Halaman-halaman situs jejaring sosial berperan penting dalam memicu pergolakan massa. Pemerintah Mesir pun kemudian memblokir layanan internet di negara tersebut. Imbasnya, hanya dalam 5 hari, Mesir mengalami kerugian industri hingga mencapai US$ 90 juta.
Mesir tengah bergejolak. Aksi demo besar-besaran terjadi di Kairo dan kota-kota lainnya di Mesir. Ribuan warga Mesir menuntut pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama tiga dekade tersebut. Pemerintahan Mubarak yang sedemikian lama telah menyuburkan praktik kolusi korupsi dan nepotisme (KKN), terutama di lingkungan keluarganya.
Namun Mubarak yang telah berusia 82 tahun tahun ini mengabaikan desakan massa untuk mundur dari kursi presiden. Demonstran yang marah hingga berita ini diturunkan masih melancarkan aksi protes. Bentrokan antara massa pendukung dan antipemerintahan pun tak terhindarkan dan telah menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan fisik kota.
Facebook dan Twitter
Para pengamat teknologi informasi (TI) menilai, gelombang demonstrasi yang terjadi di negara Piramid itu tak lepas dari peran akses internet termasuk situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Medium internet itu memang menjadi salah satu sarana utama kalangan antipemerintah untuk saling berkoordinasi dan berbagi info.
Tak heran jika pihak Mesir sempat memutus akses internet untuk menanggulangi demonstrasi pada 27 Januari 2011. Jaringan Blackberry yang selama ini diandalkan untuk menjadi sarana komunikasi yang aman, karena tak bisa disadap oleh aparat setempat karena menggunakan server di Swedia, pun ikut diberangus. Karena juga diputus. Hanya saja, tampaknya tindakan preventif itu tidak berhasil karena demonstrasi massal kembali pecah secara serentak di penjuru Mesir pada 28 Januari 2011.
Langkah pemerintah Mesir memutus akses internet untuk meredam massa menandakan bahwa pengaruh jejaring sosial dalam menciptakan pergolakan massa sangatlah besar. Kolumnis ComputerWorld, Jaikumar VijayanRezim berpendapat, Mubarak tidak ingin mengulang kejadian di Tunisia sekaligus ingin mengadopsi langkah-langkah China dan Iran dalam membendung gerakan populer yang dibantu oleh media-media sosial di internet.
Selama ini. para aktivis dan kubu oposisi bisa dengan mudah memobilisasi massa dan melakukan koordinasi gerakan unjuk rasa melalui Facebook dan Twitter. Internet juga dianggap telah mencoreng pemerintahan Mesir, karena masyarakat dengan mudahnya menyebar cuplikan-cuplikan bentrokan ke seluruh dunia melalui YouTube dan blog.
Mengutip Social Bakers yang mengamati perkembangan jejaring sosial di negara itu dikatakan bahwa enam bulan lalu, jumlah pengguna jejaring sosial itu tidak sampai 3,2 juta. Namun, hingga awal Februari, pengguna Facebook di Mesir telah berjumlah lebih dari lima juta orang. Sejumlah grup di Facebook secara dramatis bermunculan, mulai dari tema kekerasan, ekonomi hingga aksi menggulingkan Mubarak.
Sekitar 85 persen pengguna dilaporkan masuk dalam angkatan usia produktif, yaitu 18 hingga 44 tahun. Artinya, jejaring sosial sangat efektif untuk dijadikan alat perjuangan para aktivis untuk berkoordinasi dan memobilisasi massa.
Akses Internet Kembali Aktif
Setelah sempat diblokir selama beberapa hari, akses internet di Mesir pada 2 Februari 2010 akhirnya kembali tersambung. Sebelumnya, Presiden Hosni Mubarak juga telah mengeluarkan pernyataan politik bahwa ia tidak akan maju dalam pemilihan presiden September mendatang.
Layanan pemantau trafik internet Renesys dan RIPE juga memperlihatkan lonjakan trafik yang tinggi dari Mesir setelah beberapa hari sempat tidak ada sinyal sama sekali. “Situs-situs Bursa Saham mesir, Bank Komersial Internasional Mesir, MCDR, dan Kedutaan AS di Kairo kembali dapat diakses,” tulis Renesys, seorang wartawan yang bertugas di Mesir, dalam blog resminya.
Mengomentari tindakan pemerintah setempat, operator Vodafone dan France Telecom menyebutkan, tidak ada opsi hukum untuk menghindari tuntutan pemerintah Mesir. Pemerintah setempat memang memiliki kemampuan untuk mematikan layanan. “Kami ingin menjelaskan bahwa pihak berwenang di Mesir memiliki kemampuan teknis untuk menutup jaringan kami. Dan jika mereka melakukannya, ini akan berdampak pada lamanya proses pemulihan layanan kepada pelanggan kami,” tulis Vodafone dalam website resminya. Vodafone mengakui bahwa semua operator seluler diperintahkan menutup server mereka di beberapa wilayah.
