Kika: Sonya Hellen Sinombor, Justice Margaret Cleary, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., LL.M. dan Dr. Abdullah, SH., MS

Jakarta, BISKOM – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret, Mahkamah Agung menyelenggarakan diskusi dengan topik “Kolaborasi Pengadilan Indonesia dan Australia untuk Akses yang Lebih Baik terhadap Keadilan Bagi Perempuan dan Anak” di Media Center MA.

Hadir sebagai narasumber yakni Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., LL.M. selaku Ketua Kamar Pembinaan MA dan Ketua Kelompok Kerja Perempuan dan Anak MA, Margaret Cleary sebagai perwakilan dari Family Court Australia dan Sonya Hellen Sinombor yang merupakan aktivis perempuan dan juga jurnalis Kompas serta dimoderatori oleh Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Dr. Abdullah, SH., MS.

Emil F. Simatupang dari Info Breaking News saat mengajukan pertanyaan kepada para nara sumber.

Sebelumnya MA telah menerbitkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum. Pada intinya Perma ini bertujuan untuk memastikan penghapusan segaal potensi diskriminasi terhadap perempuan dan merupakan suatu langkah maju bagi dunia peradilan di Indonesia.

Baca :  Kejaksaan Agung Memeriksa 2 Orang Saksi Terkait Perkara Perkeretaapian Medan

Meskipun Perma ini dianggap sebagai sebuah terobosan hukum yang dilakukan oleh MA, namun masih dianggap belum maksimal oleh sejumlah pihak. “Sebenarnya MA sudah melakukan terobosan yang tepat sebab kalau berkaitan dengan hak, pembatasan dan segala macam harusnya diatur oleh undang-undang. Lebih tepat sebenarnya peran eksekutif dan legislatif.

Namun Ketua MA menyatakan jika menunggu eksekutif dan legislatif akan lama. Dilihat dari segi kemanfaatan (maka perlu diterbitkan Perma ini). Di Asia Tenggara hanya Indonesia dan Filipina yang punya ini. Memang butuh waktu pelaksanaan karena berkaitan dengan undang-undang lain,”jelas Prof. Dr. Takdir Rahmadi.

Para narasumber berfoto bersama para awak media di antaranya Soegiharto Santoso, Emil F. Simatupang, dan Vincent Suriadinata.

Sementara itu, Sonya Hellen Sinombor mengapresiasi Perma Nomor 3 Tahun 2017. “Di saat situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang masih lekat dengan budaya patriarki, kehadiran regulasi yang memberikan penguatan kepada masyarakat khususnya perempuan dan menjadi pegangan yang kuat. Namun sayangnya, terobosan ini tidak diikuti oleh lembaga yang lain dalam penegakan hukum. Penegakan hukum kan tidak hanya di peradilan. Perempuan ketika berhadapan dengan hukum dan punya kasus, pertama tidak langsung ke pengadilan,” terang Sonya.

Baca :  JAM-Pidum Menyetujui 2 Pengajuan Restorative Justice dalam Tindak Pidana Narkotika

Lebih lanjut, Sonya mengatakan bahwa kebanyakan perempuan lebih memilih tidak mau masuk ke jalur hukum ketika menghadapi sebuah persoalan. “Pasti lama, dan yang paling mereka khawatirkan adalah soal biaya. Bukan biaya di pengadilan yang mereka persoalkan, tetapi biaya selama proses peradilan itu. Perma ini sangat luar biasa, namun sampai berapa banyak perempuan yang menuju pengadilan dan menikmati Perma tersebut. Perlu kita cari tahu sudah seberapa jauhkah regulasi dan peraturan perundang-undangan betul memberikan akses keadilan buat perempuan-perempuan di negeri ini” katanya.

Sonya juga mendorong agar Perma Nomor 3 Tahun 2017 benar-benar diimplementasikan oleh hakim. “Paling tidak jika ada kasus yang berkaitan dengan perempuan, hakim (yang mengadili) sudah mengikuti bimtek atau workshop atau pelatihan terkait Perma Nomor 3 Tahun 2017 sehingga paham betul dan dijalankan. Supaya nilai atau perspektif gender itu masuk.Ini adalah sebuah langkah maju agar tidak terputus antara regulasi dengan implementasinya. Perlu pula didorong penguatan kapasitas hakim-hakim perempuan,” pungkas jurnalis Kompas ini. (Hoky & Vincent)