Barangkali banyak diantara konsumen telekomunikasi yang belum memahami manfaat dari teknologi 2G yang kemudian berkembang menjadi 2.5G dan 3G, sampai akhirnya kini muncul teknologi 4G beserta polemik yang mengikuti perkembangannya.
Teknologi generasi ketiga atau 3G sebenarnya sudah umum dipakai. Dengannya, kita dapat menyaksikan acara televisi di smartphone (TV over Internet Protocol), melakukan percakapan VoIP bahkan memanfaatkan video call, atau browsing dimana dan kapanpun dengan modem 3G. Tentunya aktifitas-aktifitas ini tidak bisa dilakukan jika menggunakan teknologi 2G yang hanya terbatas pada pertukaran komunikasi suara dan teks berupa pesan singkat SMS.
Menyusul kemudian pada awal 2000-an, kita mengenal teknologi-teknologi generasi 2.5 seperti General Packet Radio Service (GPRS) dan Enhanced Data rates for GSM Evolution (EDGE) yang mempunyai kemampuan transfer data yang lebih cepat, sehingga dapat digunakan untuk berkirim data dalam jumlah besar.
Jika Anda berfikir teknologi 3G sudah cepat, maka teknologi 4G yang ada saat ini seperti Wi-Fi dan WiMax, jauh lebih cepat dengan kemampuan mentransfer data hingga 100 megabit per detik. Dengan teknologi 4G, kita bisa mengunduh sebuah film berkualitas DVD hanya dalam waktu 6 menit saja. Hebat!
Meski 4G sudah mulai diterapkan di negara-negara luar, sayangnya di Indonesia, ekosistem frekuensi kanal 4G atau Long Term Evolution (LTE) dinilai masih belum siap. Artinya, pelaksanaan frekuensi 4G akan tersendat.
Penggagas IndoLTE Forum, Heru Sutadi kepada wartawan di Jakarta (26/6) menjelaskan, “Regulator harus segera menyiapkan frekuensi 4G, kecepatan data maksimal berapa, sekaligus regulasinya.”
Saat ini, pemerintah masih mempertimbangkan frekuensi yang memungkinkan untuk dipakai 4G. Ada empat skema yang telah disiapkan pemerintah terkait frekuensi kanal 4G. Pilihannya adalah, memakai frekuensi 700 MHz, 1800 MHz, 2100 MHz atau 2300 MHz. Menurut Heru, frekuensi yang paling memungkinkan dipakai untuk kanal 4G adalah 2300 MHz. “Lebar frekuensi ini baru dimanfaatkan sekitar 30 Mhz dari total 90 MHz yang tersedia di frekuensi ini. Bila ingin cepat, bisa memanfaatkan pita frekuensi yang kosong,” tambahnya.
Selama ini frekuensi 2300 MHz dimanfaatkan untuk teknologi WiMax. Namun teknologi tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Adopsi WiMax di Indonesia dinilai harus memiliki investasi infrastruktur yang lebih besar. Sedangkan teknologi 4G, biaya investasi infrastruktur bisa ditekan karena operator sudah memiliki tower. “Jika mau memakai frekuensi 2300 MHz, kita harus belajar dari negara lain. Apakah banyak negara yang memakai 4G di frekuensi tersebut?” papar Heru.
Untuk gambaran, frekuensi 4G di Amerika Serikat di 700 MHz, sementara di Eropa rata-rata memakai frekuensi 4G di 2500 – 2600 MHz. Hanya Australia yang memakai frekuensi 4G di 2300 MHz, itupun dengan penataan ulang frekuensi (refarming). Bahkan di luar negeri malah jarang menggunakan frekuensi 2300 MHz untuk 4G. “Jika dipaksakan, sementara sisa lebar pita frekuensi sekitar 60 MHz di 2300 MHz hanya cukup diperebutkan oleh tiga operator saja,” tambahnya.
Sebenarnya masih ada opsi untuk memakai frekuensi di 700 MHz. Di sini, lebar peta frekuensinya mencapai 140 MHz, cukup longgar bila diperebutkan oleh 7 operator telekomunikasi di Indonesia. Namun implementasinya, frekuensi ini baru bisa dipakai pada 2018, setelah proses migrasi televisi analog ke digital rampung.
Adapun, di frekuensi 2100 MHz, penerapan 4G terbentur pada kondisi belum bersebelahannya blok-blok tiap operator. Sehingga frekuensinya harus ditata ulang karena sekarang kondisinya tidak seimbang antar operator, ada yang lebar frekuensinya 10 MHz dan ada yang 15 MHz. Padahal, untuk teknologi 4G minimal perlu 20 MHz agar optimal.
Dengan segala permasalahannya, apakah mustahil teknologi 4G diimplementasikan di Indonesia? Tentunya tidak. Jika permasalahan regulasi selesai, kita tinggal menunggu waktu saja untuk benar-benar merasakan teknologi ini muncul di tengah-tengah kita.