EU-UNDP-SUSTAIN, proyek yang didanai oleh Uni Eropa meluncurkan dukungannya terhadap sistem peradilan anak bekerjasama dengan Mahkamah Agung, yang dilakukan dengan melakukan advokasi kepada sejumlah pemangku kepentingan dan memberikan fasilitas pengadilan anak di Pengadilan Negeri Kupang. Fasilitas ini diresmikan oleh Hakim Agung Sri Murwahyuni SH, MH dan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya. Disamping peresmian fasilitas pengadilan anak, pada kegiatan ini juga dilakukan advokasi UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) bagi pemangku kepentingan setempat/lokal yang diselenggarakan secara serentak oleh proyek SUSTAIN di Hotel Sotis, Kupang. Acara ini dihadiri oleh semua pemangku kepentingan terkait SPPA untuk mewujudkan kerjasama antar lembaga yang lebih kuat dan membuka jalan untuk sistem peradilan anak yang terintegrasi.
Para pemangku kepentingan serta institusi yang memegang peranan penting dalam sistem peradilan anak Indonesia antara lain Mahkamah Agung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak, pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil, yang seluruhnya turut serta berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Institusi institusi tersebut akan secara berkelanjutan terlibat dalam serangkaian diskusi di lima pengadilan lainnya, diawali pada hari ini di Kupang lalu juga akan dilaksanakan di Stabat, Sleman, Cibinong serta Manado, pada kurun waktu 2016. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi permasalahan penanganan tindak kejahatan anak dibawah umur untuk kemudian merumuskan rencana aksi yang dapat meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antar lembaga, agar semua pihak terkait memiliki wawasan dan paradigma yang sama dalam menjalankan prosedur investigasi, penuntutan, proses, termasuk advokasi sebelum dan sesudah pengadilan dalam sistem peradilan restoratif.
“Uni Eropa sangat menjunjung tinggi hak-hak anak dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam sistem peradilan. Hukum Indonesia tentang SPPA telah menunjukkan komitmen negara ini untuk melindungi hak-hak anak. Kami sangat mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak yang berkonflik dengan hukum melalui pendekatan keadilan restoratif dan sertifikasi aparat penegak hukum,” ucap Franck Viault, Kepala Kerjasama Delegasi Uni Eropa di Indonesia.
“Pemberlakuan UU SPPA pada tahun 2012 merupakan kemajuan besar dalam sistem peradilan anak di Indonesia, dan EU-UNDP SUSTAIN bekerja bersama sama dengan Mahkamah Agung sebagai mitra utama dalam implementasi SPPA. Kelompok Kerja Perempuan dan Anak MA RI selama ini merupakan think-tank dari implementasi UU ini di pengadilan. EU-UNDP SUSTAIN memastikan bahwa dukungan ini diberikan di tempat-tempat yang paling membutuhkan, seperti terwujudnya jaringan di lima pengadilan yang telah ditunjuk menjadi percontohan,” ucap Gilles Blanchi, Kepala Penasehat Teknis dan Manajer Proyek EU-UNDP-SUSTAIN.
Fasilitas pengadilan anak yang diresmikan di Pengadilan Negeri Kupang merupakan bagian dari dana bantuan Uni Eropa sebesar € 10 juta yang ditujukan untuk mendukung reformasi bidang peradilan di Indonesia, sehingga aparatus pengadilan dapat menyelenggarakan persidangan yang berkaitan dengan anak dibawah umur secara lebih baik, contohnya melalui telekonferensi dimana korban dan pelaku berada di ruangan yang berbeda guna melindungi ancaman psikologis terhadap anak.
Koordinasi Antar Lembaga
Beberapa masalah telah diidentifikasi sejak pemberlakuan UU SPPA, misalnya: koordinasi yang lemah antar institusi yang terlibat, perbedaan persepsi terhadap kebutuhan dan keberhasilan hukum restoratif dalam institusi-institusi tersebut dan kurangnya kerja sama dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Saat ini, para pimpinan pengadilan cenderung memilih untuk mengikuti pedoman yang tertulis dalam hukum pidana dalam menyelesaikan perkara tindak kejahatan anak, walaupun sebenarnya ada pilihan untuk menyelesaikan secara damai. Selain itu, aparat penegak hukum juga memiliki persepsi yang berbeda terkait penanganan kriminal anak dibawah umur yang menciptakan penerapan regulasi yang tidak konsisten. Koordinasi antara departemen dan sektor hukum saat ini masih lemah, sehingga pertukaran data dan informasi turut terhambat. Permasalahan ini membahayakan posisi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), ketika mereka berhubungan dengan badan-badan penegak hukum di Indonesia.
“Setelah membuka pertemuan perdana di Kupang hari ini, kita akan melakukan sosialisasi lebih lanjut terkait UU SPPA dan melakukan focus group discussion di empat model percontohan pengadilan negeri lainnya, yang akan juga melibatkan semua lembaga yang berkaitan dengan sistem peradilan anak untuk memperkuat koordinasi dan kerjasama. Kami berharap setelah aktivitas ini dijalankan, hambatan dapat diidentifikasi sehingga kita dapat mengembangkan program atau mengambil tindakan yang tepat, seperti pengadaan sistem pelatihan bersertifikasi yang terintegrasi, mengembangkan sistem E-Registration untuk mengintegrasikan database kasus tindak kejahatan anak, dan mengadakan kunjungan berkala ke lima pengadilan percontohan tadi untuk mengawasi implementasi serta memberikan pengarahan teknis” tambah Fatahillah, Koordinator Sektor EU-UNDP SUSTAIN. •