Sepanjang sejarah penjualan tiket sepak bola di Indonesia, barangkali ini yang pertama kali menimbulkan kericuhan hingga menelan satu nyawa pemulung karena berdesak-desakan memperebutkan tiket di loket penjualan. Kondisi tidak normal ini sudah terjadi ketika timnas berhasil masuk semifinal melawan Philipina 19 Desember 2010. Kondisi ini berlanjut dan mencapai puncaknya pada tanggal 26 Desember 2010 saat ratusan bahkan ribuan pendukung rela antri dan menginap semalaman di depan loket padahal penjualan tiket baru dibuka pukul sepuluh pagi.
Keberhasilan timnas Indonesia masuk final melawan Malaysia seolah menyihir puluhan ribu pendukung fanatik sepak bola Indonesia untuk berduyun-duyun mengejar tiket di Senayan walaupun nyawa taruhannya. Penulis yang sempat mengamati langsung di lapangan hampir tak percaya kalau para penggila bola ini masih tetap setia menunggu di depan loket padahal hari sedang hujan dan waktu telah pukul 13.00 wkbi. Kondisi ini mengingatkan penulis pada situasi ketika orang berbondong-bondong antri tiket kereta api atau bis demi mendapatkan tiket mudik saat hari raya Idul Fitri tiba.
Timbul pertanyaan, apakah memang tidak ada cara lain lagi yang lebih efisien dan efektif untuk melayani masyarakat yang ingin menonton sepak bola di Stadion Bung Karno? Bukankah sistem penjualan tiket cara “jadul” ini sudah sering menimbulkan masalah bagi panitia dalam hal ini PSSI? Lalu, sampai kapan sistem ini dipertahankan kalau ternyata lebih banyak merugikan masyarakat? Masih banyak pertanyaan lain yang dapat diajukan kepada PSSI terkait sistem penjualan tiket sepak bola ini. Ironisnya masyarakat malah dituding tidak tertib ketika membeli tiket di loket sekitar stadion.
Amat miris rasanya melihat sistem penjualan tiket kejuaraan sepak bola piala AFF di gelora Bung Karno. Semestinya antrian panjang, desak-desakan, rebutan, menginap bahkan pingsan tidak perlu terjadi seandainya PSSI mau belajar dan mengevaluasi sistem penjualan tiket secara cermat dari berbagai sisi. Bagaimanapun juga para pendukung itu memiliki kekuatan pendorong spirit yang dapat menyemangati perjuangan anggota timnas di lapangan. Tanpa pendukung fanatik, mental dan semangat juang anggota timnas bisa rontok. Secara psikologis, kondisi ini bisa mempengaruhi penampilan pemain di lapangan. Oleh karena itu, PSSI harus menghargai dan mengedepankan sistem pelayanan yang lebih manusiawi kepada masyarakat yang dengan kerelaan ingin memberikan dukungan semangat secara spontanitas kepada timnas kebanggaan Indonesia ini.
Tiket Onine
Dalam kondisi sekarang, ketika teknologi informasi dan komunikasi sudah semakin maju dan canggih, semestinya sistem pelayanan atau penjualan tiket di Gelora Bung Karno sudah beralih ke cara yang lebih sistematis. Sejauh yang penulis amati, panitia piala AFF telah menggunakan sistem penjualan tiket online yang beralamat di http://www.ticketsas.com. Sayangnya, ini hanya berlaku bagi kelas VIP dan VVIP yang jumlahnya sangat terbatas. Itupun kabarnya tidak berfungsi maksimal alias error. Sementara tiket untuk kategori I, II dan III dijual dengan cara membeli langsung di loket sekitar stadion Bung Karno. Itupun harus menggunakan voucer yang dibagikan oleh panitia. Penjualan tiket langsung yang hanya menggunakan satu titik ini justru mendatangkan kekacauan karena ternyata pembeli membludak hingga sulit dikontrol. Mengapat tidak memberlakukan saja sistem online untuk semua kategori sehingga tidak membuat setiap orang bersusah payah antri berhari-hari untuk mendapatkan tiket?
Padahal sistem penjualan online ada yang menggunakan kartu kredit (real online) dan ada yang menggunakan cara transfer langsung via bank yang telah bekerja sama dengan pihak penylenggara sebagaimana yang dikatakan oleh Djoko Dryono, CEO P.T. Liga Indonesia (http://bola.inilah.com). Sistematika penjualan tiket online ini diatur langsung oleh AFF melalui WSG, pemegang hak komersial Piala AFF 2010. WSG kemudian menunjuk perusahaan seat adviser, yakni My Ticket yang khusus menangani penjualan tiket dan pengaturan tempat duduk. “Mulai dari penjual dan pengatur masuknya penonton semuanya dari mereka (WSG), yang dibekali secara khusus kemampuan untuk mengoperasikan peralatan yang terintegrasi secara online serta kemampuan khusus untuk mengatur alur penonton,” demikian pernyataan Djoko sebagaimana dikutip dari situs http://bola.inilah.com.
