Para praktisi bisnis cakram optik resmi menilai, impor ilegal menjadi salah satu penghambat berkembangnya bisnis cakram optik legal di Indonesia. Padahal, potensi pasar industri ini cukup besar, seiring berkembang pesatnya pengguna komputer. Masuknya cakram optik tak resmi ini kerap jadi keluhan para importir resmi. Sebab, cakram optik ilegal bisa masuk ke negeri kita tanpa dikenai pajak bea cukai, pajak penjualan (PPN), bahkan pajak penghasilan (PPh).
“Jika cakram optik ilegal ini terus dibiarkan masuk tanpa pengawasan ketat dari petugas berwenang, cakram optik legal seperti kami tidak bisa bersaing di pasaran, sebab mereka bisa menjual barang lebih murah daripada yang legal,” kata Kurniadi Halim, Direktur PT Langkah Swadaya mandiri, Distributor Verbatim Indonesia kepada BISKOM. Tak heran, jika penjualan cakram optik ilegal ini lebih cepat laris dagangannya ketimbang importir resmi lantaran harganya yang bisa jauh lebih murah.
Apalagi, imbuh Halim, dengan pemberlakuan China-Asean Free Trade Area (CAFTA) dibarengi masuknya produk cakram asing yang lebih murah, makin memperburuk kondisi bisnis terutama dari kalangan pabrik cakram optik lokal. “Dengan impor ilegal saja kita sudah banyak kecolongan, ditambah lagi pemberlakuan CAFTA yang memunculkan produk-produk yang lebih murah. Sementara importir resmi saja masih dipersulit dengan adanya Jalur Merah dan ekonomi biaya tinggi di Bea Cukai, juga soal pajak yang kita anggap masih tinggi hinga mencapai 30%,” kata dia. Belum lagi soal pembatasan kuota impor yang diberlakukan tak jarang menyulitkan importir untuk bisa mendistribusikan produk secara cepat. Hingga kini baru ada tiga importer cakram optik yang resmi di Indonesia, Verbatim, Sony, dan Maxell. Bahkan tak jarang ketiga perusahaan importir resmi ini pun terpaksa menjual produk lebih murah dan hanya mengenyam tipis keuntungan.
Karena itu sebagai pelaku bisnis cakram optik, Halim berharap, pemerintah lebih memperketat masuknya barang-barang impor, termasuk menertibkan adanya ‘lubang-lubang tikus’ atau pelabuhan-pelabuhan kecil yang biasa digunakan importir ilegal. Artinya, imbuh Halim, para importir lain pun harus lewat jalur yang sama, dengan melalui proses perijinan yang sama pula. “Importir ilegal harus ditertibkan. Ini penting demi tercipta persaingan bisnis yang sehat dan meminimalisasi kehilangan uang negera yang bersumber dari pajak dan bea cukai,” tandasnya.
Dia juga meminta agar penegakkan regulasi terkait impor cakram optik diperketat guna melindungi pabrik cakram optik lokal dari gempuran produk asing. Di samping itu, Halim menyarankan agar pabrik cakram optik lokal meningkatkan kualitas produknya agar tak tergerus dengan kualitas produk yang berdatangan dari luar negeri. “Kalau hal-hal seperti itu diperhatikan, saya yakin bisnis dan industri cakram optik ini tetap hidup di Indonesia,” kata dia.
Ditanya soal banyaknya tudingan industri cakram optik memicu maraknya pembajakan, Halim berkilah hal itu kurang beralasan. Persoalan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), kata dia, bukan lagi merupakan urusan dari industri cakram optik sendiri.
“Pembajakan itu lebih kepada penggunanya. Bahkan kami juga sertakan label peringatan bahwa pembajakan merupakan tindakan pidana di tiap keping produk kami. Kalau memang ada pembajakan, berarti pengguna cakram optik itulah yang melakukan, tidak terkait dengan industri yang memproduksi cakram optik legal,” jelas Halim.
Senada dengannya, Praktisi TI Haryadi Handoko juga menilai penegakan hukum terhadap pembajakan masih lemah. Akibatnya pelanggaran hak cipta pun tetap marak. Industri cakram optik kerap jadi sasaran tudingan. Haryadi menuturkan, di banyak negara termasuk Indonesia, pembajakan (cakram optik bajakan) bukan hanya dilakukan industri cakram optik, tapi juga dilakukan pelaku rumahan yang menggunakan duplikator atau burner.
“Di setiap negara selalu ada modus atau kegiatan pembajakan. Namun yang membedakannya adalah soal penegakan hukum. Di negara yang penegakan hukumnya baik, tingkat pembajakannya bisa ditekan. Sebaliknya, di negara yang penegakan hukumnya lemah, pembajakan sangat tinggi dan produk bajakan dijual secara bebas dan terbuka,” terang Haryadi.
Yang terkesan saat ini, imbuh Haryadi, pemerintah tidak serius untuk mengurangi atau mencegah pembajakan dan tidak ada perkembangan yang berarti di bidang penegakan hukum atau law enforcement. Kalau pun pemerintah dalam hal ini Kemenperin sudah berusaha mengawasi industri cakram optik melalui pembentukan tim monitoring, namun hal itu masih jauh dari cukup. “Selama ini pun tim monitoring hanya mengawasi pabrik yang terdaftar. Padahal pembajakan juga banyak dilakukan oleh industri atau usaha yang tidak terdaftar,” pungkasnya.