DI negara maju maupun berkembang, sudah menjadi kepercayaan bahwa teknologi informasi (TI) bukan hanya sekedar faktor pendukung tetapi juga menjadi enabler, dimana pucuk pimpinan di sebuah negara wajib mengenal TI sehingga mampu menjawab ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain.
Di negara tetangga, peran perdana menteri seperti Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohamad maupun Wakil Presiden Amerika Serikat, Al-Gore sangat vital, bahkan mereka secara langsung ikut memimpin rapat dalam pemanfaatan TI untuk bangsanya. “Bangsa Indonesia punya kelebihan yaitu masyarakat yang paternalistic. Saya rasa, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah cukup berupaya dalam memajukan TI, tetapi masih harus ditingkatkan lagi. Makanya ada yang namanya e-Leadership,” ujar Wakil Ketua Pelaksana Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DetikNas), Zainal A. Hasibuan, Phd.
Menurut dia, sosok pimpinan ideal adalah yang mampu membuka mata dan berpikir secara global dan mampu memanfaatkan TI seperti halnya negara Jepang, China, Singapura yang sudah sangat maju dalam hal pemanfaatan TI, yang dimulai dari pucuk pimpinannya. Bagaimana dengan upaya pemanfaatan TI di Indonesia? Presiden SBY sudah mengantisipasi hal ini dengan membentuk satu lembaga khusus dibawahnya, yaitu DetikNas yang tugasnya memikirkan cara-cara pemerintah Indonesia untuk menerapkan TI dan komputer khususnya teknologi internet. “Pemanfaatan TI sangat penting, karena nasib Indonesia di masa depan akan tergantung dari kemampuan masyarakatnya dalam menguasai dan menerapkan TI,” kata penyuka olahraga seperti tenis, jogging dan golf ini.
Zainal A. Hasibuan sendiri adalah salah seorang staf pengajar di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI). Berbagai penelitian terkait information retrieval, digital library, e-learning dan IT Strategic planning telah dilakukan dan dipublikasikannya di berbagai konferensi informatika nasional dan internasional. Berikut petikan wawancara BISKOM dengannya belum lama ini.
DetikNas didirikan langsung oleh Presiden SBY sebagai salah satu upaya memanjukan Ti di Indonesia. Apakah ini berarti bahwa Indonesia sudah berhasil dalam penerapan e-Leadership?
Pada prinsipnya, e-Leadership adalah segala hal yang menyangkut pengetahuan pimpinan mengenai peran TI dalam pengembangan sistem pelayanan publik yang lebih efektif, efisien, dan transparan. Di tataran pemerintahan, e-Leadership biasanya dimulai pimpinan tertinggi negara. Di Indonesia, Presiden SBY sudah mulai menunjukkan e-Leadership-nya. Namun, e-Leadership dalam konteks e-Government bukan hanya proses sekali jadi. Ia membutuhkan perencanan, dedikasi, dan political will. Dalam hal ini e-Leadership tidak hanya harus dilakukan oleh Presiden, namun juga seluruh instansi pemerintahan yang mengarah kepada IT Governance.
Apa saja wewenang DetikNas dan target apa yang dicapai DetikNas di tahun ini dan tahun mendatang?
DetikNas dibentuk berdasarkan Keppress No. 20 Tahun 2006 yang mempunyai empat mandat. Pertama, menentukan arah strategis TI nasional. Kedua, koordinasi antar intansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, industri dan masyarakat dalam memanfaatkan TI. Ketiga, memecahkan berbagai macam permasalahan TI yang muncul di tingkat nasional, dan keempat, melakukan approval untuk investasi TI yang sifatnya lintas instansi pemerintah.
Ini merupakan empat mandat yang sangat powerful bahkan struktur organisasinya sangat powerful karena ketua tim pengarah langsung dipimpin Presiden SBY sebagai chief information officer (CIO) . Sementara ketua tim pelaksana hariannya adalah Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring. Dalam hal ini, kami berusaha seoptimal mungkin menjalankan keempat mandat tersebut.
Apa saja kendalanya dalam pelaksanaan keempat mandat tersebut?
Memang ada beberapa kendala terutama dalam melakukan koordinasi, terutama karena latar belakang undang-undang suatu instansi yang mau dikoordinasikan belum selaras dengan apa yang dimandatkan DetikNas. Tapi kedepan, kami berusaha untuk terus melakukan penyelarasan, dan mengoptimalkan serta menutupi kelemahan dan dan kekurangan. Misalnya, melalui program flagship dari DetikNas yaitu National Single Window (NSW). Pada dasarnya program strategis ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas eksport-import.
