lagi Depkominfo menargetkan terselenggaranya layanan elektronika pemerintahan di seluruh kantor pemerintah untuk keperluan layanan informasi, interaksi dan transaksi yang dipergunakan untuk lebih dari 50% kegiatan layanan.
Bagaimana dengan bidang informasi mengingat Depkominfo juga bertindak sebagai pusat informasi pemerintahan?
Itu adalah bidang yang tak kalah penting. Saya berharap Depkominfo mampu menciptakan sistem informasi dari pusat ke semua unit pemerintah pada hari yang sama, sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap informasi pemerintah. Sebaliknya, kami memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan peran serta masyarakat sebagai agen pemberi informasi.
Di bidang yang berkaitan dengan TI, pada saat yang sama kami juga akan mempersiapkan infrastruktur laboratorium multimedia dan mencapai 75% populasi migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital.
Apa sajakah tantangan terbesar bagi pertumbuhan TI?
Yang terbesar saya kira adalah kesenjangan digital atau digital divide. Di Indonesia, gap antara mereka yang dapat mengakses dunia digital dan TI dengan mereka yang terbatas aksesnya dan bahkan tidak memiliki akses sama sekali, begitu besar.
Contohnya saja, presentasi yang memiliki telepon di Jawa Tengah masih 6.98%, di NTB bahkan masih 4.54% sementara di Jakarta 38.5% dan di Yogyakarta 13.14%. Di sisi lain, dari total 72 ribu desa yang ada di Indonesia masih ada 31.845 desa yang belum terlayani akses telepon sementara penetrasi personal computer (PC) Indonesia masih 5%, tertinggal jauh bahkan oleh Thailand.
Apa tantangan lain selain kesenjangan digital?
Saya mencatat ada empat tantangan lain, pertama adalah kurangnya informasi yang edukatif. Hasil evaluasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap tayangan-tayangan yang ada pada media TV selama tahun 2008 memperlihatkan bahwa masih banyak tayangan yang berisi kekerasan, baik fisik maupun sosial dan psikologis serta mengandung pelecehan terhadap kelompok masyarakat dan individu, memperlihatkan penganiyaan terhadap anak dan tidak sesuai dengan norma kesopanan dan kesusilaan. Studi yang sama juga memperlihatkan sepuluh dari 75 judul tayangan TV merupakan tayangan bermasalah. Istilahnya disini adalah bagaimana menciptakan komunikasi yang lancar untuk menyampaikan informasi yang benar.
Tantangan kedua adalah lemahnya infrastruktur, ditandai dengan teledensity (penetrasi telepon per 100 penduduk). Saat ini teledensity di Indonesia masih sekitar 5-6% dibandingkan dengan Malaysia yang sekitar 20% dan Singapura sekitar 50%. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah berusaha mengawal pelaksanaan proyek Palapa Ring sebagai tulang punggung jaringan telekomunikasi yang menghubungkan seluruh daerah di Indonesia.
Bagaimana soal proyek Palapa Ring yang sepertinya lama sekali perwujudannya?
Proyek Palapa Ring dimulai dengan penandatanganan hasil konsorium untuk pembangunan jaringan serat optik di kawasan Indonesia Timur (KIT) pada Jumat, 5 Juli 2007 oleh tujuh operator telekomunikasi, yaitu PT. Bakrie Telecom, PT. Excelcomindo Pratama, PT. Indosat, PT. Infokom Elektrindo, PT. Macca System Infocom, PT. Powertek Utama Internusa dan PT. Telekomunikasi Indonesia. Pembangunan serat optik di KIT dimulai tahun 2008 sepanjang 10 ribu kilometer dan menelan biaya Rp. 4 triliun. Jadi proyek ini sekarang tengah berjalan.
Palapa Ring ini akan menciptakan jaringan telekomunikasi yang menjangkau sebanyak 33 provinsi, 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia dengan total panjang kabel laut mencapai 35.280 kilometer dan kabel di daratan adalah sejauh 21.807 kilometer.
Lalu apa dua tantangan perkembangan TI lainnya di Indonesia?
Tantangan lainnya adalah kurangnya layanan informasi serta pembangunan TI dan komunikasi (TIK) yang lemah. Layanan informasi yang saya maksud di sini adalah penggunaan TI oleh kantor-kantor pemerintahan untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat umum, bisnis dan untuk memfasilitasi kerjasama antara institusi pemerintahan yang disebut dengan e-government.
E-government memiliki posisi penting karena dengannya diharapkan dapat memberdayakan komunitas yang ada lewat akses publik ke sumber informasi yang tersedia. E-government di Indonesia saat ini belum merata, sumber informasi dari pemerintah belum terintegrasi dan di skala yang lebih kecil bahkan banyak yang belum mengenal e-government.
Di sisi lain, pembangunan TIK secara menyeluruh masih lemah. Menurut International Telecommunication Union (ITU), pembangunan TIK mengindikasikan tidak hanya kesiapan infrastruktur tapi juga penggunaan TIK dan seberapa besar tingkat melek sumber daya manusianya. Kondisi sekarang ini, dibandingkan dengan 154 negara tetangga lain di dunia, ITU menyebutkan pada tahun 2007 Indonesia berada pada rangking 108.
Lalu potensi TI seperti apakah yang Bapak lihat memiliki peluang untuk berkembang di tanah air?
