Ketika teknologi informasi (TI) jadi solusi, bidang apapun bisa beres, setidaknya hidup menjadi lebih baik. Begitu pula ketika TI menyentuh bidang transportasi, kemacetan di Ibu Kota bisa lebih ditekan. Dengan mengandalkan solusi lalu lintas elektronik berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP), diharapkan bisa menekan pengguna kendaraan yang melintasi jalan-jalan arteri Jakarta yang makin hari makin sesak. Volume kendaraan yang membeludak tak mampu lagi tertampung di ruas-ruas jalan hingga kecepatan kendaraan pun makin berkurang dan terjadilah macet.
Sistem ERP ini baru akan diberlakukan di Jakarta karena sudah tidak ada lagi solusi TI lain yang dianggap mampu mengatasi kemacetan. Sebab selama ini sudah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan Pemda DKI untuk mengatasi masalah ini, tapi upaya tersebut umumnya lebih bersifat pembangunan fisik transportasi semata, dengan kemacetan yang masih tetap ada. Namun tak cukup hanya dengan TI, legal aspek dan infrastruktur lainnya termasuk penyediaan kendaraan massal yang lebih banyak juga diperlukan untuk mengganti para pengendara menggunakan kendaraan pribadinya.
Tentu saja TI tidak hanya menjadi solusi untuk transportasi darat, termasuk juga transportasi udara dan laut. Di Indonesia sendiri sudah banyak perusahaan TI swasta yang bisa menawarkan berbagai solusi TI ini. Termasuk perusahaan yang berfokus pada layanan TI untuk industri perjalanan dan transportasi.
Layanan yang bukan hanya terkait pengadaan software dan hardware-nya saja, tapi juga menyediakan layanan konsultasi, solusi spesifik untuk kebutuhan industri tertentu, pengembangan, implementasi, dan operasionalnya. Sebuah Solusi TI bidang transportasi yang menyeluruh dan berstandar internasional. Dengan begitu ita berharap ERP di Jakarta nantinya bisa diterapkan sebagaimana yang tellah diterapkan di Singapura.
Headline BISKOM September ini menawarkan sebuah wacana, opini dan solusi atas pemanfaatan kemajuan TI untuk mengurangi mobilitas kendaraan di Ibu Kota. Kami juga menyajikan wacana terhangat lain di bidang TI yakni banyaknya dugaan tindak terorisme yang memanfaatkan TI sebagai salah satu penunjang aksi terorisnya. Kepolisian menyebut mereka adalah hacker yang memanfaatkan kemampuan programming-nya guna menunjang aksi mereka. Namun para pengamat TI kebanyakan membantah bahwa mereka bukanlah hacker. Mereka hanya memiliki keterampilan programming, tapi tidak serta merta bisa disebut hacker teroris.
“Hacker sebenarnya tidak akan terlibat melakukan akssi teroris, bahkan sebaliknya, mereka akan turut melawan aksi terorisme yang memanfaatkan TI untuk aksi kriminalnya,” demikian para praktisi dan pengamat TI berkesimpulan.
Agar tidak terjadi salah persepsi di bidang TI, simak berbagai artikel menarik Biskom September ini. Selamat membaca.