Jakarta, Biskom–  Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tengah  menyiapkan teknologi mengkonversi biomassa berbasis kelapa sawit (tandan kosong, dahan, batang) menjadi Bio Crude Oil (BCO) yang nantinya dilakukan upgrading dan refinery untuk menghasilkan produk-produk green BBM. Harapannya, BCO bisa lebih murah daripada minyak mentah.

Selain itu, BPPT juga konsen pada pengembangan teknologi mengkonversikan biomassa berbasis kelapa sawit melalui gasifikasi termal. BPPT bekerjasama dengan Gunma University Jepang dan JICA baru saja menyelesaikan pembangunan Biomass Gasification Pilot Plant berkapasitas 2 ton per hari.

“Melalui teknologi ini biomassa limbah pabrik kelapa sawit dikonversi menjadi syngas yang dapat diolah menjadi bahan dasar industri kimia seperti methanol maupun untuk bahan bakar seperti Dimethyl Ether (DME) sebagai alternatif dari LPG,” kata Kepala BPPT, Hammam Riza  dalam pembukaan Workshop Pemanfaatan Minyak Sawit untuk Green Fuel dalam Mendukung Ketahanan Energi dan Kesejahteraan Petani Sawit  di gedung BPPT, Jakarta (16/7).

Workhop yang dihadiri  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar ini, bisa memberikan rekomendasi penyusunan kebijakan dalam penyelesaian permasalahan dibidang kelapa sawit baik disektor hulu dan hilir serta menyebarkan informasi inovasi-inovasi di bidang teknologi pemanfaatan minyak sawit untuk Green Fuel yang telah dihasilkan oleh Lembaga-lembaga riset, Universitas, dan Perusahaan seperti BPPT, ITB, Pertamina.

Menurut Hammam, selain limbah biomassa padat,  pabrik kelapa sawit juga menghasilkan limbah cair yang biasa disebut palm oil mill effluent (POME). BPPT bekerjasama dengan PTPN V telah melakukan pembangunan Pilot Project PLT Biogas berbahan baku POME dengan kapasitas 0,7 – 1 MW. PLT Biogas kapasitas 1 MW ini dalam satu jam menghasilkan 1000 kWh. Jika dikonversikan dengan kebutuhan solar untuk PLTD, maka penghematan setara dengan sekitar 250 liter minyak solar dalam satu jam.

BPPT pada sisi hulu juga memberikan kontribusi teknologi, seperti teknologi perbanyakan benih unggul kelapa sawit secara in vitro sebagai upaya mendukung produktivitas perkebunan sawit, integrasi sapi sawit untuk mengoptimal sumberdaya yang ada, dan pengembangan pupuk hayati dan pupuk mineral.

Kesemuanya ini tentunya memerlukan kebijakan, regulasi, dan pengawasan yang kuat karena itu perlu adanya campur tangan pemerintah yang bisa mengatur khusus masalah kelapa sawit. Selain itu, perlu ada suatu lembaga khusus yang mengatur komoditas sawit yang punya nilai strategis.

Kurangi Import BBM 

Kepala BPPT berharap  ke depan, Indonesia bisa mengurangi import minyak mentah atau bahan bakar minyak, neraca perdagangan menjadi lebih baik, dan harga CPO bisa stabil, serta kesejahteraan petani dan pekerja sektor sawit bisa terjaga.

Apalagi, setiap tahun konsumsi BBM di Indonesia mengalami peningkatan seiring kenaikan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan perkapita. Kebutuhan BBM setiap hari mencapai 1,3 juta barel, yang dipenuhi dari kilang dalam negeri 910 ribu barrel/hari dan impor 370 barel/hari serta biodiesel 50 ribu barel/hari. Defisit impor migas sebesar US$ 13,4 miliar menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan tahun 2018 sebesar US$ 8,57 miliar.

“Karena itu, harus ada upaya untuk mengurangi impor BBM dengan melakukan diversifikasi BBM dengan sumber energi lain terutama bahan bakar nabati atau green fuel,” kata Hammam.

Saat ini produksi CPO Indonesia sudah mencapai 44 – 46 juta ton dari lahan sawit seluas 14 juta hektare (ha). Pada 2025, produksi sawit Indonesaia diprediksi akan mencapai 51,7 juta ton. Menurut Hammam, hal ini merupakan sebuah pencapaian yang membanggakan. Namun di sisi lain, akan mengakibatkan over supply, apalagi pada 2030 ada ancaman pelarangan produk minyak sawit di Eropa secara total. “Sementara, industri kelapa sawit telah mempekerjakan 5,3 juta petani swadaya dan sebanyak 17 juta orang menggantungkan hidupnya dari sawit,” lanjutnya.

Untuk itu, BPPT bersama berbagai stakeholders termasuk Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Gaikindo, Aprobi, Institut Teknologi Bandung, dan lain-lain telah mempelopori pengkajian dan penerapan teknologi biodiesel untuk mengurangi impor BBM dan antisipasi oversupply CPO.

“Dimulai pada awal 2000an, saat ini kita telah mencapai tahapan B20, dan saat ini sedang dilakukan uji jalan B30. Berdasarkan perhitungan Badan Litbang Kementerian ESDM, B30 akan mengurangi impor solar sebesar 8 – 9 juta kilo liter. Apabila dikalikan dengan Harga Indeks Pasar (HIP) solar sebesar Rp 8.900 per liter, maka nilai penghematan impor solar mencapai Rp 70 triliun atau US$6 miliar,” terang Hammam.

Hammam menyebut solusi teknologi lainnya adalah menggunakan Pure Plant Oil (PPO) berbasis CPO untuk aplikasi di stationary engine. BPPT bersama PT PLN telah mengembangkan pemanfaatan PPO untuk bahan bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Penggunaan PPO untuk PLTD terbukti sangat baik dan siap menggantikan solar sebanyak 50 persen.

Tak kalah penting, opsi  lainnya, pengolahan CPO menjadi BBM, baik melalui coprocessing bersama minyak bumi mentah atau 100% CPO dalam pengilangan untuk memproduksi green BBM atau disebut Green Refinery Stand Alone. Dengan pengilangan CPO 100%, sebanyak 10 juta ton CPO per tahun dapat diserap dan impor BBM sebanyak 11 juta kL dapat dikurangi. Apabila digabung dengan produk co-processing dan biodiesel, akan terjadi subtitusi pengurangan impor 23 juta kL/tahun sehingga defisit neraca perdagangaan luar negeri dapat dikendalikan.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, sawit memberikan potensi kontribusi yang besar diantaranya untuk perekonomian termasuk serapan tenaga kerja.

CPO juga mampu memberikan kontribusi yang banyak bagi Indonesia, diantaranya kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja tinggi, selain itu sawit juga berkontribusi dalam menekan impor karena akan membuat neraca transasksi berjalan menjadi defisit, ujar Luhut.

Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah akan mengoptimalkan biodiesel 30% (B30). Dengan demikian, impor bisa dihemat, jadi peran kelapa sawit sangat penting.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun 2013, seluruh kendaraan Public Service Obligation (PSO), non-PSO dan industri wajib menggunakan B30 pada tahun 2020. Penerapan B30 akan meningkatkan kemandirian energi, mengurangi impor bahan bakar serta berpotensi menghemat devisa hingga Rp60 triliun serta memberikan pengaruh terhadap performa kendaraan. (red/ju)