Dengan kekayaan alam dan potensi daerah yang besar, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk kalah di bidang industri kreatif. Untuk mewujudkan hal tersebut, warga desa butuh teknologi yang mandiri, seperti open source yang tidak membangun ketergantungan baru.

BERBICARA mengenai desa, salah satu putra terbaik dan politisi kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, pada 10 Maret 1970 ini bisa dibilang mempunyai perhatian khusus untuk melakukan perubahan menjadikan desa sebagai garda depan pertumbuhan ekonomi nasional.

Keinginannya untuk melakukan perubahan mulai dapat direalisasikannya saat menjabat sebagai anggota Komisi II DPR RI untuk periode 2009-2014 dengan mengawal Rancangan Undang-undang (RUU Desa) hingga akhirnya disyahkan menjadi Undang-undang Desa No.6 Tahun 2014 tentang Desa yang mendorong anggaran bagi rakyat kecil di wilayah pedesaan.

Budiman Sudjatmiko, politisi tersebut, merupakan tokoh yang selama ini juga dikenal sebagai aktivis dan penulis. Ia menaruh perhatian yang  besar terhadap pembangunan desa. Budiman juga terlibat dalam Gerakan Desa Membangun (GDM) yang menelurkan gagasan Desa Melek Informasi dan Teknologi (DeMIT), sehingga dirinya manyandang predikat baru sebagai praktisi Teknologi Informasi (TI). Sejalan waktu, perhatiannya pun semakin besar. Bukan hanya menggerakan TI untuk  sarana membangun desa, namun juga menggali potensi daerah hingga mewujudkan industri kreatif.

Menurut Budiman, UU Desa dan DeMIT menjadi dua perangkat penting untuk menuju Nol Kemiskinan di Indonesia. UU Desa dianggap memiliki strategi membangun kedaulatan desa, sementara DeMIT hadir sebagai salah satu wujud kesiapan desa untuk menjalankan UU Desa.

“Pembangunan harus bertumpu dari bawah yaitu pada kemampuan 73.000 desa untuk menyangga kemajuan Republik ini. Sehingga visi saya kedepan, yakni Indonesia nol kemiskinan dapat terwujud. Cukup sandang, pangan dan papan,” ujar lulusan Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada yang bergelar Master Hubungan Internasional dari Universitas Cambridge, Inggris ini.

Dijelaskannya, GDM yang awalnya terkonsentrasi di Banyumas telah diikuti langkahnya oleh ribuan desa lainnya mulai dari Pidie hingga Raja Ampat. “Kini ada 1.002 desa yang melakukan inisiatif serupa di Indonesia. Perbedaan gerakan ini dengan inisiatif serupa lainnya terletak pada kemampuan mereka memanfaatkan TI untuk bekerja sama, berbagi informasi, penguatan diri hingga advokasi,” papar Budiman, yang juga aktif di pengurusan Steering Committee dari Social-Democracy Network in Asia (Jaringan Sosial-Demokrasi Asia) dan Pembina Utama di Dewan Pimpinan Nasional organisasi Parade Nusantara.

GDM sendiri digagas oleh para Kepala Desa dan warga desa yang menguasai isu rural, sekaligus mengkomunikasinya dengan beragam pihak dengan cara-cara baru, misalnya internet, sosial media, termasuk merancang sistem aplikasi piranti lunak. Budiman sendiri di GDM lebih banyak terlibat sebagai penghubung dalam mengerjakan kerja-kerja kolaborasi banyak pihak.

Selanjutnya, berikut ini petikan wawancara BISKOM dengan Budiman Sudjatmiko yang berhasil terpilih kembali menjadi anggota dewan periode 2014-2019 melalui Pemilu Legislatif beberapa waktu lalu.

Insert-3

Diantara banyaknya desakan terhadap pembangunan desa yang maju secara merata, mengapa Anda memilih TI menjadi fokus pembangunan?  
Saya sadar dukungan TI di desa memang ide yang melompat. Namun, untuk mengurangi kesenjangan kota-desa, kita butuh strategi “abnormal”. Strategi abnormal memungkinkan desa melakukan lompatan cerdas untuk menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru.

Bisa kita lihat perkembangan masyarakat modern di Eropa mengikuti alur agraris ke industrial lalu post-industrial. Alur itu banyak diadopsi oleh berbagai negara dalam perencanaan pembangunannya. Hasilnya, desa justru semakin sulit menyalip masyarakat perkotaan dan ini berbuah kegagalan.

