KEMBALI kami menampilkan kontroversi yang terjadi di kancah TI nasional pada edisi BISKOM Mei tahun ini. Bagi kami cukup beralasan menampilkan wacana TI soal Open Base Transceiver Station (BTS) sebagai Headline karena memang teknologi karya putra bangsa ini butuh dukungan agar Open BTS makin berkembang dan tepat guna. Salah satu bentuk dukungannya antara lain dengan menyebarkan informasi ihwal teknologi Open BTS ini agar khalayak pembaca dan masyaraat luas tidak salah kaprah menanggapi tentang Open BTS dan kontroversinya.
Seperti dikatakan salah seorang pembina di Yayasan AirPutih, M. Salahuddien yang menyatakan memperdebatkan aspek legalitas implementasi Open BTS adalah sangat tak beralasan mengingat tujuannya yang non komersial, penelitian, pengetahuan, pembelajaran, akses daerah bencana dan terpencil, guna memenuhi hak publik yang sesungguhnya justru dijamin UUD bahkan merupakan Hak Asasi menurut PBB.
Dalam kenyataannya, kata Salahuddien, penggelaran sistem darurat bersama dengan sistem manajemen kebencanaan berbasis teknologi informasi (TI0 dan internet seperti Open BTS, dalam waktu secepatnya, terbukti menurunkan tensi kepanikan di luar lokasi bencana serta meningkatkan efisiensi dan akurasi misi kemanusian. Ditambah bonus aliran informasi aktivis media sosial alternatif, relawan, jurnalis serta survivor membuka keterisoliran.
Apakah teknologi ini hanya untuk kedaruratan atau di lokasi bencana? Lebih dari itu, potensi memenuhi hak mendapatkan dan mengakses informasi bagi masyarakat perbatasan, boleh jadi menjadi salah satu aplikasi yang juga telah lama dinanti. Demikian juga para nelayan tradisional di perkampungan garis pantai yang terpencil barangkali bisa mendapatkan manfaat tersendiri dari gelaran teknologi ini. Misalnya relay SMS gateway broadcast, informasi klimatologi dan siapa tahu ada yang menyediakan tambahan berita jadwal pelelangan serta harga komoditas kelautan.
Bentuk implementasi lainnya, bayangkan wilayah timur Indonesia yang jauh tertinggal, tidak mungkin memenuhi skala ekonomi layanan komersial dan jumlah penduduk yang sedikit namun tersebar sangat luas serta sesungguhnya memiliki hak yang sama sebagai warga negara untuk menikmati infrastuktur telekomunikasi yang mendorong kemajuan ekonomi dan peradaban.
“Manakala kita melihat sebuah teknologi tidak hanya sekedar sebagai alat untuk menghasilkan keuntungan para pemilik modal di industri telekomunikasi semata dan regulasi yang 100% hanya memihak kepada pemilik modal, mungkin kita akan dapat melihat potensi besar yang lain: menjembatani harapan mereka yang terlupakan,” ungkap Didin
Yang jelas, imbuh Didin, secara formal kegiatan penyelenggaraan telekomunikasi untuk tujuan kedaruratan dalam berbagai interpretasinya belumlah diatur di dalam peraturan perundangan yang manapun. Maka UU 36/1999 Tentang Telekomunikasi yang hanya mengatur pelaku usaha dengan tujuan ekonomi semata, tidak tepat untuk digunakan mensikapi misalnya implementasi Open BTS untuk tujuan sosial. “Dan di atas segalanya, eksplorasi teknologi tepat guna Open BTS yang masih langka ini dipelopori, diminati dan dibanggakan oleh anak muda bangsa sendiri,” ucap Didin.
Inilah alasan kami mengangkat seputar Open BTS, selanjutnya selamat membaca, maju terus TI Indonesia!
Salam,
REDAKSI