Gempa yang tejadi di Jepang pada 11 Maret 2011 lalu, kemungkinan besar dipicu oleh gempa yang terjadi dua hari sebelumnya sebesar 7.2 SR. Indikasinya adalah adanya perubahan Coulomb stress di sekitar wilayah gempa. Gempa yang terjadi di Jepang hampir mirip gempa yang terjadi di Indonesia, tapi karena jaraknya atau letaknya jauh, maka gempa Jepang pada Jumat lalu tidak memicu terjadinya gempa di Indonesia.
Menurut Agustan, Perekayasa Bidang Deformasi Kebumian Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam , mekanisme gempa menyebabkan deformasi vertikal sebesar 5m pada dasar laut yang akhirnya menimbulkan terjadinya tsunami. Selain itu, terjadi pula penurunan (subsidence) di daratan lebih dari 1m. “Berdasarkan data historis, daerah tersebut (Sanriku-red) memang sering terjadi gempa besar. Misalnya tahun 1968 dengan skala Mw 8.2 dan tahun 1994 sebesar Mw 7.7,” dalam Bincang Iptek 2011 dengan mengambil tema analisis gempa Jepang dan mitigasi bencana di Indonesia di Jakarta, (16/3).
Terkait dengan tsunami yang juga menerjang Jayapura, Wahyu Pandoe, Kepala Program Operasi Ina Buoy Tsunami Early Warning System (TEWS), menjelaskan bahwa beberapa menit setelah gempa, empat buoy di daerah sekitar epicentrum gempa mendeteksi datangnya tsunami. Buoy-buoy tsunami yang tersebar di Samudera Pasifik juga mendeteksi hal yang sama. “Dari situlah kami dapat mendeteksi datangnya tsunami ke Jayapura, sehingga dapat dilakukan peringatan dini bagi masyarakat Jayapura. Tsunami tersebut terjadi enam jam setelah gempa di Jepang,” terangnya.
Lebih lanjut Wahyu menambahkan, berdasarkan data yang didapatkan dari kedalaman 4431m di dasar laut, lanjutnya, tinggi gelombang tsunami di laut mencapai 20cm. Estimasi kasarnya, di darat tinggi air pasang tsunami mencapai 2m. “Kecepatannya sangat luar biasa, sekitar 800km/jam. Yang harus diketahui masyarakat, tsunami tidak harus di awali dengan surutnya air di pantai, bisa juga langsung terjadi gelombang pasang tsunami”.
Pascagempa bumi berkekuatan sembilan skala Richter yang melanda Jepang pada Jumat pekan silam, beberapa pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN mendadak berhenti beroperasi dan mengalami masalah serius. Termasuk, tiga reaktor nuklir di Kompleks PLTN Fukushima Daiichi, yakni unit satu, dua, dan tiga. Sehubungan ancaman radiasi nuklir di Jepang, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) menyatakan wilayah utara Indonesia, khususnya Manado, Sulawesi Utara, kecil kemungkinan terkena dampak.
Menurut Kepala Bapeten As Natio Lasman, jika mengikuti arah angin yang mengarah ke utara dan barat, maka negara yang berpotensi terkena radiasi adalah Rusia dan Cina “Terkait dengan ketakutan terhadap bahaya radiasi tersebut memasuki wilayah Indonesia, perlu kami sampaikan, bahwa rata-rata kecepatan angin adalah 0,2-0,3 meter/detik pada arah Utara-Barat, bukan ke arah Indonesia yang berada di sebelah Selatan Jepang. Maka Bapeten menyatakan tidak perlu masyarakat Indonesia khawatir,” papar As.