Jakarta, Biskom – Pusat Peraga (PP) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menilai ‘World Class Science Center’ dapat dicapai pada 2025. Langkah ini dilakukan dengan pengelolaan alat peraga, penyelenggaran program, edukasi, dan pembudidayaan iptek.
Sebanyak 22 wahana dan 400 alat peraga terdapat di PP IPTEK TMII. Wahana-wahana ini adalah Wahana Petualangan Sains, Wahana Listrik dan Magnet serta Wahana Getaran dan Gelombang.
Kemudian, Wahana Mekanika, Wahana Peneliti Cilik, dan Wahana Lingkungan, Wahana Optik, dan Wahana Ilusi, Wahana Transportasi Udara, dan Wahana Fluida.
Selanjutnya, Wahana Transportasi Darat, Wahana Matematika, Wahana Telekomunikasi, dan Wahana Antariksa, Wahana Flu Burung, dan Wahana Siaga Pandemi Influenza.
Tidak ketinggalan Wahana Ozon, Wahana Taman Jurasic, Kidsmart Corner, Wahana Tesia Coil, Self Balancing Wheel dan Stereo Visual. Untuk Wahana Petualangan Sanis terdiri dari lima alat peraga yakni Human Yoyo, Lorong Ilusi, Laser Trap, Mirror Maze, dan Gyro Extreme.
“Dari wahana-wahana ini total sebanyak 400 alat peraga kami miliki,” kata Mochammad Syachrial Annas, Direktur PP IPTEK TMII.
Berbagai koleksi wahana akan terus ditambah PP IPTEK TMII bekerjasama dengan negara-negara lain. Mereka yang dilibatkan seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Australia.
Lembaga-lembaga dalam negeri juga telah dilibatkannya untuk itu antara lain Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Begitupula perusahaan-perusahaan lokal, misalnya PT Biofarma, PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT Inti, PT LEN, PT Inuki, dan PT Dahana.
Selain itu kalangan Perguruan Tinggi (PT) juga digandeng PP IPTEK TMII berpartisipasi di sini. Mereka yang masuk antara lain Institut Teknologi Bandung (ITB). Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Negeri Solo (UNS), dan Telkom University.
“Kami akan menampilkan wahana dengan teknologi Augmented Reality pada waktu dekat berupa permainan dengan beruang kutub dan penguin,” jelasnya.
Kurang Menarik dan Sosialiasi
Hal lain yang bisa dilakukan PP IPTEK TMII menuju ‘World Class Science Center’ dengan menyeimbangkan pemberian jumlah materi iptek sebanding dengan jumlah pengunjung ke sana.
Lembaga ini mematok sebanyak 500.000-600.000 pengunjung selama satu tahun untuk memenuhi biaya operasional, tapi ini baru tercapai sekitar 400.000 pengunjung setahun.
Pencapaian ini kalah dibandingkan rumah pintar di Yogyakarta akibat masyarakat lebih memilih berkunjung ke pusat perbelanjaan (mal). Tempat ini dianggap memiliki wahana permainan bagi anak-anak, meskipun tidak sebanding dengan apa yang dipunyainya. “Kita menganggap belum memiliki nilai entertainment yang menarik,” ujar Syachrial.
Hal tadi diakuinya dari sisi interior dari ilmu arsitektur yang dipelajarinya selama ini seperti keberadaan alat peraga tidak didukung pencahayaan dari lampu yang ada. Lampu yang dipasang untuk alat peraga ini bukan lampu sorot, tapi lampu biasa untuk suatu ruangan.
Menurut Syachrial, kondisi Gedung PP IPTEK TMII juga dinilai tidak cocok sebagai Badan Layanan Umum (BLU) lantaran tempat ini tertutup seperti instalasi militer. Suatu tempat untuk layanan publik harus dibangun secara terbuka seperti kaca gedung dan semua warna sisi gedung tidak putih.
“Untuk itu saya tanya ke bagian rumah tangga pada akhir tahun, apakah masih ada uang, kalau ada kita cat atas gedung warna-warni, sehingga kelihatan segar,” tukasnya.
Walaupun demikian PP IPTEK TMII merupakan salah satu dari dua tempat lainnya di sini yang meraih kunjungan terbesar sejak pembukaan sampai sekarang sebesar 6 juta pengunjung. Dua tempat di TMII yang terbesar lainnya adalah Imax dan Museum Air Tawar.