Saya melihat dari segi SDM, Indonesia cukup membanggakan, terbukti dari banyaknya mereka yang berprestasi bukan hanya di dalam negeri tetapi di luar negeri, seperti misalnya gamer, para pelaku di industri kreatif, pengembang software termasuk open source software (OSS), juga di bidang robotik. Ini semua adalah potensi yang besar, namun sayangnya mereka belum terakomodir dengan baik dan apresiasi kepada mereka juga masih kurang. Prestasi-prestasi inilah yang perlu dikembangkan agar nantinya kita menjadi negara pencipta, dan bukan lagi sekedar pemakai.
Apa pendapat Bapak tentang perkembangan OSS dan bagaimana bentuk dukungan Depkominfo terhadap OSS?
Seperti kita tahu, ide dasar dari OSS adalah kita dapat mengadopsi sumbernya sehingga kita dapat berkreasi dengan sistem operasi tersebut. Ditambah dengan sifatnya yang terbuka dan dikembangkan secara bersama-sama, maka perkembangan OSS di Indonesia pun sangat pesat, melebihi perkembangan software lain di Indonesia. Mengapa saya dan juga pemerintah sangat concern terhadap penggunaan OSS karena kemampuannya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sofware bajakan ataupun software proprietary yang mahal.
Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah OSS mampu melatih masyarakat untuk produktif, karena memungkinkan orang untuk menciptakan aplikasi sendiri. Hal itu dapat dilihat dari munculnya banyak pengembang software lokal (ISV) yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Karenanya saya akan tetap menjalankan kampanye yang telah dijalankan menteri sebelumnya, yakni menjadikan program Indonesia Go Open Source sebagai ikon untuk memicu produktifitas industri lokal.
Saat serah terima jabatan beberapa waktu lalu Bapak mengatakan akan lebih memperhatikan teknologi yang ramah lingkungan, bisa dijelaskan kongkritnya akan berwujud seperti apa?
Seperti kita ketahui, dengan demand masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi yang besar, operator mobile telekomunikasi berlomba lomba meningkatkan jumlah base station transceiver (BTS) nya untuk memperluas coveragenya. Saat ini lebih dari 300 ribuan BTS tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Satu BTS memerlukan 3000-5000 watt untuk operasionalnya. Untuk daerah pedesaan dan terpencil masalah ini menjadi masalah yang cukup pelik. Oleh karena itu saya berencana akan menggalakkan pemanfaatan energi alternatif untuk menyuplai kebutuhan listrik di BTS dan ini akan menjadi salah satu program prioritas yang akan dilaksanakan Depkominfo dalam pemerintahan Presiden SBY-Boediono.
Green BTS akan menggunakan listrik yang dihasilkan dari pengolahan kotoran sapi. Dari hasil kajian kebutuhan Energi satu BTS bisa disupplai dengan 10-20 ekor sapi. Tentu saja pelaksanaan program ini akan dilakukan bekerjasama dengan Departemen Pertanian yang dalam waktu bersamaan memiliki target swasembada daging sapi sebelum 2014 ini. Disamping itu Green BTS tidak saja bisa memberikan solusi energi alternatif dan turut serta membantu secara aktif program Swasembada daging sapi tapi juga bisa memberdayakan peternak sapi atau masyarakat yang berada di sekitar BTS.
Pertanyaan terakhir, bagaimanakah cara yang jitu agar tercipta enterpreneurship di bidang TI?
Relasi antara lembaga pendidikan setingkat SMU atau perguruan tinggi dengan industri seharusnya berlangsung harmoni dan sinergis. Di beberapa negara seperti Jerman dan Jepang umpamanya, hubungan antara lembaga pendidikan dengan perusahaan-perusahan ibarat memasang resluiting baju. Bagian sebelah kirinya adalah lembaga pendidikan, sementara sebelah kanannya industri. Artinya ketika lidah resluiting itu ditarik, sisi kiri dan kanannya saling bertautan.
Hampir seluruh tamatan PT maupun Sekolah Menengah mampu diserap oleh lapangan kerja, sehingga menurut data Departemen Tenaga Kerja di Jepang misalnya, untuk tahun 2005 angka pengangguran hanya berkisar 3-5 % saja.
Masalah utama kita, khususnya dalam hal SDM adalah rata-rata lulusan sekolah menengah maupun tamatan perguruan tinggi, tidak berada pada skill yang siap pakai oleh user di perusahaan-perusahaan. Sehingga tidak mengherankan jika diantara para penganggur di sini, sebagiannya adalah orang-orang terdidik. Hal ini semacam menjadi masalah laten, dimana belum matching-nya kurikulum sekolah menengah atau perguruan tinggi dengan kebutuhan industri maupun perusahaan-perusahaan lainnya.
Pada sisi lain, visi pendanaan juga merupakan poin penting dalam menyusun langkah-langkah usaha. Dari mana dana awalnya dan bagaimana pengelolaan dana tersebut, perjanjian dengan pihak lain, kesertaan modal dari anggota tim, lantas gambaran prospek keuntungan sekaligus resikonya.
Dalam bidang TI sama halnya seperti bidang-bidang usaha yang lainnya. Kita tentu harus benar-benar memahami lingkup sistem TI itu sendiri. Kemudian berpikir dan merenungkan, lantas mencoba menuangkan rancangan sebuah usaha. (Hoky)
bismillah pak, semoga dapat menjalankan amanah dgn baik.