Jakarta, BISKOM – Ketua Majelis hakim Saifudin Zuhri, SH., MHum yang  menyidangkan terdakwa TY dalam kasus kriminalisasi  dugaan penipuan dan penggelapan  dengan  agenda pembacaan pledoi atau pembelaan,  ditunda satu minggu atas permintaan Penasehat Hukum terdakwa Harry Syahputra, SH., MKn., CLA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 15/8/2019.

Harry menjelaskan tentang penundaan sidang tersebut karena berkas perkara baru kami terima 2 hari yang lalu, tangal 13, setelah 5 bulan persidangan berjalan dan permintaan berulang-ulang kali.

Kami masih membutuhkan waktu utk menelaah Berkas Perkara tersebut termasuk beberapa barang bukti berbahasa asing yang tidak ada terjemahannya yang dilampirkan dalam Daftar Barang Bukti.

Kami pun sudah mengalami kerugian atas keterlambatan pemberian berkas perkara tersebut karena tidak dapat mengkonfrontir atau mengcross-check barang bukti pada saat pemeriksaan saks-saksi.

Selain itu  Copy Surat Tuntutan dan Surat Dakwaan belum kami terima meskipun Yang Mulia telah memerintahkan Panitera Pengganti  untuk memberikannya kepada kami pada sidang yang lalu.

Alasan yang diberikan kepada kami adalah karena sudah diberikan oleh Jaksa. Namun sebagaimana yang kita ketahui dan buktikan, Surat Dakwaan yang diserahkan JPU kepada Hakim dan yang diserahkan kepada Terdakwa isinya berbeda. Sehingga hal tersebut sangat merugikan kami yang akhirnya eksepsi kami berisi hal-hal yang tidak ada di Surat Dakwaan versi Hakim atau dianggap mengada-ngada.

Berdasarkan hal tersebut, kami tidak ingin Pledooi kami juga nantinya dianggap kabur atau mengada-ada  bahkan kami mengalami kesulitan dalam membuktikan dan mendalami Surat Tuntutan yang diberikan kepada kami oleh Jaksa karena susunan halaman pada Surat Tuntutan tersebut tidak sesuai dan acak-acakan,  sedangkan JPU tidak memberikan nomor halaman maupun nomor rujukan poin. Hal ini juga kami yakini akan merepotkan majelis hakim dalam melakukan cross-check.

Tambah Harry, kami bingung harus mendasarkan pledooi kami berdasarkan Surat Dakwaan yang mana? Karena kami tidak memiliki Surat Dakwaan dengan nomor yang diputuskan sah dalam putusan Sela dan Surat Dakwaan sendiri ada beberapa versi.

Baca :  Tanpa "Master Plan", Bonus Demografi Indonesia Bakal Sia-sia

Demikian yang dapat kami sampaikan, kami harap, yang mulia bila memungkinkan, meminta JPU untuk menyusun ulang Surat Tuntutan dengan diberi nomor poin dan nomor halaman yang jelas. Dan agar Majelis Hakim tidak terjebak dalam irama kriminalisasi yang terjadi kepada terdakwa, tutur Harry.

Kepada awak media, Terdakwa TY mengungkapkan,  keanehan sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU), Moh. Januar Ferdian, SH. dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang dinilainya banyak kejanggalan, sehingga dirinya merasa ada upaya-upaya kriminalisasi.

Pertama, Jaksa sudah menuntut sejak tiga minggu lalu (25/7), namun TY  baru mendapatkan berkas perkara lengkap dua hari sebelum jadwal sidang pembacaan pledooi, 13 Agustus 2019.

Terdakwa menambahkan;  “Saya baru diberikan waktu oleh JPU pada hari Rabu (7/8) untuk melihat dan mencocokkan barang bukti (BB). Padahal, saya sudah minta sejak 4 (empat) bulan lalu, tapi baru ini diberikan kesempatan untuk melihat barang bukti, sedangkan tuntutan telah dibacakan JPU tiga minggu yang lalu.

Saat melihat barang bukti yang ada pada JPU, yaitu surat invoice, surat jalan, surat laporan keuangan dan lain-lainnya, ternyata seluruhnya tidak ada satupun yang asli. Semuanya hanya foto copy saja, dan  diakui oleh JPU bahwa memang yang diterima dari pihak penyidik seperti itu, artinya seluruhnya foto copy saja.

Terdakwa menegaskan bahwa barang bukti yang diperlihatkan oleh JPU diduga fiktif dan diduga direkayasa, karena format surat-suratnya berbeda serta bukan merupakan format dokumen yang biasa digunakan kedua belah pihak perusahaan yang sebelumnya sering melakukan transaksi.

Terdakwa sempat mengajukan keberatan kepada Majelis Hakim pada sidang sebelumnya mengenai legal standing Saksi. Sebagaimana dalam Dakwaan dan Tuntutan, Korban dalam kasus ini adalah PT. Matsuzawa Pelita Furniture Indonesia (MPFI), sehingga pada saat Pelapor Naoki Wada didengar kesaksiannya dalam persidangan dan mengaku sebagai Wakil Presiden Direktur MPFI,  Saksi Naoki Wada harusnya dapat menunjukkan legal standingnya untuk bersaksi.

