Jakarta, BISKOM – Pemilu yang akan digelar 17 April 2019 tinggal menghitung hari. Pemilu 2019 menjadi istimewa karena merupakan pemilu pertama yang dilakukan secara serentak antara pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilu legislatif. Lalu bagaimana kesiapan Mahkamah Agung (MA) dalam menghadapi pemilu 2019? Jumat, 5 April 2019 bertempat di Media Center MA, Jakarta diselenggarakan diskusi dengan tema “Kesiapan Mahkamah Agung dalam Menghadapi Pemilu” yang menghadirkan 2 orang narasumber yakni Dr. Supandi, SH, MH sebagai Ketua Kamar TUN MA dan Dr. Suhadi, SH, MH sebagai Ketua Kamar Pidana MA. Bertindak sebagai moderator dalam diskusi pagi ini, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Dr. Abdullah SH, MS.
Dr. Supandi, SH, MH mengatakan MA sadar pentingnya hukum acara dalam pemilu ini. Untuk itu Ketua MA mengisyaratkan kepada unsur pimpinan MA supaya hukum acaranya menjadi jelas, oleh sebab itu diatur melalui Peraturan MA (Perma) karena jika menunggu undang-undang ataupun PP akan memakan waktu yang lama. Setidaknya sudah ada beberapa Perma yang lahir untuk menghadapi pemilu yakni Perma No. 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung, Perma No. 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Perma No. 6 Tahun 2017 tentang Hakim Khusus dalam Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara. “Disini tidak bisa sembarang hakim ditunjuk menangani perkara. Mereka harus ditatar, dilatih, dipilih dan kemudian disertifikasi bahwa mereka mampu menyelesaikan sengketa pemilihan umum,” ujar Ketua Kamar TUN ini.
Selain itu, ada Perma No. 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan dan Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan yang sering disalahartikan oleh publik. “Harus dibedakan antara sengketa pemilhan umum dan sengketa pemilihan (pemilihan kepala daerah). Istilah pemilihan digunakan untuk sengketa kepala daerah. Tata caranya pun berbeda,” kata Dr. Supandi, SH, MH.
Hingga saat ini MA memiliki hakim pemilihan umum untuk tingkat pertama sebanyak 217 orang dan hakim pemilihan umum untuk tingkat banding sebanyak 17 orang. Kemudian untuk hakim pemilihan tingkat pertama sebanyak 77 orang dan hakim pemilihan untuk tingkat banding sebanyak 51 orang.
Terkait dengan Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan DCT Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 telah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 14 November 2018 yang hingga hari ini belum diperbaiki oleh KPU, Dr. Supandi, SH, MH mengungkapkan bahwa demi hukum wajib dilaksanakan kalau mengatakan dirinya (KPU) sebagai organ negara. “Kalau negara yang berdasarkan hukum, pejabatnya pasti bertindak berdasar hukum dan setiap perintah hukum wajib dilaksanakan walaupun bertentangan dengan kepentingan pribadi. Jadi jika tidak mau dilaksanakan, ini yang dikatakan pejabat dalam posisi melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Bisa digugat oleh rakyat dan dituntut ganti rugi,” terangnya
Lebih lanjut Ia mengatakan, “Kalau pejabat itu bertindak selaku negara pasti dia laksanakan putusannya. Tetapi jika tidak dilaksanakan? Berarti dia sedang tidak berposisi sebagai negara karena mempertahankan kepentingan pribadinya. Jadi pejabat tidak ada pilihan lain, senang atau tidak senang putusan pengadilan yang berkekutan hukum tetap itu adalah hukum dalam kasus konkrit dan wajib dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan maka pejabat itu sedang melawan perintah jabatannya,” tegas Dr. Supandi, SH, MH.
Sementara itu, Dr. Suhadi, SH, MH mengatakan pemilu 2019 ini lebih kompleks karena di tangan pemilih ada 5 jenis kartu suara. Terhadap pelaksanaan pemilu sudah diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017, dimana pelanggaran pemilu ada 4 kemungkinan yakni pelanggaran kode etik, pelanggaran administrasi, sengketa pemilu, dan tindak pidana pemilu yang semuanya disaring oleh Bawaslu.
“Tindak pidana pemilu sudah ada hukum materiilnya dalam UU No. 7 Tahun 2017 dan hukum acara yang berlaku adalah UU No. 8 Tahun 1981 selain yang ditentukan secara khusus dalam UU Pemilu. Misalnya penyidikan tidak bisa langsung dilakukan sebagaimana tindak pidana biasa, tetapi harus melalui Bawaslu. Bawaslu lah yang akan menyaring ini pelanggaran kode etik, ini pelanggaran administrasi, ini sengketa pemilu, atau ini tindak pidana pemilu. Khusus untuk tindak pidana pemilu ini, akan dilimpahkan kepada Gakkumdu. Mereka mempunyai waktu 14 hari untuk melakukan penyidikan, kemudian dilimpahkan ke penuntutan selama 5 hari, selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan. Pengadilan dalam waktu 7 hari sudah harus putus,” katanya.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Ketua Kamar Pidana MA bahwa terhadap putusan tingkat pertama ini dapat dilakukan upaya banding. Namun putusan banding ini bersifat final and binding sehingga tidak ada upaya hukum kasasi. “Hakim yang menangani kasus ini sekurang-kurangnya sudah bertugas selama 3 tahun sebagai hakim. Jika di tempat itu tidak ada hakim yang sudah bertugas selama 3 tahun sebagai hakim, maka hakim yang ada dapat ditunjuk. Semuanya sudah siap di seluruh Indonesia untuk menangani tindak pidana pemilu,” pungkas Dr. Suhadi, SH, MH. (Hoky & Vincent)