DINILAI dapat mematikan industri lokal dan hanya menguntungkan pemain besar, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menyampaikan pandangannya terkait susunan matrik RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) yang mengatur transaksi jual beli online (e-commerce) yang digulirkan oleh Kementerian Perdagangan RI.
Bila selama ini idEA sebagai asosiasi yang mewadahi e-commerce di tanah air selalu dilibatkan dalam merumuskan rancangan RPP tersebut, namun tampaknya masukan-masukan yang diberikan tidak ditanggapi oleh pemerintah. Terlihat tidak adanya kesesuaian dari isi draft dengan apa yang didiskusikan selama ini.
Menurut Ketua Umum idEA, Daniel Tumiwa, draft yang diterimanya tidak sesuai dengan perbincangan yang selama ini dilakukan. Banyak terdapat di dalamnya pasal-pasal yang tidak pernah dilihat sebelumnya. “Kami hanya diberi waktu selama 7 hari untuk memberikan tanggapan terhadap draft RPP tersebut. Padahal ada sekitar 70 pasal yang tertera dan harus kami kaji secara mendalam. Oleh sebab itu, kami meminta perpanjangan waktu selama 30 hari. Namun hingga detik ini, asosiasi belum menerima jawaban dari Kemendag apakah permohonan perpanjangan waktu tersebut dikabulkan,” ujar Daniel, di Jakarta (1/7).
Sebelumnya, pihak asosiasi telah berulangkali mengajukan keluhan kepada Kemendag yang dinilai tidak transparan dalam menyusun RPP tersebut. Selama 2 tahun bergulir, asosiasi tidak pernah diberikan akses terhadap draft dokumen. Matriks yang diberikan pun dirasa tidak cukup komperhensif. Padahal sangat penting untuk mengevaluasi keseluruhan dokumen secara utuh
Dari matrik yang diterima, pihak idEA menggaris bawahi beberapa point yang perlu dikaji ulang oleh Kemendag. Pertama, diperlukannya kejelasan batasan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis e-commerce, karena di sini ada pedagang, penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PTMSE), dan penyelenggara sarana perantara.
“Bisnis e-commerce memiliki tingkatan tersendiri, di sini idEA membaginya menjadi tiga model bisnis. Ada retail, seperti yang dilakukan Blibli, Lazada dan Tiket. Lalu marketplace, seperti Tokopedia dan Bukalapak. Selanjutnya, adalah classified seperti Kaskus dan OLX. Jadinya, dengan perbedaan ini maka tanggung jawabnya juga perlu dibedakan sesuai dengan model bisnisnya,” papar Budi Gandasoebrata, Wakil Kepala Bagian Kebijakan Publik idEA.
Kedua, adalah mengenai kesetaraan penegakan aturan terhadap pelaku usaha yang berkedudukan di dalam wilayah Indonesia dan luar negeri. Apabila pemerintah tidak dapat melakukan enforcement yang seimbang kepada pelaku usaha asing yang berada di luar wilayah Indonesia, pengguna internet tentunya dapat menggunakan solusi lain yang tidak diatur oleh hukum Indonesia.
Dan ketiga, adalah perihal kewajiban untuk memiliki, mencantumkan dan menyampaikan identitas subjek hukum (KTP, Izin Usaha, Nomor SK Pengesahan Badan Hukum) atau yang dikenal sebagai KYC. Dalam hal ini, asosiasi mengusulkan KYC hanya dengan data nomor telepon, karena regulasi pada bidang telekomunikasi telah mewajibkan dan menerapkan KYC terhadap para pengguna nomor telepon. Selain itu, hingga saat ini belum terdapat sarana yang disediakan pemerintah agar PTPMSE dapat melakukan verifikasi identitas (KTP) pedagang dan konsumen.
“Kami berharap Kemendag bisa kembali berdiskusi terkait perumusan draf RPP e-commerce dan berpihak pada indutri lokal. Sebab, peraturan ini sangat menentukan masa depan industri online. Dimana ke depannya e-commerce lokal sangat berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi Negara,” tutup Daniel. •ANDRI