Baca :  BAP DPD RI Tindak lanjuti IHPS II Tahun 2022 ke Kejaksaan Tinggi

Namun ternyata Naoki Wada tidak mampu menunjukkan hal tersebut. Terdakwa TY juga sempat memperlihatkan Akta Perusahaan MPFI, dimana pada Akta Perusahan tidak ada nama Naoki Wada.

Terdakwa juga telah memperlihatkan Surat Pengunduran Diri Pelapor Naoki Wada dari perusahaan, sehingga sesungguhnya Pelapor Naoki Wada tidak dapat mewakili Perusahaan lagi.

Masih kata TY pelapor Naoki Wada yang melaporkannya ke penyidik tidak memiliki legal standing sebagai Pelapor. Sebab dia tidak memiliki surat kuasa dari perseroan maupun dewan direksi ataupun dewan komisaris. Tapi surat kuasa yang ada pada Penyidik, dibuat dan ditandatangani sendiri dengan mengatasnamakan perusahaan, sehingga legal standingnya saksi Pelapor Naoki Wada itu apa dan dari siapa?

Dikatakan terdakwa TY, pelapor diambil BAP nya oleh penyidik setelah pelapor dikeluarkan dari perusahaan. Jadi BAP pelapor seharusnya cacat hukum dan dengan demikian, batal demi hukum. “Jadi apabila Pelapor Naoki Wada mengaku bahwa dia adalah seorang Direksi pada persidangan ini, mohon agar dapat dibuktikan keabsahan pengakuan tersebut, namun Pelapor Naoki Wada tidak dapat menunjukkan bukti tersebut.

Untuk itu harap TY,  kami harapkan  Majelis Hakim dapat bersikap tegas dan adil untuk menuntut saksi pelapor tersebut telah memberikan keterangan palsu di persidangan, selanjutnya segera diproses secara hukum yang berlaku.” pungkasnya.

Kejanggalan Kedua kata terdakwa,  yaitu Surat Dakwaan JPU yang diberikan kepada Majelis Hakim (hard copy), lalu yang diberikan kepada Panitera Pengganti (soft copy) serta yang diberikan kepada Terdakwa (hard copy) terdapat minimum 3 versi yang berbeda, hal ini jelas merupakan kejanggalan yang serius, contoh yang mudah diketahui adalah, tanggal surat dakwaan yang berbeda-beda, bahkan Surat Dakwaan yang diterima oleh Terdakwa tidak bernomor dan tidak bertanggal, lalu perbedaan yang signifikan adalah Terdakwa-nya atas nama orang lain, bukan atas nama saya, kemudian nama orang yang tercantum dalam Surat Dakwaan, berbeda dengan orang yang tercantum didalam Surat Tuntutan.”

Baca :  Kejaksaan Agung Memeriksa 1 Orang Saksi Terkait Perkara Komoditi Emas

Menurut Terdakwa, sesungguhnya ini merupakan fakta tentang ketidakcermatan yang fatal dari JPU dalam membuat Surat Dakwaan, Terdakwa mengatakan bahwa mungkin JPU terlalu letih dan terlalu lelah dengan banyaknya dokumen yang perlu dipersiapkan, atau mungkin ada tekanan-tekanan tertentu, untuk itu Terdakwa berharap agar Majelis Hakim dapat memperhatikan perihal perbedaan versi surat dakwaan ini dengan serius karena ini dapat juga dianggap sebagai bentuk Contempt of Court atau Penghinaan kepada Peradilan.

Kejanggalan ketiga lanjut Terdakwa, “Bahwa didalam surat tuntutan JPU yang diterimanya, ternyata ada 4 (empat) nama-nama saksi meringankan (a de charge) yang sengaja dihilangkan. Padahal ke-empat saksi tersebut hadir dalam persidangan dan telah dimintai keterangannya dalam persidangan, lebih aneh lagi, yaitu didalam surat tuntutan JPU tersebut terdapat nama saksi fiktif, karena nama saksi tersebut tidak pernah hadir didalam persidangan, akan tetapi ada tertera didalam surat tuntutan JPU dan ditulis memberikan keterangan dalam persidangan.” papar Terdakwa.

Berdasarkan hal  tersebut diatas, Terdakwa meminta agar Majelis Hakim memberikan waktu untuk mencocokan Surat Tuntutan dari JPU yang ada pada Hakim dengan Surat Tuntutan Jaksa yang ada pada Terdakwa. Kalau isi Surat Tuntutan berbeda seperti halnya Surat Dakwaan, maka bagaimana Terdakwa bisa melakukan pembelaan, Pembelaan Terdakwa jadi pepesan kosong nantinya apabila apa yang Terdakwa sanggah di Tuntutan, ternyata hal tersebut tidak ada, atau berbeda dengan Surat Tuntutan yang ada di Hakim.

Untuk diketahui, Terdakwa TY oleh JPU didakwa melanggar Pasal 372 dan 378 KUHP yang merugikan korban PT Matsuzawa Pelita Furniture Indonesia (MPFI), dengan jumlah kerugian sebesar Rp1,2 miliar dan dituntut JPU dengan tuntutan penjara selama 2 tahun penjara, namun fakta-fakta dipersidangan terungkap banyak sekali kejanggalannya. (Hoky)