Saat merancang UU Desa, misalnya, saya terinspirasi dari gerakan DeMIT. Warga desa tak perlu meninggalkan tradisi agrarisnya untuk meraih jalan kemakmuran, namun mereka harus berani melompat ke fase post-industrial untuk mendayagunakan potensi desa secara maksimal. Untuk itu warga desa butuh teknologi, baik TI ataupun nano teknologi, yang mandiri, seperti open source yang tidak membangun ketergantungan baru.

Desa akan memenangkan persaingan berbekal kecepatan dan ketepatan dalam mengelola informasi. Bayangkan, bila pengetahuan bercorak agraris dikawinkan dengan nano TI, maka dalam 5-10 tahun mendatang akan tumbuh sentra-sentra industri baru di wilayah perdesaan.

Apakah desa mempunyai kemampuan tersebut?  
Awalnya akan terasa lucu, terlebih bila gagasan ini diusung oleh desa-desa yang lokasinya di pelosok-pelosok. Tapi mitos itu sudah dipatahkan oleh GDM dengan program DeMIT-nya. Minimnya infrastruktur telekomunikasi di desa memang tak mampu hentikan gerakan mereka, tapi justru GDM mampu melahirkan inovasi dan kreativitas dalam pemanfaatan TI. Pandangan publik yang selama ini menilai desa sebagai komunitas terbelakang, pemalas, dan miskin itu betul-betul sesat.

Dukungan TI memungkinan tata kelola pemerintahan makin mengakomodasi dan mendengar aspirasi rakyat. Strategi pembangunan di desa harus menempatkan desa sebagai subjek pembangunan. Saatnya kita terapkan konsep desa membangun, bukan membangun desa, supaya akselerasi pembangunan desa makin meningkat.

Sejauh ini bagaimana hasil yang diperoleh DeMIT? Sudahkah dijalankan dan desa manakah yang tengah menjalankan program ini?   
Pada pertengah 2014, jumlah desa yang mampu memanfaatkan TI sudah di atas angka 1000. Angka ini cukup fantastis karena sebagian besar desa mampu mengelola web justru berasal dari daerah yang tidak memiliki akses internet yang bagus. Untuk sekadar mengunggah konten, mereka susah payah mencari titik akses di kota terdekat. Dahsyatnya, desa-desa itu justru mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi warganya berkat promosi dan pemasaran produk unggulan desa secara online.

Budiman Sudjatmiko bersama Angki Trijaka dan Soegiharto Santoso, Pemimpin Redaksi BISKOM.

Sebutlah Karangnangka, sebuah desa di lereng Gunung Slamet di Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas. Lewat websitenya http://karangnangka.desa.id beragam produk unggulan desa dipublikasikan secara rutin. Ada benih ikan, susu segar, mebeler, es cream, peternakan, dan lainnya. Dampaknya, komoditas desa itu tak sekadar diketahui oleh warga setempat tapi juga para pelaku ekonomi di daerah lainnya. Sekarang penjualan benih ikan gurami warga Desa Karangnangka sudah berlangsung antarkota sehingga setiap hari total omzet benih yang terjual mencapai Rp. 2-3 juta rupiah.

Perekonomian desa tumbuh akibat para pelaku ekonomi desa mampu mengemas gagasan dan kreativitasnya menjadi gagasan kolektif publik. Bila tren di sejumlah desa itu mampu direplikasi oleh desa-desa lainnya, maka bukan hal yang mustahil apabila 5-10 tahun ke depan, desa akan menjadi garda depan pertumbuhan ekonomi nasional.

Anda adalah Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Desa (Pansus RUU Desa) yang memiliki tujuan mulia, yakni pengentasan kemiskinan di perdesaan. Kongkritnya, apa yang dilakukan setelah UU itu disahkan?  
Keberadaan Undang-Undang (UU) tentang Desa memberi harapan baru bagi warga yang tinggal di wilayah perdesaan. UU ini memberikan hak perencanaan, penganggaran, dan evaluasi pembangunan. Tak berlebihan bila tujuan UU Desa tak sekadar untuk pengentasan warga dari kemiskinan, juga memberikan harapan akan munculnya kelas menengah baru di kawasan perdesaan.