Namun, begitu sistem TI diperkenalkan dalam NSW, mau tak mau ada bisnis proses yang diselaraskan. Karena itu, perlu dikoordinasikan. Mungkin, ada proses bisnis yang hilang di suatu tempat, atau ada proses bisnis yang mesti dimodifikasi dan ada proses bisnis yang baru sama sekali. Nah, ini lah yang seringkali memerlukan aturan yang lebih kuat untuk melakukan penyelarasan.
Dari keempat mandat tersebut, apa saja yang sudah terealisasi dan apa target-target yang ingin dicapai?
Pertama, menentukan arah strategi TI nasional. Ini sudah dirumuskan yang pada intinya ada beberapa target yang ingin kami capai yakni peningkatan efesiensi dan efektivitas serta produktivitas intansi pemerintah. Tentunya, ukuran keberhasilannya bisa kita lihat pada e-Government yang secara kuantitas maupun kualitas terus meningkat.
Kedua, kami juga berharap semakin bertumbuhnya industri TI lokal dan ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai dan mampu berkompetisi dengan negaranegara tetangga lainnya.
Saat ini bagaimana Anda melihat kemampuan SDM di bidang TI yang dimiliki Indonesia? Dan apa yang bisa dilakukan untuk memperbayak SDM-SDM yang ahli dalam bidang ini?
Kita mempunyai comparative advantage dimana hampir sebanyak 950 perguruan tinggi dari 3150 perguruan tinggi sudah mempunyai program studi yang terkait TI. Setiap tahun, perguruan tinggi tersebut menghasilkan total lebih kurang 50-60 sarjana yang terkait dengan TI. Dari segi kuantitas, bangsa ini luar biasa, namun dari segi kualitas kita masih jauh dari harapan. Masih banyak lulusan yang belum memenuhi standar yang diharapkan, apalagi untuk bersaing di tingkat regional maupun internasional.
Bicara kualitas, apakah ini terkait dengan kurikulum TI? Dan perguruan tinggi manakah yang bisa dijadikan contoh ideal?
Bicara mengenai kualitas, memang ada beberapa faktor yang berpengaruh. Pertama, adalah terkait kurikulum yang sudah kita sempurnakan. Kemudian, masalah SDM termasuk dosen, peralatan laboratorium dan literature (perpustakaan). Dalam hal ini resources masih perlu terus ditingkatkan. Dan, yang menyedihkan adalah sangat bervariasi dari perguruan tinggi yang satu dengan yang lain dalam kapasitas penyediaan SDM yang berkualitas.
Di satu sisi, ada perguruan tinggi yang relatif mapan, dosennya bagus dan laboratorium penelitiannya lengkap. Namun di sisi lain, masih banyak perguruan tinggi lain yang dosen-nya masih di dominasi lulusan S1 dan laboratoriumnya masih sangat terbatas.
Salah satu contoh perguruan tinggi yang ideal saya kira Fasilkom-UI yang sudah relatif mapan dan Teknik Informatika IPB. Bagaimana menyelaraskan kualitas SDM adalah dengan upaya melakukan resource ring yaitu pemanfaatan bersama sumber daya pembelajaran. Nah, ini yang kita mulai dengan sebuah perpustakaan yang bisa di-share satu sama lain dan sudah dimotori oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI)-Diknas dengan membangun sebuah sistem yang pada intinya suatu portal bisa mengintegrasikan ke semua perpustakaan digital di perguruan tinggi.
Bagaimana Anda memandang peran perpustakaan digital?
Dengan perpustakaan digital, sumber daya di suatu perpustakaan bisa di-share ke perguruan tinggi lain, baik itu berupa karya-karya ilmiah dan lain sebagainya. Cara ini juga bisa menghindari halhal yang sifatnya plagiarism. Nah, dari situ nantinya kami harap akan marak bermunculan kolaborasikolaborasi
penelitian.
Dengan demikian, perpustakaan digital akan meningkatkan kualitas, tidak hanya kualitas SDMnya tapi juga kualitas hasil-hasil penelitian atau karya-karya ilmiah (research and development). Strategi lain untuk mengantispasi perubahan TI yang demikian cepat adalah jangan sampai sampai kita dikuasai oleh teknologi, tapi seharusnya kita yang mengontrol perubahaan tersebut. Ini yang kita sebut dengan relevansi.
Nah, untuk relevansi ini, kita harus membuka komunikasi seoptimal mungkin dengan industri lokal maupun internasional, sehingga nantinya di masing-masing perguruan tinggi itu bisa memilih spesifikasi dan spesialisasi yang bisa diunggulkan dan dibanggakan. Jadi, kesimpulannya adalah pertama resource ring, kedua relevasi dan ketiga accessesbility, yakni bagaimana suatu informasi bisa diakses oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
Pada kenyataannya, bagaimana dengan penerapan perpustakaan digital?
