MERGER antara dua operator selular yakni PT XL Axiata dengan PT. Axis Telekom Indonesia sedang ramai diperbincangkan. Pada November lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Tifatul Sembiring, akhirnya memberikan persetujuan terhadap permohonan merger – akuisisi yang dilakukan oleh XL dengan Axis. Persetujuan tersebut tertuang dalam surat Menteri Kominfo No. 1147/M.KOMINFO/UM.01.01/11/2013 tertanggal 28 November 2013 yang juga ditembuskan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Tifatul beralasan, Axis hampir gulung tikar. Apabila hal tersebut terjadi, maka negara akan merugi sebanyak Rp. 1 triliun. Dengan adanya merger, diharapkan XL bisa menanggung Biaya Hak Penggunaan (BHP) Axis yang tertunggak.
“Sudah jarang pelanggan yang menggunakan Axis. Ini tidak bagus. Jangankan di Indonesia, di dunia internasional bisnis operator seluler juga sedang down. Ada yang hidup dan ada yang mati,” ujar Tifatul di Jakarta (11/12).
Keputusan Menkominfo ini diambil sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kementerian Kominfo bisa memastikan bahwa proses merger antara XL dengan Axis akan sangat menguntungkan negara, baik dari aspek peningkatan perolehan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), BHP spektrum frekuensi radio secara maksimal, dan juga dari aspek pemanfaatan Spektrum Frekuensi Radio dari kemungkinan kondisi yang idle.
Yang terpenting, bukan hanya negara yang diuntungkan dari merger tersebut, para konsumen juga akan mendapatkan imbas positif nya, karena konsumen dari Axis nantinya juga akan mendapatkan pelayanan di XL Center, dan mendapatkan jangkauan layanan yang lebih luas hingga ke sebagian Sumatera dan Surabaya dengan bantuan jaringan dari XL.
Ia juga menambahkan tidak khawatir bila harus dipanggil untuk menjelaskan alasan keputusannya di Gedung DPR karena langkahnya sudah tepat.
“Menurut hitungan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dari 5 Mhz saja negara berpotensi dapat pemasukkan sekitar Rp 4 triliun. Apalagi kalau 10 Mhz, tentu lebih besar lagi,” ungkap Tifatul.
Angka Rp 4 triliun yang diperkirakan BRTI tersebut berasal dari sewa spektrum sebesar 5 Mhz dari tahun 2014 hingga tahun 2023. Pemasukkan dari sewa frekuensi itu diakui Tifatul masuk dalam kas negara sebagai PNBP.
Tifatul juga mengatakan jumlah operator seluler di Indonesia juga sudah terlalu banyak. Jumlah operator seluler yang ideal di Indonesia menurutnya tidak lebih dari tujuh operator, agar semua operator bisa bertahan. •ARIE/TAUFIK (foto)