SEJAK dipasangkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakara, Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), telah menegaskan komitmennya untuk menjadikan Jakarta sebagai smart city.
Smart city atau kota pintar merupakan sebuah konsep pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan karakteristik sebuah kota. Jakarta sendiri menerapkan konsep smart city untuk meningkatkan layanan pemerintah pada publik.
Kini, setelah Jokowi menjabat sebagai Presiden RI, Ahok pun tetap meneruskan komitmen tersebut. Menurut Ahok, sebagai ibukota negara, Jakarta mempunyai daya magnet yang luar biasa untuk mendatangkan kaum urban dari kota-kota lain di Indonesia.
Hal ini kemudian berimbas pada kualitas layanan infrastruktur, lingkungan hidup, layanan transportasi, dan lain-lain. Dengan konsep smart city, diharapkan layanan publik bisa diperoleh penduduk dengan mudah dan dalam waktu singkat.
Sejauh ini, Pemprov DKI Jakarta telah menggandeng sejumlah perusahaan teknologi seperti Google dan Twitter. Sebagai contoh, pengguna Waze dari Google akan mendapatkan informasi lalu lintas di sekitar Jakarta secara real-time sehingga dapat menghindari kemacetan dan potensi untuk memparahnya.
Pemprov DKI Jakarta juga berencana memasang 3000 kamera CCTV di tiap ruas jalan Jakarta. Sementara dalam lingkup pelayanan publik, aplikasi mobile buatan pengembang lokal dengan nama “Qlue” diterapkan sebagai alat pelaporan warga yang terhubung dengan pejabat sipil terkait. Untuk mengantisipasi dan penanganan bencana, Pemprov DKI berkolaborasi dengan Twitter meluncurkan layanan Peta Jakarta, dimana pemerintah dan warga bisa berkomunkasi langsung mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Bukan hanya di Jakarta, sesuai dengan amanat Presiden, seluruh kota di Indonesia dihimbau untuk merubah dirinya menjadi sebuah smart city. Tak heran jika mulai dari Depok, Bandung, Bogor, Aceh, Makassar, Balikpapan, Sleman hingga Banyuwangi berlomba-lombba menyatakan kesiapannya untuk menerapkan smart city mulai 2105 ini.
Pertanyaannya adalah, dengan semua fasilitas yang disediakan pemerintah ini, apakah masyarakat siap memanfaatkannya? Seperti kita tahu, Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia saja, akses internet masih belum merata secara kualitas.
Jangankan teknologi 4G LTE yang saat ini tengah didengungkan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, akses internet sekualitas 3G saja masih menjadi andalan masyarakat saat ini mengingat akses 4G LTE masih mengalami blank spot di beberapa wilayah. Sementara dari sisi kecepatan, dengan hanya beroperasi pada spektrum frekuensi 900 MHz, layanan 4G yang ditawarkan operator “hanya” menjanjikan kecepatan download sampai 36 Mbps.
Menjawab hal ini, Rudiantara mengatakan, jaringan nirkabel 4G dengan frekuensi 1.800 MHz sebagai kelanjutan dari 4G berfrekuensi 900MHz yang diluncurkan sejak Desember 2014, akan mulai bisa dinikmati di sejumlah wilayah Indonesia pada pertengahan 2015. Meskipun tandasnya, “Teknologi 4G dengan 1.800MHz sudah bisa dinikmati oleh masyarakat di kluster (kelompok) tertentu, bukan di seluruh Indonesia tapi minimal di kota tertentu.”
Tentu saja meski terbilang lambat, sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita harus berpandangan positif dan mendukung usaha pemerintah tersebut. Apalagi seperti kita tahu, migrasi konsumen dari jaringan 2G ke 4G memang memerlukan waktu dan adaptasi karena saat ini terdapat puluhan juta pelanggan jaringan 2G di Indonesia, sehingga hak konsumen pelanggan 2G yang ada sekarang tidak terganggu.
Baiklah, mari kita tunggu saja kiprah pemerintah mendatang. Dan akhirnya, selamat membaca. •