TELEKOMUNIKASI, INTERNET DAN PENYIARAN MENJADI ISU PENTING DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TIK DI TANAH AIR SAAT INI. MESKIPUN SECARA TEKNOLOGI TELAH TERJADI KONVERGENSI, NAMUN MASING-MASING SEKTOR TERSEBUT MEMPUNYAI DINAMIKA DAN PERMASALAHAN YANG BERBEDA.
RUDIANTARA, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dalam susunan Kabinet Kerja yang dibentuk Joko Widodo, melihat permasalahan Telekomunikasi, Internet dan Penyiaran sebagai tantangan yang harus segera diatur dan diperbaiki dalam masa tugasnya lima tahun kedepan. Apalagi Teknologi Komunikasi dan Informatika (TIK) telah menyentuh semua sektor yang perannya akan menjadi enabler pertumbuhan ekonomi nasional.
Menyoroti permasalahan telekomunikasi, pria kelahiran Bogor, 3 Mei 1959 ini menyebutkan, Indonesia masih tertinggal dan bahkan di kawasan Asean sendiri masuk urutan keempat, setelah Singapura, Malaysia dan Thailand. Sehingga perlu menjalankan program yang sangat mendasar yaitu broadband. Untungnya, menurut mantan Komisaris Indosat yang juga pernah berkarir di Telkomsel, Excelcomindo (kini XL Axiata) dan Telkom, serta sejumlah badan usaha milik negara dan swasta ini, pemerintah telah mengeluarkan Perpres pada bulan September 2014 untuk implementasi broadband yaitu rencana pita lebar atau Indonesia Broadband Plan (IBP) 2014-2019.
“Proyek infrastruktur IBP ini diperkirakan akan membutuhkan dana mencapai Rp. 270 triliun. Sekarang ini sedang kami godok lagi untuk mengeksekusinya agar rencana ini tidak hanya bagus di dokumentasi dan konsep saja, tetapi juga menjadi sesuatu yang bisa diimplementasikan,” ujar lulusan Sarjana Statistik dari Universitas Padjadjaran, Bandung ini.
Diakuinya, telekomunikasi memang merupakan sektor yang besar kuantitifikasinya sehingga infrastrukturnya perlu segera dibenahi dan mendapatkan perhatian khusus. Dari sisi pelayanan saja sekarang ini diperkirakan besarannya secara keseluruhan Rp.190 triliun dan belum lagi dari handset yang setiap tahunnya Rp. 60 triliun. “Ini baru dari industri seluler saja,” tandasnya.
Kemudian berkaitan dengan internet, pria yang akrab disapa Chief RA ini berterus terang belum tahu data pastinya. Namun bila internet dikaitan dengan e-commerce saja, transaksinya pada tahun 2013 telah mencapai US$ 8 milyar dan diperkirakan tahun 2016 akan berada diatas US$ 20 milyar. Ini sangat signifikan, terlebih sekarang sudah banyak e-commerce yang berjalan seperti Lazada, Zalora, Blibli, Tokopedia dan lainnya yang bahkan asing juga ikut chip in di sini. “Inginnya teman-teman Indonesia yang mengembangkan aplikasi itu lah yang play the significant role. Kalau tidak, nantinya kita hanya jadi tamu di negeri sendiri,” jelasnya.
Berkaitan dengan penyiaran, Rudiantara juga menyiapkan penyelenggaraan multiplexer, setup box dan lainnya berkaitan dengan adanya policy automatic switch off analog ke digital di tahun 2018 untuk siaran televisi. Rencananya, frekuensi yang digunakan siaran TV analog ini akan digunakan untuk broadband.
Namun demikian, automatic switch off 2018 ini bukan tanpa kendala. Pasalnya perusahaan “besar” mengeluhkan karena harus berinvestasi triliunan rupiah untuk membeli multiplexer karena mereka ini akan menjadi penyelenggara multiplexer yang juga harus menyiapkan setup box-nya yang harganya jutaan. Sementara yang “kecil” merasa khawatir karena belum dapat kepastian berapa biaya sewa multiplexer. Ditakutkan, sewanya akan lebih tinggi dibandingkan pendapatannya dari iklan.
“Pemain besar dan kecil complain, ini berarti ada green design yang belum pas sehingga perlu dicari solusinya. Tetapi kami tetap berpatokan pada 2018 harus konsisten untuk switch off tersebut. Karena kalau tidak dilakukan switch off ke digital, maka kita tidak akan dapat deviden dari sisi frekuensinya,” papar pehobi olahraga menyelam ini.
