Istilah wearable gadget semakin akrab saja di telinga para pecinta Teknologi Informasi (TI) belakangan ini. Sebutan wearable gadget muncul setelah banyak vendor yang membuat gadget pintar yang bisa dipakai ditubuh sebagai aksesori, seperti jam tangan pintar, kacamata pintar, perangkat kesehatan, perhiasan, baju dan lain sebagainya. Bagaimana prospeknya kedepan?
DENGAN wearabe gadget, pengguna dapat melakukan streaming video, menonton konten 2D dan 3D, surfing web, membuat serta menyimpan berbagai aplikasi dan juga bermain game, dengan cara yang lebih ringkas, karena perangkat selalu berada di tubuh si pemakai sepanjang waktu.
Sejauh ini, wearabe gadget belum banyak yang beredar dan masih berupa prototipe. Namun perangkat dengan embel-embel pintar ini diakui cukup menarik banyak calon peminat. Tak heran jika wearable gadget diprediksi akan menjadi primadona pada 2017.
Perusahaan analis Berg Insight melaporkan, penjualan kacamata pintar, jam tangan pintar, dan perangkat kebugaran akan menembus 64 juta unit pada tahun 2017. Dilansir BGR, perusahaan analis itu mengungkapkan, penjualan wearable gadget mencapai 8,3 juta unit pada 2012, naik 3,2 juta unit dari laporan tahun lalu.
“Maraknya inovasi dalam konektivitas nirkabel berdaya rendah, teknologi sensor, big data layanan Cloud, antarmuka perintah suara dan kemampuan komputasi mobile turut membuka jalan bagi teknologi wearable untuk berkembang,” ucap analis senior di Berg Insight, Johan Svanberg.
Generasi pertama dari wearable gadget menurut Svanberg baru menyasar pasar yang spesifik dengan segmentasi tertentu. Namun ke depan, seiring dengan perbaikan di sektor desain, teknologi, dan konektivitas, ketersediaan aplikasi serta adopsi wearable gadget akan meningkat.
“Agar sukses meraih pasar, perangkat harus berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari pelacak kebugaran atau pusat notifikasi eksternal smartphone,” imbuhnya.
Optimisme yang sama juga diperlihatkan survei yang dilakukan Firma IDC. Perusahaan itu bahkan menyebut wearable gadget sebagai kategori fast-emerging yang bisa memperlambat pertumbuhan tablet PC.
Sementara laporan terbaru BI Intelligence memprediksi potensi pasar wearable gadget mencapai US$ 12 miliar hingga tahun 2018, dengan anggapan tiap gadget rata-rata seharga US$ 42.
Periset pasar teknologi, Juniper Research memprediksi, nilai pasar wearable gadget akan mencapai US$ 19 miliar pada 2018 mendatang.
Smartwatch Paling Diminati
Diantara rupa dari wearable gadget, ekosistem smartwatch dinilai akan berkembang paling cepat. Para analis memprediksi, smartwatch akan menjadi tren di tahun 2014. Perusahaan riset Canalys mengatakan, akan ada lebih dari 5 juta jam tangan pintar yang dikapalkan pada tahun 2014.
Di tahun 2014, pengapalannya akan semakin membludak ketika brand-brand teknologi ternama seperti Apple, Google, HTC, Microsoft dan Samsung meluncurkan jam tangan pintar generasi terbaru. Bererapa vendor asal China juga meramaikan euforia smartwatch. Salah satunya adalah vendor smartphone Goophone. Bahkan produsen otomotif asal Jepang, Nissan, pun turut memeriahkan industri ini dengan memperkenalkan jam tangan pintar bernama Nismo.
Melihat hal ini, NextMarket Insight berani memprediksi penjualan jam tangan pintar di tahun 2015 akan mencapai 15 juta unit dan akan meledak hingga 373 juta perangkat di tahun 2020. Menurut perusahaan tersebut, kategori jam tangan pintar akan menjadi peluang pasar yang sangat besar, meskipun penetrasinya di pasar mobile masih biasa-biasa saja. Jam tangan pintar ini pun saat ini masih berfungsi sebagai komplementer atau pelengkap smartphone.
Banyak Hambatan
Masa depan wearable gadget dinilai kalangan bakal cerah, namun butuh waktu lama. Setidaknya kesimpulan inilah yang didapat Eksekutif Hexoskin, Misift, dan Qualcomm Life Fund di ajang Igintion 2013, seperti dikutip dari Business Insider.
Sonny Vu, pendiri Misift, mengibaratkan perkembangan wearable gadget seperti pertandingan baseball. Menurutnya, saat ini kita masih berada di inning pertama di babak satu, dari pertandingan sembilan inning. Memang masih banyak yang skeptis akan berapa besar potensi pasar wearable gadget hingga saat ini.