Keberadaan PP IPTEK TMII belum diketahui masyarakat terutama lembaga-lembaga pendidikan yakni TK, SD, SMP, dan SMA diakui akibat belum memanfaatkan media untuk sosialisasi.
Menyoal kemungkinan tarif tinggi sebagai penyebab jumlah kunjungan belum sesuai kebutuhan PP IPTEK TMII ditampik Syachrial. Pasalnya, dia hanya mengenakan sebesar Rp15.000 per pengunjung.
Angka ini masih lebih rendah dibandingkan tarif tempat-tempat lainnya yang berhubungan dengan iptek seperti “Sky World’ seharga Rp70.000 per pengunjung. Bahkan, PP IPTEK masih memberikan potongan harga kepada agen perjalanan sebesar 30% supaya mau membawa wisatawannya ke sini.
“Namun, kita ditegur, kok dengan tarif segitu masih bisa hidup, kita katakan karena kita adalah BLU,” tandasnya.
Dari hal-hal tadi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta diminta membantu edukasi keberadaan PP IPTEK TMII kepada masyarakat.
Ajang Internasional
Untuk menjadi ‘World Class Science Center’ dilakukan pengenalan keberadaan PP IPTEK TMII kepada dunia dengan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan internasional. Salah satu kegiatan yang dimaksud seperti ‘Discovery Camp’ di PP IPTEK TMII yang berlangsung pada 21-23 Maret 2019.
Discovery Camp mengusung tema ‘The Role of Youth in Communicating Science for Sustainable Development Goals (SDGs) in Indonesia’ yang diangkat dari tema besar kegiatan ‘Junior Science Odyssey (JSO) 2019’.
Sebanyak 13 negara anggota ASEAN Plus Three (Jepang, Korea, dan China) serta Swedia, Australia, dan Nigeria mengikuti acara tersebut.
Sementara itu pemerintah menargetkan sebanyak 100 science center akan dibangun sepanjang 2014-2019. Hal ini telah dimasukkan dalam program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.
Dari target ini sebanyak dua science center telah terdapat pemerintah di Padang, Sumatera Barat (Sumbar) dan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2018.
Wahana-wahana yang terdapat di science center Padang antara lain Labirin Cermin, Katrol, Gyroektreme, Generator Van De Graf, Baterai Tangan, dan film kartun.
Dengan penambahan dua science center tadi, sehingga sebanyak 23 science center terdapat di Tanah Air sampai sekarang. Jumlah ini akan bertambah dengan rencana pembangunan di Riau dan Sulawesi Tengah pada 2019.
Keberadaan science center dinilai ideal apabila ini sudah terdapat di setiap ibu kota provinsi, apalagi ini bisa terdapat di ibu kotamadya atau ibukota kabupaten.
Namun, pembangunan ini dikhawatirkan tidak dirawat pemerintah daerah (pemda) yang diketahui dari pemberian anggaran secara terbatas. Jika ini terus berlangsung, maka PP-IPTEK tidak sanggup menghidupi dirinya, sehingga ditutup oleh pengelolanya.
Malahan, Syarial mengungkapkan PP-IPTEK TMII mengalami kekurangan biaya operasional secara ideal, tapi ini diusahakan bisa cukup oleh pengelolanya.
Status BLU yang disandangnya berakibat pendapatan mesti dicari sendiri oleh lembaga tersebut. “Pemasukan dari kunjungan, sebagian kita ambil untuk biaya operasional,” ucapnya.
Perjalanan PP IPTEK
Sekedar informasi, PP IPTEK merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) bidang pemasyarakatan dan pembudayaan IPTEK di bawah Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
Hal ini diatur Peraturan Menteri Riset dan Teknologi (Permenristekdikti) Nomor 10/M/PER/XII/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja PP-IPTEK.
Sebelumnya, lembaga ini sebagai UPT Kemenristek yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLU berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 157/KMK.05/2007.
Pendirian PP-IPTEK diinisiasi Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) era Pemerintahan Soeharto yakni Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Hal ini untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia melalui iptek.
Semula pembangunan PP-IPTEK di Gedung Terminal B Skylift-TMII seluas 23.400 m2 di atas lahan 4,5 hektar yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 April 1991.
Kemudian, PP IPTEK dipindahkan ke gedung baru yang terletak di poros utama kawasan timur TMII juga diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 10 November 1995.
Gedung ini berhadapan dengan Monumen Persahabatan Negara-Negara NonBlok dengan luas 24.000 m2 di atas lahan 42.300 m2.