Kemunculan kelas menengah baru di dunia perdesaan muncul akibat kucuran dana pembangunan yang cukup besar untuk desa. Bila dirata-rata, ada kucuran Rp. 1,4 Milyar untuk desa dari Pemerintah Daerah (APBD) dan Pemerintah Pusat (APBN). Dengan anggaran ini warga desa bisa merencanakan pembangunan di wilayahnya tanpa harus risau alokasi pembiayaannya dan menumbuhkan usaha-usaha produktif di wilayah desa sehingga memunculkan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi yang kuat.

Angka urbanisasi juga akan menurun sehingga persoalan di kota juga berkurang. Selain itu, UU Desa mendorong setiap desa bisa memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang kuat. BUMDes merupakan badan usaha desa yang dikelola secara kolektif dari, oleh, dan untuk masyarakat desa.

Anda akhir-akhir ini terlibat aktif bersama komunitas industri kreatif, bagaimana bayangan Anda industri kreatif Indonesia akan berkembang?
Industri Kreatif akan menjadi salah satu unggulan Indonesia. Karena Industri kreatif adalah industri konten, sementara konten sangat membutuhkan bahan bakar utama yaitu inspirasi. Inspirasi bisa kita dapatkan kapan saja, di mana saja. Tetapi salah satu potensi yang hampir tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain adalah kekayaan budaya tradisional Indonesia.

Bangsa ini dilimpahi begitu banyak warisan kebudayaan, dan bukan main pula tingkat kejeniusan leluhur dalam berkreasi. Simak saja hasil penelitian Bandung Fe Institute yang banyak sekali memaparkan kebudayaan tradisional kita dengan pendekatan sains terkini. Hasil penelitian tersebut selain menguak kejeniusan leluhur, juga memberikan peluang cara kita memanfaatkan warisan budaya tradisional kita. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita untuk kalah di bidang industri kreatif jika kita bisa memanfaatkan potensi tersebut.

biskom-agustus-14-ok.indd   

Seberapa besar industri kreatif berperan terhadap perekonomian rakyat?
Harusnya sangat besar. Dan kita bisa sangat kompetitif di level internasional. Seandainya kita bisa memanfaatkan warisan kebudayaan ini dengan optimal, misalnya saja dengan melakukan diversifikasi produk, kita bisa tembus di angka Rp. 318 triliun sumbangsih industri kreatif. Dan menariknya lagi, industri kreatif adalah industri yang kebal krisis, sehingga ini menjadi sangat penting khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Apa solusi yang Anda tawarkan terhadap pertumbuhan industri kreatif?
Saya pikir, sebagai anggota legislatif, saya hanya bisa mendukung aksi-aksi masyarakat yang mempunya misi untuk membangun pondasi dari industri kreatif ini. Misalnya inspirasi tadi, maka dibutuhkan sumber data bagi kebudayaan Indonesia.

Saat ini saya juga terlibat di Gerakan Sejuta Data Budaya, dan membantu sebatas kemampuan saya. Gerakan ini mengajak publik untuk membangun sebuah pusat data partisipatif tentang kebudayaan tradisional Indonesia. Lalu, dengan lahirnya UU Desa, desa akan terstimulasi untuk membangun usaha-usaha berbasis desa. Dan saya pikir, Desa dan budaya tradisional sangat lah dekat. Karenanya, sebagai anggota legislatif, saya akan aktif mengawasi pelaksanaan UU Desa ini.

Secara umum, bagaimana Anda melihat pertumbuhan TI saat ini? Menurut Anda pula, seperti apa sosok ideal yang mampu membawa TI Indonesia bisa lebih maju?
Perkembangan TI sangat maju. Sayang, sebagian besar kemajuan itu hasil dari impor, pelaku dan pengembang TI lokal masih sangat sedikit. Saya menaruh harapan besar pada komunitas-komunitas pengembang teknologi yang bergerak pada platform open source. Gerakan mereka telah menembus dunia perdesaan. Sejumlah desa, seperti Desa Mandalamekar dan Desa Melung, secara terbuka mengibarkan gerakan Goes Open Source. Kunci keberhasilan pengembangan TI berbasis open source sendiri adalah komunalisme dan kolektivitas. Sistem dikembangkan secara bersama-sama oleh para penggunanya sendiri. Mereka saling berbagi catatan, baik saat menemui kelemahan sistem (bugs) maupun persoalan kenyamanan saat menggunakannya. Cara kerja inilah yang membuat sejumlah piranti lunak open source, seperti Mozilla Firefox, Libre Office, Filezilla, Chrome, dan WordPress melejit melampaui piranti-piranti lunak sumber tertutup dan berbayar.