Dalam praktiknya, sistem ini tidak berjalan seperti yang diharapkan karena masih banyak yang tidak bisa mendapatkan atau membeli tiket secara online pada hari H nya. Apakah memang ada kesalahan sistem ataukah ada unsur kesengajaan untuk tidak memfungsikan tiket online-nya sehingga calon pembeli sulit mengaksesnya, ini masih menjadi tanda tanya sebagian penggila bola di twitter.
Teknologi Pendukung
Harap diingat bahwa gelora Bung Karno berada di ibu kota negara yang infrastruktur teknologi informasi dan komunikasinya cukup mendukung untuk pengembangan sebuah sistem pelayanan tiket secara terpadu dan online. Bukankah sistem pelayanan tiket online kini sudah menjadi hal yang biasa di sebagian besar negara di dunia? Sistem pelayanan tiket elektronik (e-ticketing) ini bisa dijadikan acuan bagi PSSI untuk membangun sistem pelayanan tiket elektronik di gelora Bung Karno. Secara teknis, hal ini sangat dimungkinkan mengingat kapasitas stadion sudah diketahui dan tempat duduk dalam stadion sudah jelas pembagiannya. Hal ini ditunjang pula dengan ketersediaan infrastruktur teknologi informasi dan sumber daya manusia yang memadai untuk mengembangkannya. Lalu mengapa pihak penyelenggara tidak menerapkannya dengan baik. Ada apa sebenarnya dengan sistem penjualan tiket online sehingga panitia masih kembali ke cara-cara penjualan tradisionnal yang terkesan tidak profesional itu? Bandingkanlah dengan Malaysia yang konon masyarakatnya tidak seantusias Indonesia, tetapi sistem penjualannya tidak membuat pembeli tiket berjubel-jubel di depan loket. Padahal kapasitas tempat duduk di Stadion Bukit Jalil itu bisa mencapai seratus ribu kursi. Kenyataannya semua kursi terisi penuh walaupun tidak seheboh di Indonesia.
Pihak penyelenggara khususnya PSSI tampaknya masih harus belajar lagi ke negeri jiran atau ke negara-negara barat yang sukses melaksanakan sistem penjualan tiket pertandingan sepak bola, yang bisa menghasilkan keuntungan besar secara finansial tetapi tidak merugikan para pendukung fanatis atau masyarakat yang ingin menyaksikan langsung tim-tim kesayangannya di lapangan. Kekisruhan penjualan tiket di Senayan beberapa waktu lalu itu hendaknya menjadi pelajaran berharga buat PSSI untuk membenahi sistem penjualan tiket yang lebih baik lagi. Lebih baik di sini dapat diartikan sebagai upaya untuk menerapkan suatu pola manajemen penjualan tiket yang lebih sistimatis dan otomatis yang berbasiskan teknologi informasi. Kalau sistem itu sudah tersedia, tinggal manajemennya yang harus dibenahi dan dijalankan secara professional sehingga masyarakat bisa terlayani dengan baik sehingga tidak dirugikan baik secara materi maupun non materi. Kalau sistem itu belum tersedia, maka saatnya bagi PSSI untuk membangun sebuah sistem penjualan dan pelayanan tiket sepak bola secara terpadu dan sistimatis dengan basis teknologi informasi. Bila perlu PSSI bekerja sama dengan para pengembang sistem teknologi informasi dalam negeri yang telah berpengalaman dalam rancang-merancang sistem penjualan elektronik. Hal ini penting, agar PSSI makin siap dan professional melayani para pecinta sepak bola di tanah air yang kian banyak saja.
Partai Final Indonesia-Malayasia leg II di Gelora Bung Karno memang telah berakhir 29 Desember 2010 dengan skor 2-1 untuk Indonesia. Walaupun belum berhasil merebut piala AFF 2010, Indonesia sudah menang dan masih yang terbaik di mata publiknya sendiri. Apresiasi ini tetap diberikan para pendukung timnas Indonesia atas perjuangan mereka yang tak kenal menyerah di lapangan. Terbukti anggota timnas tetap dielu-elukan masyarakat Indonesia.
Ini suatu pertanda bahwa nilai-nilai sportifitas kini semakin dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Dukungan masyarakat yang luas ini hendaknya juga menjadi perhatian serius PSSI agar kehadiran mereka ke depan tidak lagi dilayani dengan cara-cara yang tidak profesinal dan tidak manusiawi. Mulailah dari sekarang untuk membenahi sistem pelayanan tersebut dan semoga ke depan sepak bola Indonesia makin maju dan bisa meraih juara.