Hal lain yang disorotinya untuk memajukan industri TIK di Indonesia adalah dengan memberikan kemudahan bagi pelaku bisnis di sektor TIK dalam proses kepengurusan izin. Baginya, pemerintah tidak melulu hanya mengurus perizinan meskipun ini merupakan bagian yang harus diatur. Tetapi mindsetnya harus dirubah kepada pelayanan. Lebih lanjut, berikut ini petikan wawancara BISKOM di tempat kerjanya.
Bagaimana mewujudkan kecepatan akses internet yang cepat dan sebanding dengan negara-negara lain?
Saat ini pemerintahan mempunyai projek infrastruktur IBP yang diharapkan pada 2019, seluruh wilayah sudah bisa terhubung internet. Berkaitan dengan hal itu, tentunya akan dilakukan pembangunan Palapa Ring dan pembangunan backbone-backbone. Salah satu yang cepat-cepat kami lakukan untuk menunjang IBP adalah teknologi 4G/LTE. Kami sudah berikan kepada operator izinnya dan bahkan beberapa sudah melakukan launching. Untuk tahap awal di frekuensi band 900 MHz. Ditahun depan kwartal pertama policy-nya akan kami dorong ke band 1800 MHz, kemudian juga di frekuensi 2,1 GHz. Nanti, suatu saat akan ke band 2,3GHz atau yang biasa kita sebut dengan WiMax.
Anda seringkali menyebut akan merubah mindset perizinan ke pelayanan. Apa maksudnya?
Kalau bisa saya bilang, selama ini kita berada pada rezim perizinan, alias hanya izin saja yang diurus. Kedepan, izin memang harus diurus namun perusahaan harus memberikan pelayanan atau servis kepada pelanggan akhir dan license holder.
Bila selama ini konsumen merasa terganggu dengan adanya SMS yang berupa penawaran maupun penipuan, seharusnya ini tidak terjadi lagi karena telah merugikan konsumen. Hal ini pun sedang kami bicarakan termasuk dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memproteksi pengguna dari situs-situs investasi ‘bodong’ agar ini bisa diblok. Dengan demikian, pelanggan akan merasakan bahwa pemerintah peduli kepada mereka. Terkait license holder, pemerintah tidak hanya memberikan izin lalu lepas tangan terhadap pertumbuhan bisnisnya. Kami harus punya konsen terhadap sustainability ecosystem business mereka. Kalau laba mereka tumbuh, tentunya lapangan pekerjaan meningkat, peluangnya makin meningkat, begitupun pajak juga meningkat dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sekarang kontribusinya Rp.13 triliun pastinya akan meningkat juga.
Berarti PNBP tahun depan akan dinaikkan?
Ini yang sedang kami lihat lagi antara PNBP dengan Pajak. Bagi pemerintah inikan sebetulnya kantong kiri dan kantong kanan. PNBP penerimaannya di depan dan pajak di belakang. Nah, sekarang ini sedang kami bicarakan bagaimana melakukan simulasi kalau misalkan PNBP tidak meningkat tajam, maka bisa membantu industri untuk menghasilkan laba di belakang yang lebih besar. Ini bagian dari pelayanan license holder. Jadi yang diberikan izin kami perhatikan, karena mereka itu bisa dibilang merupakan pelanggan pemerintah.
Apakah Anda melihat masih adanya kelemahan-kelemahan dari regulasi TIK saat ini?
Bukan kelemahan. Misalnya seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebetulnya ditujukan untuk memberikan suatu transaksi elektronik menjadi sah, seperti electronic banking yang mencapai puluhan juta transaksi, termasuk pulsa yang mengacu pada UU ITE. Tetapi memang ada kasus-kasus yang dikaitkan dengan pasal 27 seperti SARA, penghinaan dan lainnnya yang rata-rata tahun 2014 mulai Januari hingga Oktober kurang lebih perbulannya ada empat kasus. Sebut saja, kasus Prita, Florence hingga Jakarta Post.
Disini ada dua opsi yang kami akses. Pertama, merubah pasal itu sendiri. Jadi tuntutannya bukan pidana 6 tahun penjara tetapi dibawahnya. Hal ini tentunya perlu proses politik antara pemerintah dengan DPR. Opsi lainnya adalah bagaimana penerapan pasal 27 harus benar-benar dilakukan, karena sifat aturannya adalah jika dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan kapasitas atau kompetensi tertentu saja. Jadinya, penyidik umum tidak bisa langsung mengaitkan masalah ini. Ini yang harus kami komunikasikan dengan aparat penegak hukum.
Lalu bagaimana pandangan Anda terhadap kasus yang menimpa Indar Atmanto, Mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2)?