Sementara itu, France Telecom yang bekerjasama dengan Orascom yang mengoperasikan jaringan Mobinil di Mesir menyesalkan adanya perintah untuk mematikan jaringan mereka. Namun menurut juru bicaranya, layanan mereka kini telah kembali beroperasi.
Juru bicara itu mengatakan sekitar 20 karyawan asing beserta keluarga di perusahaan mereka ditarik keluar dari Mesir demi keamanan.
Rugi US$ 90 Juta
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menduga, pemutusan jaringan internet dan telekomunikasi secara paksa di Mesir selama lima hari diperkirakan mengakibatkan kerugian industri mencapai US$ 90 juta. Jumlah ini merupakan kerugian dari menghilangnya revenue perusahaan penyedia layanan internet (Internet Service Provider atau ISP) dan telekomunikasi selama lima hari. Setiap harinya revenue yang hilang di kedua industri itu mencapai US$ 18 juta.
Angka ini bahkan belum termasuk kerugian yang dialami perusahaan lain yang menggantungkan diri pada layanan telekomunikasi dan internet seperti eCommerce, pariwisata, call centre dan lain sebagainya. Layanan TI dan sektor outsourcing di Mesir memang menjadi sektor ekonomi yang tumbuh cukup pesat dan sangat bergantung pada jaringan internet dan telekomunikasi.
Perusahaan outsourcing TI di Mesir telah menghasilkan revenue sekira US$ 1 miliar pada 2010 lalu atau sekitar US$ 3 juta per hari kerja. Perusahaan jasa ini melayani konsumen di luar negeri melalui call center, helpdesk, dan lainnya.
Para pengamat juga menilai, setelah kerugian jangka pendek tersebut, Mesir akan mengalami damak jangka panjang karena investor asing di sektor dan industri TI akan berpikir ulang berinvestasi di Mesir. Padahal ketertarikan investor untuk berinvestasi di Mesir merupakan strategi penting bagi pemerintahan Mesir. Belum lagi kerugian dari sisi kerusakan pariwisata, ekonomi dan lain sebagainya.
Oleh karena itu OECD meminta Mesir untuk me-review kembali kebijakan TI di negara tersebut. Mesir merupakan salah satu negara yang masuk dalam deklarasi OECD di Seoul pada 2008 lalu untuk menjadi contoh perkembangan internet di masa depan, yang dianggap sebagai negara dengan kondisi internet yang ‘terbuka, terdesentralisasi, dan dinamis’.
Kebijakan Yang Sama
Akses publik yang bebas dan terbuka memang mempengaruhi stabilitas pemerintahan. Hal itu dikatakan pengamat TI Harvest, Richard Stiennon. “Pemerintah punya kemampuan untuk memblokir semua akses ke layanan-layanan tertentu. Pihak berwenang harus memutus semua akses internet secara serentak di semua wilayah untuk mencegah massa berkoordinasi satu sama lain. Masalahnya, sampai seberapa lama tindakan itu bisa dilakukan?” kata Stiennon yang dikutip ComputerWorld.
Pemblokiran serupa pernah dilakukan Iran ketika menghadapi gelombang demonstrasi massal pada 2009. Saat itu kubu oposisi sukses menghimpun massa melalui berbagai pesan di Twitter dan Facebook untuk menentang hasil pemilu, yang mereka anggap sarat kecurangan sehingga memenangkan kembali Presiden Mahmoud Ahmadinejad.
Iran pada saat itu memblokir semua akses internet untuk publik sehingga massa demonstran pun kesulitan berkoordinasi di berbagai kota dan akhirnya gerakan anti Ahmadinejad berhasil ditangkal.
Pemerintah China yang hingga saat ini memagang kendali terhadap akses dan layanan publik di internet juga menerapkan kontrol yang sama. Bahkan, pengguna internet di China tidak bisa mengakses jejaring sosial yang populer sepertiFacebook, Twitter, dan YouTube.
Hanya saja berbeda dengan Iran dan China, Mesir yang sekarang tengah mengalami krisis ekonomi dengan tingkat pengangguran yang tinggi akan semakin terpuruk dengan kerugian yang diakibatkan oleh pemutusan jaringan internet beberapa hari lalu.
Sherif Mansour, pengamat dari Freedom Watch seperti dikutip Wired.com mengatakan, TI telah menjadi elemen penting untuk menggerakkan perekonomian. Pemerintah tak akan pernah berlama-lama memutuskan jaringan internet karena mereka pun butuh internet untuk menggerakkan ekonomi, investasi, dan beroperasi.
Bagaimana di Indonesia, apakah pemerintah suatu saat bakal memutus jaringan internet demi membukam pergerakan massa?