Pada umumnya, kemampuan orang untuk membeli koleksi buku terbatas dan kalaupun ada, harganya mahal. Kalau di UI, kami sudah menerapkan perpustakaan digital yang bisa didukung oleh aplikasi yang bisa berkomunikasi dengan sistem-sistem yang lain. Kalau di UI, kami memiliki portal Garuda (Garba Rujukan Digital) yang dibangun bersama Diknas (http://www.garuda.dikti.go.id). Di dalam portal ini tersedia e-Jurnal domestik dan karya-karya ilmiah seperti laporan penelitian, tugas akhir mahasiswa (skripsi, tesis, dan disertasi), patent, prosiding, Standar Nasional Indonesia (SNI), serta pidato pengukuhan guru besar para akademisi dan peneliti.
Tampilan portal Garuda didesain seperti Google, untuk mempermudah akses, dan yang membedakan adalah tampilan metadata. Tentunya saya berharap akan semakin banyak perpusatakaan digital yang bermunculan dari instansi pendidikan lainnya.
Bagaimana prospek e-Learning di dalam negeri?
Di dalam resource ring tadi, salah satu yang kita di-share disamping perpustakaan digital yakni sumber-sumber daya pembelajaran. Dengan demikian, mata pelajaran berkualitas yang diajarkan oleh dosen-dosen yang berkualitas juga bisa diajarkan oleh perguruan tinggi dari Sabang sampai Merauke. Ini yang namanya resource ring atau pembelajaran yang kita sebut dengan e-Learning.
Sistem ini juga sudah kami bangun di Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer (APTIKOM) namum masih belum diimplementasikan. Kami targetkan pada 2012 sudah bisa diimplementasikan. Kalau ini berhasil, bisa dimanfaatkan oleh bidang ilmu yang lain. Nama sistemnya National Education Exchange for Undergraduate Studies (Nexus).
Dengan program ini juga, semua lulusan lembaga tinggi bidang TI akan memiliki sertifikat berstandar internasional selain ijasah sarjana TI. Jadi, dengan Nexus misalnya, mahasiswa dari Bali bisa mengambil mata kuliah di UI. Nah, ini yang kita sebut dengan credit transfer. Ini semua bisa dilakukan dengan e-Learning. Cara ini juga sudah dilakukan Singapura dan Malaysia.
Bahkan Eropa dan Amerika Serikat sudah lebih dulu. Di samping men-share sumber daya yang berkualitas, juga bisa memberikan relaxation bagi mahasiswa karena dia bisa belajar kapan saja dan dimana saja tetapi tetap tunduk pada aturan-aturan yang ada dan mengerjakan tugas sesuai kurikulum dan silabus.
Apa kendala dalam penerapan e-Learning?
Bagi dosen, harus sering berada di depan komputer untuk melakukan posting dan kemudian secara berkala melakukan cek untuk melihat feedback. Sementara bagi mahasiswa, kendalanya adalah belum tumbuhnya budaya belajar mandiri.
Dengan e-Learning, ada perubahan metodologi pembelajaran atau pendidikan. Salah satunya, adalah bagaimana merubah paradigma yang selama ini teacher center menjadi student center. Dengan belajar mandiri, mahasiswa harus tunduk dan jujur melaksanakan kewajibannya tanpa harus memanfaatkan kelemahan dari sistem itu sendiri. e-Learning memerlukan collective effort atau upaya yang kolektif dari individu, yakni dosen dan mahasiswa serta pengambil kebijakan. Secara kolektif mereka harus percaya bahwa dengan e-Learning bisa meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan akses ke pendidikan yang berkualitas.
Selain itu, e-Learning bisa meningkatkan efesiensi dan efektifitas. Kepercayaan ini masih belum seragam. Kendala yang kedua, kebijakan harus diciptakan agar e-Learning bisa lebih kurang sama dengan yang konvensional learning. Di luar negeri, seorang mahasiswa bisa memilih, apakah akan belajar on campus atau off campus, dan tidak 100 persen menggunakan komputer, tetapi tetap ada tatap muka. Ini yang kita sebut dengan program dual mode. Dan, progam ini sudah diterapkan di Fasilkom-UI.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan TI dengan negara-negara lain?
Ketertinggalan Indonesia dalam hal TI bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertama, publikasi ilmiah di bidang TI masih sangat terbatas dan tenaga-tenaga kerja TI yang vital di Indonesia juga masih terbatas bahkan masih ada beberapa yang dikuasai asing. Ketiga, karya-karya TI bangsa ini masih belum signifikan.
Dengan Singapura, dari segi competitive advantage. Kita masih tertinggal bahkan Malaysia pun lebih maju kualitas SDM-nya di bidang TI. Untuk mengejar ketertinggalan harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari semua pihak Persoalan ketertinggalan TI bukan masalah pemerintah dan regulasi saja, namun juga tanggung jawab seluruh elemen baik di bidang pendidikan, industri, bisnis, media dan lain sebagainya.
Maju Terus Pendidikan di Indonesia……..