“Stress gue punya nyokap bisanya marah mulu, sial!” teriak seorang pengguna Twitter. Beberapa saat kemudian, muncul Diandra (nama samaran) dengan tweet: “Gw dari kemarin berantem sama bokap sampe gw katain bangsat.”
Kesadaran saya akan pentingnya diskusi mendalam mengenai kedewasaan digital di Indonesia dimulai pada bulan Desember 2009. Waktu itu saya tercengang akan presentasi Ilya Alexander pada acara BarcampID, sebuah ajang informal kumpul bareng teman-teman praktisi teknologi di Indonesia.
Dalam presentasi yang dinamakan “NKMJ: The Forbidden Words in Daily Life“, Ilya memaparkan keterbukaan anak-anak muda Indonesia dalam menggunakan kata-kata tabu di media sosial, pada khususnya di Twitter. Presentasi yang dibawakan oleh Ilya, serta layanan monitoring kata-kata tabu yang diciptakannya, dapat Anda akses di situs http://www.reversedpalantir.org/nkmj/.
Pada awalnya penemuan ini membuat saya dan rekan-rekan lain tertawa terpingkal-pingkal. Saya tidak menyangka, ada banyak anak muda Indonesia yang berani menghujat orang tua, guru, dan teman-teman mereka dengan pilihan kata-kata yang dapat membuat jantung berdebar, mata memicing dan mengundang muka tidak percaya.
Bagi sebagian anak muda Indonesia, Twitter telah menjadi sarana curhat utama. Namun, tidak sedikit dari mereka tidak mengetahui bahwa hal-hal yang mereka tuliskan di Twitter dapat dibaca oleh sembarang orang di seluruh Indonesia, dan di seluruh dunia – dan implikasinya, baik untuk jangka pendek, atau untuk jangka panjang.
Dunia per-twitter-an Indonesia baru-baru ini dibuat heboh oleh kasus dua orang pelajar dari Jakarta yang namanya sempat menjadi trending topics di Twitter, yaitu Rani dan Marsha. Nama Rani menjadi trend setelah dirinya mengatakan pengguna BlackBerry di Indonesia itu “alay” (kampungan) – sedangkan nama Marsha menjadi trend setelah ia mengomentari secara umum status pelajar Indonesia yang bersekolah di sekolah negeri. Dua-duanya menjadi sangat terkenal, bisa dikatakan terkenal sedunia, untuk alasan yang tidak membanggakan.
Menurut saya, menyadari tingkat kuasa akan diri sendiri, serta mengetahui implikasi sosial (nyata) dari berbagai aktivitas di dunia maya adalah barometer kedewasaan digital. Jika kita kini sudah paham betul dengan intelligence quotient (IQ), emotional quotient (EQ) serta spiritual quotient (SQ), sudah saatnya kita juga mengenal digital quotient (DQ) sebagai aktualisasi IQ, EQ dan SQ di dunia maya.
Lantas, bagaimana cara terbaik untuk meningkatkan DQ seorang anak? Menurut saya pandangan umum yang sekarang beredar (membeli dan menginstall sebuah perangkat lunak parental controls untuk komputer atau ponsel) bukanlah cara terbaik ataupun cara yang perlu ditempuh untuk meningkatkan DQ seorang anak. Setelah berbincang dengan belasan anak muda di Twitter yang (sepertinya) telah cukup puas mencaci maki orang tua mereka, saya menemukan beberapa poin menarik yang harus saya sampaikan. Sebelumnya mari kita simak testimoni berikut ini.
“Buat gue, Twitter itu tempat curhat yang paling asik. Disinilah gue menyadari banyak orang yang peduli sama gue. Tidak seperti orang tua gue yang enggak punya waktu untuk gue…” ungkap Tika (bukan nama sebenarnya), siswi kelas 1 SMA di Jakarta.
“Ngapain perlu takut salah ngomong. Kan cuma temen-temen gue aja yang ngikutin tulisan gue di Twitter dan Facebook. I’m just being myself. Orang tua gue mah gaptek, dan sibuk.” jawab Aris, siswa kelas 2 SMP di Depok. Kedua testimoni diatas menyimpan beberapa poin menarik, diantaranya tentang ‘keaslian’ diri sendiri ketika beraktivitas di situs jejaring sosial. Menurut Dr Sam Gosling, seorang professor yang sekarang dikenal sebagai seorang “Facebook Psychologist” dari The University of Texas, anggapan umum bahwa banyak orang-orang menggunakan Facebook untuk menampilkan ‘sisi terbaiknya’ atau ‘sosok ideal’ adalah anggapan yang tidak tepat.
“Tidak sembarang orang dapat terus menerus berpura-pura atau menampilkan kepribadian lain ketika sedang beraktivitas di situs jejaring sosial. Jika Anda ingin terlihat ramah di Facebook, itu harus hadir dari kepribadian Anda di dunia nyata,” ujar Gosling yang telah meneliti kehidupan nyata dan profil Facebook dari 236 orang di Amerika.
Poin kedua yang menarik untuk diangkat dari jawaban kedua Tika dan Aris adalah kosongnya keterlibatan atau partisipasi orang tua dalam aktivitas jejaring sosial yang dijalankan oleh anaknya. Padahal, bisa jadi kunci dari percepatan kedewasaan digital seorang anak terletak pada partisipasi orang tua atau pembimbingnya dalam aktifitas online, khususnya pada situs jejaring sosial.
Dalam kata lain, bagi orang tua yang saat ini memiliki anak dengan usia kurang dari 20 tahun, memiliki dan aktif menggunakan account Facebook dan Twitter bukanlah sebuah pilihan, namun sebuah kewajiban sebagai perpanjangan aktivitas membimbing anak di rumah dan di sekolah. Dengan kehadiran berbagai smartphone seperti BlackBerry, iPhone dan sebagainya, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak ikutan ‘main Facebook’ dan ‘main Twitter’ – bahkan bagi orang tua sibuk sekalipun.
Pada akhirnya, komunikasi di dunia maya adalah lebih baik dari tidak ada komunikasi sama sekali, terutama bagi orangtua yang bekerja. Akses internet yang semakin tersedia telah membuka pintu-pintu kebebasan bagi banyak orang. Bisa dikatakan, pesan moral dari kedewasaan digital adalah mengetahui bahwa pilihan untuk menggunakan pintu-pintu tersebut bukan tanpa tanggung jawab yang besar. Seperti kata-kata bijak dari film Spiderman, “With great power, comes great responsibility.”
Penulis : Dirgayuza Setiawan – Praktisi dan Penulis buku TIK, diantaranya “BlackBerry itu mudah”.