Ada dua hal, pertama dari sisi regulasi jelas posisinya bagi kami bahwa yang dilakukan IM2 sesuai dengan aturan. Hal itu sudah dituangkan dalam surat Menkominfo terdahulu. Kemudian ada proses hukum yang dilakukan oleh Pak Indar. Kalau proses hukum kami tidak bisa bisa mengintervesi, yang bisa kami lakukan memberikan gambaran kepada pengambil keputusan tentang permasalahannya. Inilah yang sebetulnya tidak menjadi masalah. Kami melihatnya yang dilakukan IM2 tidak menyalahi aturan dan ini telah menjadi isu industri, karenanya kami ada di depan. Ini menunjukkan bagaimana kami harus merespon situasi yang ada.
Judi online maupun pornografi masih bisa diakses di Indonesia. Apalagi yang akan dilakukan untuk menekan dampak negatif dari TI ini?
Kami punya Trust+ dan Nawala untuk melakukan filter pengguna yang proaktif searching dengan keyword tertentu. Tetapi kami mulai berfikir untuk membuat semacam Panel Ahli karena Kemkominfo itu bukan ahlinya pornografi ataupun child abuse yang sekarang ini juga marak terjadi. Jadi lebih baik Kemkominfo di sisi infrastruktur dan memfasilitasi akses internet. Biar panel-panel ahli yang prominen atau subject matter expert saja yang menyatakan bahwa konten ini tidak boleh, bertentangan dengan budaya dan norma dan lain sebagainya. Nanti biar panel ini yang konsen terhadap permasalahan tersebut.
Terkait penyiaran, bagaimana Anda menghidupkan kembali TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran yang diminati masyarakat?
Sebetulnya, keduanya ini adalah lembaga penyiaran publik yang tidak melapor ke Kemkominfo. Mereka merupakan produk dari UU Penyiaran, dimana dewan pengawasannya dipilih DPR dan direksinya dipilih oleh dewan pengawas. Tetapi memang infrastrukturnya dialokasikan frekuensinya oleh Kemkominfo dan saat ini kami memang tengah membantu TVRI untuk melakukan migrasi ke digital.
Seberapa besar Anda menaruh perhatian terhadap cyberpreneur?
Kami telah berbicara dengan teman-teman di e-commerce, agar pemerintah mulai memikirkan untuk memfasilitasi dan mendorong semacam exchange atau bursa antara developer aplikasi dengan para venture capital. Saya selaku menteri yang akan mendatangi para konglomerat Indonesia agar melihat potensi bisnis ini sekaligus mengajak mereka untuk berinvestasi disini. Saya akan bilang, bisnis ini menjanjikan. Ketimbang taruh uang di luar, lebih baik bantu orang-orang kreatif ini.
Cyber defense kabarnya mendapat perhatian besar di pemerintahan baru ini, mengingat Kemkominfo telah menjalin kerjasama dengan Kemenkopolhukam untuk mengatasi kemungkinan cyber war di masa depan. Langkah apa yang sudah dilakukan Kemkominfo dalam kerjasama ini?
Kami mendukung cyber defence, karena di Indonesia itu seperti di Angkatan Laut yang punya Coast Guard dan submarine cable, tetapi lautannya sedemikian luas yang harus dijaga. Di dunia cyber juga terjadi seperti itu. Beberapa waktu lalu kami sudah berdiskusi dengan Menkopolhukam dan sudah melaporkan ke Presiden pentingnya dibentuk Badan Cyber Nasional. Kami mendukung itu dan sifatnya kami harus complimentary, artinya yang belum ada dibuat, kemudian yang sudah ada dijahit. Jangan membuat sesuatu yang dari nol lagi. Karena ini memerlukan kecepatan. Intinya bagaimana mengintegrasikan yang sudah ada di industri.
Apakah Anda mempunyai target income atau devisa dari sektor TIK ini?
Sebetulnya untuk peralatan justru kami mengeluarkan devisa karena kami bukan technology inventor. Kami itu membeli teknologi, tetapi yang terpenting bagaimana kami menjadi smart buyer. Artinya, kalau bisa dana untuk membeli perangkat jangan terlalu besar, namun justru memiliki manfaat yang bisa dikelola. Bagaimana cara meningkatkannya? Balik lagi kepada software dan aplikasi. Semakin banyak yang bisa memainkan aplikasi, semakin besar nilai tambahnya.
Kita akan semakin besar di dalam negeri dan berharap sebagian bisa diekspor ke luar negeri. •Hoky, ANDRI/FIQI (foto)
Artikel Terkait:
RUDIANTARA: 2019, Seluruh Indonesia Tersambung Internet
Menkominfo: Apkomindo Harus Fokus Pada Bisnis Ekosistem
Oktober, Pemerintah Rampungkan Blueprint Pertahanan Cyber
Indonesia Cyber Security Summit Ke 2 Kembali Digelar
LSP Komputer memperoleh Sertifikasi Lisensi dari BNSP