Demam selfie terjadi dimana-mana. Selfie adalah cara membidik foto diri tanpa bantuan orang lain, alias dilakukan sendiri dengan menggunakan kamera digital atau smartphone.

SelfieAWAL penggunaan kata selfie mulai terjadi sekitar tahun 2002. Kata itu pertama kali muncul dalam sebuah forum Internet Australia (ABC Online) pada tanggal 13 September 2002.

Selfie semakin populer karena orang gemar menyebarkannya melalui Facebook, Twitter, Instagram hingga Path. Hampir saban hari media-media sosial itu banyak dijumpai berbagai macam foto selfie. Demam selfie, seperti di negara-negara lain, dan juga merambah Indonesia.

Dalam perkembangannya, kata selfie rupanya juga telah menjadi kata baru di beberapa kamus. Bahkan saking populernya, kata selfie sempat dikecam oleh Lake Superior State University Amerika Serikat pada beberapa waktu lalu agar dihapus dari kamus.

Tapi nyatanya, selfie kini malah secara resmi masuk dalam Oxford Dictionaries (Kamus Oxford). Bahkan selfie dinobatkan sebagai Word of The Year. Dari data terakhir yang diperoleh, kata selfie yang digunakan setiap orang meningkat drastis mencapai 17 ribu persen dalam setahun terakhir ini.

Maraknya smartphone dan kamera digital dengan fitur yang memupuni untuk berfoto selfie menjadi alasan tersendiri mengapa selfie kian populer. Psikolog Kasandra Putranto melihat fenomena selfie ini terjadi tak lain karena semakin canggihnya teknologi. Jika dulu foto diri sendiri tidak memungkinkan karena tidak adanya teknologi yang mendukung, sekarang ada banyak gadget penunjang untuk selfie.

“Dulu mau foto sendiri gimana caranya, ya harus ke tukang foto. Sekarang orang punya gadget, kamera, self timer dan teknologi yang memungkinkan,” kata psikolog lulusan Universitas Indonesia seperti dikutip dari  Wolipop (4/2).

Dilihat dari sisi psikologi, Kasandra menilai fenomena selfie merupakan salah satu bentuk psikologi konsumen karena ada supply dan demand. Demand terjadi ketika orang-orang berkeinginan memotret dirinya sendiri dan kemudian didukung (supply) dengan hadirnya berbagai gadget canggih.

Pandangan lain mengenai penyebab orang menyukai selfie datang dari profesor di Massachusetts Institute of Technology, Sherry Turkle. Dalam tulisannya di New York Times, Sherry mengatakan selfie, seperti foto pada umumnya, merupakan cara seseorang untuk merekam sebuah momen yang kemudian diperlihatkan ke orang lain.

Berdasarkan pengalamannya selama 15 tahun mempelajari hubungan antara manusia dan mobile technology, dia melihat sekarang ini bagi banyak orang sharing atau berbagi apapun dalam kehidupanlah yang penting dilakukan. “Orang-orang tidak lagi merasa menjadi dirinya sendiri kecuali mereka berbagi sebuah pemikiran atau perasaan, meskipun sebenarnya pemikiran atau perasaan itu juga belum jelas untuk mereka,” tulis Sherry.

Profesor yang juga penulis buku Alone Together: Why We Expect More From Technology and Less From Each Other itu menulis lagi, jika dulu seorang filsuf Prancis ternama Descartes mengatakan ‘I think, threfore I am’, orang zaman sekarang karena begitu hobinya berbagi apapun di situs jejaring sosial dan internet, mengubah ungkapan tersebut menjadi ‘I share, therefore I am.’

Fenomena memperlihatkan atau membagikan apapun mengenai diri ke internet inilah yang semakin membuat selfie menjadi populer. Menurut Sherry, selfie membuat orang-orang jadi mengesampingkan apapun yang tengah terjadi di sekitar kita karena yang terpenting adalah bagaimana agar momen tidak hilang dan sempat didokumentasikan.

Dibalik fenomenanya, rupanya ada dampak negatif dari perilaku selfie yang dianggap akan mengancam masa depan sebuah negara. Hal ini disampaikan Psikiater Pemerintah Thailand dari Departemen Kesehatan Mental, Panpimol Wipulakorn.
Ia memperingatkan pemuda dan pemudi Thailand terhadap bahaya selfie. Terutama, seseorang yang mengunggah foto selfie ke sosial media, namun kemudian tidak menerima respon positif dari penghuni jejaring sosial. Tindakan ini pada akhirnya akan menciptakan kelangkaan warga dengan mental seimbang dan menjadi masalah bagi masa depan bangsa.

“Ketika tidak menerima cukup ‘like’ atas foto selfie yang diunggah, mereka memutuskan untuk mengunggah yang lain. Namun, tetap keduanya tidak mendapat respon positif. Hal ini akan mempengaruhi pikiran mereka misalnya menciptakan sifat negatif terhadap diri sendiri dan kehilangan rasa percaya diri,” kata Wipulakorn, seperti dilansir Time (11/2).

Hal ini secara jangka panjang akan berdampak kepada perkembangan negara di masa depan. Pasalnya, bertambahnya pemuda ‘galau’ akan membuat jumlah calon pemimpin generasi baru berkurang. Hal ini juga akan menghambat kreativitas dan inovasi negara.

Wipulakorn mengingatkan pemuda Thailand untuk tidak terlalu serius dengan foto selfie. Mereka harus menjaga diri sendiri dari candu selfie dengan menempatkan diri dalam situasi di mana foto selfie sebagai sesuatu yang tabu secara sosial.  Dengan mengontrol diri terhadap candu selfie, generasi muda Thailand akan terselamatkan dari masa depan suram.  Bagaimana pendapat Anda? •

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.