Sosok intelektual seperti Onno W. Purbo, saya kira tepat untuk membawa TI kita lebih maju. Dia mengembangkan TI untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kerakyatan tanpa membangun ketergantungan baru pada impor teknologi. Namun, kuncinya bukan di sosok tapi pada gagasan dan gerakan kolektif banyak pihak. Keberadaan komunitas-komunitas pengembang teknologi mutlak diperlukan.

BISKOM adalah salah satu penggemar blog Anda, budimansudjatmiko.net, dimana di situ Anda berjanji beberapa hal pada rakyat di Dapil Anda 5 tahun lalu. Sudahkah Anda mewujudkannya?
Saya telah mengabdikan diri sebagai manusia politik. Tiga hari usai pengumuman lolosnya Budiman Sudjatmiko ke senayan dalam Pemilihan Umum 2009, saya meresmikan Rumah Aspirasi Budiman (RAB) di dapil saya. RAB berfungsi untuk menjembatani aspirasi konstituen supaya tidak terputus. Setiap hari RAB didatangi warga, umumnya warga mengadu masalah-masalahnya mereka seperti konflik agraria dan peningkatan kapasitas masyarakat.

Selama empat tahun lebih saya bekerja keras untuk mewujudkan janji saya pada Pemilu 2009, yaitu mendirikan Rumah Aspirasi Budiman, menyelesaikan sengketa tanah warga, dan mengegolkan UU Desa. Alhamdullilah tiga janji saya sudah saya bayar lunas. Warga tahu karena sebagian besar dari mereka terlibat aktif dalam mewujudkan janji itu.

Masyarakat kebanyakan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan wakilnya di pemerintahan. Bagaimana cara Anda menjalin komunikasi dengan masyarakat?  
Tentu saja yang paling utama adalah turun langsung ke lapangan. Meskipun saya sudah membuka kantor Rumah Aspirasi Budiman sebagai kantor perwakilan di Purwokerto untuk dapil asal saya Kabupaten Banyumas – Kabupaten Cilacap, namun tentu saja untuk komunikasi yang intens kehadiran rumah aspirasi bisa juga dianggap masih kurang.

Karenanya dimasa reses saya kembali ke dapil, dan memanfaatkannya untuk berbaur dengan masyarakat agar bisa mendapatkan keluh kesah mereka. Misalnya saja untuk UU desa kemarin, saya berkunjung ke berbagai daerah untuk mendapatkan formula yang pas yang bisa menaungi seluruh desa di Indonesia. Seperti kita ketahui, dengan kondisi kita yang kepulauan dan diversitas tinggi budaya, tentu saja tidak bisa dengan mudah memformulasikan satu undang-undang. Akan tetapi, jarak dan waktu pula yang kadang membuat turun ke lapangan terkadang menjadi tidak efektif. Oleh sebab itu, peran TI menjadi penting. Misalnya saja, saya menggunakan Twitter sebagai alat alternatif untuk bisa berkomunikasi dengan masyarakat. Meski terbatas oleh jumlah karakter, tapi hal tersebut melatih kita untuk semakin efektif dalam berkomunikasi.

Pun demikian, di beberapa kesempatan saya melakukan video conference untuk bisa berdiskusi dengan desa-desa. Ini lebih untuk membahas suatu masalah, kemudian berbagi ide dan saran. Saya berharap dengan cara-cara ini masyarakat bisa menyampaikan harapannya kepada pemerintah atau mencari solusi untuk setiap persoalan. (Hoky)

Arikel Terkait:
IeSPA: Menuju Ekonomi Rakyat Berbasis Industri Kreatif
Raih MURI, DEMIT Gelar Video Conference Dengan 360 Desa
ONNO W. PURBO: Cerdaskan Rakyat, Agar Merdeka di Bidang TI
Dicalonkan Jadi Menkominfo, Onno Raih Polling Tertinggi
Inilah 41 Calon Menteri Terpilih Versi Kabinet Rakyat
Onno W. Purbo Masuk Dalam Calon Menteri Kabinet Jokowi
ONNO W. PURBO: Lebih Baik Jadi Guru, Demi Cerdaskan Bangsa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.