Jakarta, BISKOM – Akhir-akhir ini muncul pandangan politik yang berbeda dari beberapa purnawirawan kita. Bahkan terasa kurang elok didengar.

Sebenarnya, para purnawirawan itu, mereka sudah menjadi sipil. Mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat sipil lainnya. Aturan dan hukum pun harus berlaku sama.

Karena itu, mereka bisa berpolitik dan atau berada pada kekuatan politik dari sebuah partai atau koalisi partai politik. Bahkan purnawirawan ada berada pada salah satu kekuatan politik Paslon Pilpres 2019. Itu sah dan benar.

Hanya saja dari aspek simbol komunikasi politik, ketika masuk atau berada pada kekuatan politik tersebut, menurut saya, sebaiknya para purnawirawan menanggalkan semua atribut, (misalnya jabatan, pangkat dan golongan), yang terkait dengan profesi masa lalu, sebelum pensiun. Benar-benar jadi sipil “murni”.

Sebab sebagai warga nengara sipil, bagi mereka, berlaku aturan dan hukum sipil. Jadi, tidak berlaku lagi aturan dan hukum ketika masih aktif di profesi sebelumnya kepada mereka.

Dengan demikian, semua tindaktanduk politiknya sebagai orang sipil, sudah tidak terkait sama sekali dengan instansi dimana yang bersangkutan pernah aktif sebelum pensiun. Hak-hak dan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat sipil, dilindungi oleh aturan dan hukum sipil.

Jadi, sesama masyarakat sipil diberlakukan hukum sipil. Tidak ada perlakuan “spesial” atas dasar latar belakang profesi, jabatan dan atau pangkat yang diemban sebelumnya.

Karena itu, aparat hukum sipil, harus memproses hukum siapapun di antara anggota masyarakat sipil yang diduga melanggar hukum, tanpa kecuali, untuk menjaga kepastian hukum di tengah masyarakat dan keteraturan berbangsa dan bernegara.

Sama halnya dengan seorang PNS guru atau dokter, ketika sudah pensiun berhak masuk ke dunia politik. Tentu terlebih dahulu menanggalkan semua atribut ke-PNS-annya, sebagai masa lalu.

Sekalipun dia pernah menduduki jabatan tertinggi sebagai eselon satu (Dirjen), misalnya, ketika sudah pensiun, semua perilaku politiknya terlepas sama sekali dari instansi sebelumnya. Mereka sudah mempunyai hak dipilih.

Memang, boleh jadi masih ada relasi sosiologis, psykologis dan antropologis dengan instansi lamanya, baik sebagai pensiunan dari militer atau PNS, harus terjaga benar-benar independen, tidak boleh dicampuraduk atau dikaitkaitkan dengan perilaku politiknya.

Misalnya, jangan sampai mengemukakan pandangan politiknya seraya menyebutkan langsung atau tidak langsung, statusnya di profesi sebelumnya, untuk meyampaikan makna politik tertentu, yang boleh jadi untuk pembenaran lontaran komunikasi politiknya atau untuk memanipulasi persepsi publik dalam rangka mewujudkan tujuan politik prakmatis.

Karena itu, apapun jabatan yang sebelumnya yang dipercayakan negara diembannya, sebagai militer atau PNS, segala tugas dan pengorbanan selama sebelum pensiun, harus dilihat sebagai kewajiban dan pengabdian yang sangat tulus bagi bangsa dan negara. Keberhasilan dan prestasi, biarlah itu sebagai catatan emas dan rujukan bagi para penerusnya di lembaga yang bersangkutan.

Semua kita, apapun profesi kita, tanpa kecuali, misalnya nelayan yang bisa jadi korban dari ganasnya ombak di laut dan atau buasnya ikan pemangsa yang bisa mengancam keselamatan mereka, merupakan pengabdian dan pengorbanan yang luar biasa bagi bangsa dan negara.

Profesi guru di ujung perbatasan atau seorang perempuan dokter di desa terpencil di Indonesia, di Kabupaten Boven Digoel di Papua, misalnya, tidak kalah mulia serta pengabdiannya dengan seseorang yang berpangkat dan jabatan tinggi di suatu instansi tertentu di Jakarta.

Karena itu, apapun profesi kita, janganlah merasa pengabdian kita kepada negara dan bangsa lebih superior dari orang lain. Kita sama-sama memiliki status tertentu dan disertai peran tertentu pula untuk membangun negeri ini lebih baik dan maju. Kita duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Kita bersaudara. Kita satu, Indonesia Raya.

Penulis: Emrus Sihombing, selaku Direktur Eksekutif dari Lembaga EmrusCorner.