DIREKTORAT Pemberdayaan Industri Informatika (PII) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menggelar forum diskusi  “Pengembangan Distro Pemerintah Dalam Rangka Pemberdayaan Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).”

Diselengarakan di Hotel Morrissey Jakarta (9/12),  pertemuan yang menghadirkan wakil dari sejumlah perusahan TI, termasuk Microsoft Indonesia dan IBM Indonesia ini menyimpulkan tekad bersama untuk melakukan perubahan dari “Negara Konsumen ke Negara Produsen.”

Ashwin Sasongko S., Dirjen Aplikasi Telematika Kemkominfo mengatakan,  “Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan tidak hanya semangat yang bulat, namun kebersamaan untuk mendorong terciptanya produk-produk yang dibuat oleh anak bangsa, baik berupa produk fisik (hardware) maupun virtual, berupa layanan, termasuk software dan kombinasi berupa perangkat device yang dapat dijadikan bagian dari industri TIK.”

Sebagai contoh, software bebas dan open source (F/OSS) telah menawarkan sebuah platform legal dengan biaya rendah, serta kode sumber yang terbuka memiliki “entry barrier” rendah. Hal ini memungkinkan perusahaan “start-up” lebih mudah untuk memulai sebuah bisnis di dalam ekosistem industri TIK. Keunggulan teknologi dan standarisasi yang dimilikinya, juga mempermudah para pengusaha muda untuk bersaing di pasar Internasional.

Kendati demikian, diperlukan pemahaman terhadap beberapa model bisnis open source, yang secara nature sangat berbeda dengan model bisnis yang lazim dikenal masyarakat pada saat ini. “Hal ini menjadi sangat penting, untuk memberikan ide inspiratif, dan membantu wiraswasta mendapatkan peluang untuk menciptakan model bisnis yang lebih baik, lebih tepat dengan kemampuan dan sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing,” papar penggiat open source, Rusmanto Maryanto.

Diskusi  juga menghadirkan nara sumber yang berkompeten di bidang ini diantaranya I Made Wiryana, Dwi Nugroho, Widjaja Mulia, Mohammad Anwari, Utian Ayuba, Ainul Hakim dan Sokhibi.

Disamping banyak peluang yang ditawarkan dari serangkaian sisi positif yang dimiliki oleh F/OSS, seperti kebebasan, penghematan, fleksibilitas, keamanan, faktor mendidik, dan lainnya, juga perlu mendapatkan perhatian adanya beberapa risiko dalam pendayagunaan F/OSS. Secara organik, sistem “open source” dan sistem “closed source” semakin saling terkait. Keduanya bersaing dan berinteraksi, namun saling memberikan manfaat satu sama lainnya.

Disadari, bahwa ekosistem bisnis di lingkungan F/OSS yang produktif, sebenarnya belum terbangun dengan baik. Hal ini, disamping menjadi sebuah tantangan bersama, namun sekaligus memberikan banyak peluang. Peluang tersebut, dapat dijadikan sebuah momentum untuk bergotong-royong membangun ekosistem industri TIK, dalam rangka melepaskan Indonesia dari belenggu konsumen menjadi produsen. Sebagai acuan awal, dipetakan kondisi pada saat ini, untuk mendapatkan gambaran dan materi kajian lebih lanjut, terutama dalam merumuskan daftar tindakan, agar ekosistem bisnis F/OSS dapat bergulir lebih baik.

Pemahaman yang lebih baik tentang motiviasi pengembang dan pengguna F/OSS perlu dikedepankan untuk memungkinkan kerja sama yang baik. Dalam konteks ini, “filosofi meritrokrasi,” sebagai salah satu faktor penting yang meyakinkan para pengembang F/OSS, memberikan kontribusinya membuat output terbaik, membina rasa memiliki, tanpa perlu berbicara banyak soal finansial. Motivasi yang sama tidak hanya dimiliki oleh kontributor F/OSS perorangan, namun juga sudah menjadi lazim bagi kontributor F/OSS yang datang dari perusahaan maupun pemerintah.

Dari sisi formal, diperlukan tanggung jawab pemerintah dalam menyikapi permasalahan terkait, seperti yang telah dilakukan di mancanegara, seperti Jerman, Perancis dan China, dalam penerapan F/OSS menggunakan distro pilihan mereka mulai dari LiMux, GendBuntu, UbuntuKylin dan lain sebagainya.

Selanjutnya, dibahas lebih rinci mengenai proses pembuatan sebuah distro lokal yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Tanpa dukungan yang berkelanjutan, sebuah distro memiliki nilai yang tidak lebih dari sebuah cakram plastik, demikian juga tanpa tindakan lebih lanjut, nilai sebuah dokumen kajian sama dengan setumpuk kertas.

Herry Abdul Aziz, Direktur PII Kemkominfo menyampaikan, “Pengembangan penggunaan piranti lunak sistem terbuka perlu didukung oleh kementerian lain dan para vendor TIK. Bentuk dukungannya bisa bermacam-macam,  antara lain saya berharap, para produsen peralatan TIK, seperti printer dan lain-lain, menyediakan driver pada setiap produk baru yang masuk di Indonesia. Dengan demikian nantinya tidak ada lagi keluhan karena kesulitan dalam mencetak dokumen. Di samping itu, dukungan komunitas, akademisi dan praktisi TIK  juga sangat penting. Direktorat PII tidak bisa berjalan sendiri, komitmen semua pihak membuat kami lebih yakin dalam memberdayakan potensi lokal TIK.”

Diskusi ini juga dihadiri Selliane H. Ishak (Kasubdit Industri Perangkat Lunak Kemkominfo) Anton Raharja (ITMN) dan Soegihato Santoso (BISKOM). •

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.