Jakarta, Biskom – Ditjen Penguatan Inovasi Kemenristekdikti mengusulkan agar pengalokasian dana abadi untuk inovasi dapat dikelola dengan mengacu pada pola kerangka penggunaan dana untuk pengembangan SDM, yakni LPDP dengan menggunakan lembaga independen.
“Diharapkan dengan kehadiran lembaga independen sebagai pengelola dana abadi untuk inovasi, maka penggunaan dana abadi lebih terarah dan tidak terpaku pada sistem penganggaran negara yang bersifat rigid. Dampak yang diharapkan adalah munculnya produk invensi Perguruan Tinggi menjadi inovasi atau semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas produk nasional yang siap bersaing di tataran global,” ungkap Direktur Sistem Inovasi,Kemenristekdikti, Ophirtus Sumule, dalam Forum Group Discussion/ FGD bertema Kebijakan Pendanaan Inovasi Nasional di Jakarta, (25/07).
Dikatakan Ophir, pendanaan dana abadi inovasi selain bersumber dari pemerintah juga dapat berasal dari pihak swasta. Karenanya, melalui FGD ini diupayakan penyatuan persepsi tentang sebuah sistem yang yang dapat menghimpun seluruh sumber pembiayaan, baik yang berasal dari bisnis (venture capitalist), dan masyarakat (angel investor dan crowd funding). Sumber pembiayaan tersebut dapat bergabung dalam skema pembiayaan dana abadi jika memungkinkan.
“FGD ini dilakukan untuk merumuskan sebuah format alternative kerjasama dan pembiayaan, guna mengakomodir value dari aktor pembiayaan swasta dan melahirkan kebijakan win-win solutions, dan sebagai masukan pada pemerintah. Hasil dari FGD ini akan dibahas lebih lanjut untuk diharmonisasikan dengan berbagai kebijakan terkait penguatan inovasi nasional,” katanya.
Dilanjutkan Ophir, pembangunan daya saing untuk mencapai kemandirian bangsa diperlukan berbagai upaya penguasaan iptek secara terstruktur, sehingga dibutuhkan jembatan antara dunia pendidikan dan dunia industri yang harmonis dengan fokus untuk peningkatan nilai tambah produk.
“Hal ini telah disadari oleh semua pihak, namun pada pelaksanaannya, masih diperlukan terobosan baru guna menumbuhkan bisnis pemula. Hal tersebut dikarenakan situasi bisnis saat ini belum memungkinkan untuk melakukan link and match dengan industri secara optimal, baik karena industrinya belum ada maupun karena principal industry tersebut berada di luar negeri,” ujar Ophir.
Sementara itu, Kasubdit Pengembangan Sistem dan Jaringan Inovasi Kemenristekdikti,Wihatmoko Waskitoaji mengatakan, inovasi dalam artian menjadikan produk tersebut ada di pasar merupakan hal yang tidak mudah, karena ketika sebuah produk telah selesai pada tahap riset diperlukan investasi yang tidak sedikit ketika mengupayakan invensi tersebut menjadi sebuah inovasi.
“Hal itu berkaitan dengan kebutuhan biaya yang timbul untuk pilot dan commercial, serta tahapan commercial support dan competitive commercial bisa menjadi sangat besar,” ujar Waskitoaji.
Sedangkan Kepala Seksi Kebijakan Inovasi, Eko Kurniawan,menambahkan pendanaan inovasi perlu ditingkatkan dan diarahkan untuk mendukung pengembangan dan penciptaan nilai tambah, baik melalui aspek ekonomi, maupun sosio-kultural.
“Pada tahun 2019, dana abadi untuk riset sebesar Rp 1 Triliun, sehingga seyogianya pendanaan untuk mendorong hasil riset menjadi inovasi yang masuk ke industri dapat di alokasikan dana yang lebih besar,” lanjut Eko..
FGD yang melibatkan berbagai pihak seperti perwakilan dari Pusat Penerimaan dan Anggaran Belanja Negara (BKF Kemenkeu), perwakilan dari Direktorat Pendidikan Tinggi, IPTEK dan Kebudayaan Bappenas, perwakilan Presiden University, perwakilan dari Direktorat Sistem Inovasi, Direktorat Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi, Direktorat Inovasi Industri dan berbagai stakeholder lainnya. (red)