Menurut Sonny, kondisi pasar saat ini masih terpecah-pecah. Banyak orang yang saat ini saja masih belum menggunakan gadget sesuai fungsi utamanya. Misalnya, masih ada yang mendengarkan musik lewat smartphone, bukan perangkat musik khusus. Konsumen juga belum bisa menerima gadget yang hanya ditujukan untuk satu fungsi saja.
Sekedar catatan, dari 1.600 orang Inggris dan Amerika Serikat yang disurvei, hanya 6 persen responden yang saat ini telah memiliki perangkat wearable, termasuk jam tangan cerdas Nike FuelBand. Enam dari 10 umumnya menyukai ide jam tangan pintar yang dapat terhubung ke perangkat lain, sementara empat dari 10 mengungkapkan ketertarikannya dengan ide Google Glass.
“Maka, untuk membuat gadget yang menarik, produsen bukan hanya harus membuatnya secantik mungkin, atau bahkan tak terlihat, tetapi mereka juga harus membuatnya bisa berfungsi dengan baik ” imbuh Sonny.
Sejumlah hambatanpun diperkirakan akan menghalangi wearable gadget untuk berkembang. Menurut survei terbaru yang dilakukan GfK, hambatan terbesar yakni masalah harga.
GfK melihat, adanya minat konsumen tinggi terhadap perangkat tersebut. Namun, pihaknya memperingatkan vendor, sebaiknya bisa memberikan harga yang murah bila perangkat wearable-nya ingin menjadi suatu tren atau mainstream untuk dimiliki, saat mulai banyak tersedia di pasaran.
Rasa tertarik dengan ide futuristik yang ditawarkan wearable device bukan berarti mereka benar-benar akan membelinya. GfK menemukan, hanya 12 persen dari mereka yang berniat membeli satu perangkat tersebut untuk kisaran harga antara £150 – £200 (Rp 2,3 juta – Rp 3 juta). Sementara untuk kisaran £400 (Rp 6 juta) – £600 (Rp 9,2 juta) hanya sebesar 7 persen saja.
Faktor harga lah memang cukup menentukan, apakah ketertarikan mereka benar-benar dibuktikan dengan membeli berbagai jenis perangkat wearable tersebut. “Penelitian kami menunjukan, harga saat ini telah menjadi penghalang dalam membatasi teknologi wearable. Sehingga, kesadaran dan ketertarikan konsumen pasti ada. Kami pun masih menunggu peluncuran perangkat teknologi wearable yang mendapat predikat ‘harus dimiliki’ pada Natal 2013 nanti,” ujar peneliti di GfK, Johanna Martin, seperti dikutip dari The Guardian.
Belum Tertarik Mencoba
Selain faktor harga, kendala lain yang dihadapi wearable device saat ini, menurut Presiden dan CEO Sony Mobile Communications, Kunimasa Suzuki, adalah konsumen belum banyak yang tertarik mencoba perangkat pintar yang dipakai di tubuh, misalnya Smart Watch dari Sony.
Padahal, lanjut dia, kalau mau merasakan pengalaman memakai Smart Watch, konsumen pasti akan tergoda. “Tanpa mencobanya, sulit untuk mengerti potensi dari perangkat ini. Karena itu tantangan yang ada sekarang adalah bagaimana membuat jenis perangkat ini menarik untuk dicoba oleh konsumen.
Wakil Presiden Korporat Sony untuk wilayah Asia Tenggara dan Oceania, Matthew Lang, menambahkan bahwa Sony berusaha memecahkan masalah tersebut dengan memanfaatkan jaringan-jaringan ritel yang dimiliki, termasuk di Indonesia.
“Kami akan menggandakan investasi kami untuk menunjang faktor pengalaman yang dirasa pengguna (user experience) di toko-toko Sony dan bekerja sama dengan Sony Indonesia untuk memastikan konsumen bisa mendapat pengalaman positif ketika menjajal produk,” jelas Lang.
Soal peluang sukses produk wearable gadget miliknya di pasaran, Lang menyatakan optimistis. “Ketika yang lain sedang sibuk mengembangkan wearable gadget, kami sudah mulai sejak tahun lalu.”
Sebenarnya, masih terlalu dini untuk membuat semacam penilaian popularitas perangkat wearable ini kedepan, mengingat varian yang digembor-gemborkan belum banyak menjamur. Kacamata pintar Google Glass yang paling diantisipasi publik pun hingga kini belum dilepas massal ke pasaran. Beberapa smartwatch memang telah diluncurkan, dan bahkan sudah dipasarkan di Indonesia, namun masih belum bisa menjadi perangkat mainstream. Butuh waktu bagi primadona baru ini untuk berkembang. •