Jakarta, BISKOM – Mahkamah Agung (MA) secara resmi memutuskan untuk melakukan pemberhentian sementara terhadap hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kayat yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus suap untuk membebaskan terdakwa kasus pemalsuan surat, Sudarman.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh juru bicara MA, Andi Samsan Nganro saat acara Presscon di Media Center MA RI di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (6/5/2019). Andi melanjutkan, sanksi yang dijatuhkan terhadap Kayat tersebut sudah mulai berjalan sejak hari Jumat (3/5/2019) lalu dan diberlakukan sesuai dengan Surat Keputusan Ketua MA Nomor 78/MA/SK/V/2019 yang ditetapkan hari ini atas nama Wakil Ketua MA Non-Yudisial, Hakim Agung Sunarto.
“Kedua, kepadanya diberikan uang pemberhentian sementara sebesar 50 persen dari penghasilan jabatan yang diterimanya terakhir terhitung mulai tanggal 1 Juni 2019 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ucap Andi saat membacakan surat keputusan.
“Ketiga, apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan dan perhitungan kembali sebagaimana mestinya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Jubir MA menyebutkan bahwa adanya segelintir pihak yang meminta KMA Hatta Ali mundur adalah sesuatu yang sangat berlebihan karena jika dihitung jumlah Hakim yang jumlahnya 4000 lebih dibanding hanya 20 orang hakim saja yang bermasalah hukum, maka sangat berlebihan nyinyir nya segelintir pihak yang mendesak Hatta Ali mundur dari jabatannya.
Diketahui, KPK menetapkan Kayat sebagai tersangka setelah diduga menerima suap untuk membebaskan Sudarman (SDM) dalam kasus pemalsuan surat. Kayat meminta fee Rp 500 juta untuk membebaskan Sudarman, terdakwa pidana yang mana Kayat sebagai ketua majelis hakim dalam persidangannya. Lebih dari itu Kayat yang diketahui pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Barru Sulsel itu sudah mendapat promosi ke PN Klas 1 A Sidoarjo.
Secara terpisah disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif, bahwa kronologi OTT ini terjadi pada Jumat (3/5/2019) sekitar pukul 17.00 Wita di halaman parkir depan PN Balikpapan, Rosa terlihat berjalan ke arah mobil Kayat yang diparkir di depan PN Balipapan membawa sebuah kantong kresek plastik hitam (dua lapis) berisikan uang Rp 100 juta. “Saat RIS sampai di mobil berwarna silver yang diduga merupakan mobil KYT dan ingin meletakkan uang tersebut mobil dalam keadaan terkunci. Kemudian RIS menghubungi KYT agar membuka kunci mobil,” ungkapnya.
Kayat diduga membuka kunci mobil dari kejauhan menggunakan “remote control”. “Setelah mobil terbuka, JHS mendatangi RIS dan meletakkan uang dalam plastik kresek tersebut di kursi mobil silver dan kemudian satu lapis kresek hitam lainnya digunakan untuk membawa botol minuman bekas sambil berjalan menjauhi mobil tersebut. Diduga hal ini dilakukan agar seolah-olah tetap terlihat membawa kantong kresek hitam meskipun uang telah ditinggalkan di mobil KYT,” kata Laode.
Tidak lama berselang, kata Syarif, setelah Rosa dan Jhonson pergi, Kayat datang ke mobil silver tersebut kemudian tim segera menciduk Kayat dan barang bukti uang Rp 100 juta di dalam tas kresek hitam yang ada di mobil tersebut serta uang Rp 28,5 juta yang ada di tas Kayat.
Menurut data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di situs KPK, Kayat terakhir melaporkan harta kekayaannya pada 2017. Total hartanya saat itu Rp 960 juta. Kepemilkan hartanya didominasi oleh tanah dan bangunan berjumlah 6 bidang yang tersebar di Balikpapan, Batam dan Jakarta dengan nilai Rp 750 juta. Selain itu, ia memiliki mobil Toyota Avanza dan motor Honda Vario dengan nilai Rp 110 juta dan uang kas berjumlah Rp 100 juta.
Selain Kayat, KPK juga menetapkan Sudarman beserta sang kuasa hukum, Jhonson Siburian sebagai tersangka. Atas perbuatannya, Kayat dinilai telah melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Sudarman dan Johnson disangkakan melanggar pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Hoky & Vincent)