Jakarta, BISKOM – Dipimpin oleh Kepala Perwakilan, Teguh P. Nugroho, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya melakukan sidak ke beberapa titik terkait pencemaran Sungai Cileungsi. Sidak ini merupakan bagian dari proses monitoring tindakan korektif Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Pencemaran Sungai Cileungsi awal tahun 2019 yang lalu. “Kami ingin melihat apakah DLH Kabupaten Bogor sudah mampu menangani pencemaran Sungai Cileungsi yang sesuai dengan tindakan korektif yang telah kami sarankan di awal tahun 2019 yang lalu” ujar Teguh. “Dampak pencemaran sungai, biasanya lebih terasa di musim kemarau, dan karena itu kami melakukan sidak pada hari ini (selasa.red 27/8)” lanjutnya.

Sidak tersebut dilakukan di beberapa titik yang ditengarai sebagai awal mula terjadinya pencemaran yaitu Jembatan Wika, Jembatan Narogong di wilayah perbatasan Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi, serta Jembatan Pocong. “Di titik terakhir kami menemukan ratusan ikan sapu-sapu mati di satu titik saja. Selain itu air Sungai Cileungsi menghitam, berbau dan berbusa” paparnya lagi. Matinya ikan sapu-sapu yang biasanya cukup tahan dengan polutan dari limbah domestik bisa menjadi indikasi beratnya pencemaran yang terjadi di Sungai Cileungsi dan ditengarai berasal dari limbah kimia yang dihasilkan pabrik-pabrik di wiayah tersebut. “Untuk memastikan tingkat pencemaran Sungai Cileungsi, kami akan meminta data pemeriksaan kondisi air terakhir dari DLH Kabupaten Bogor dan DLH Kota Bekasi, serta mengecek keakuratan hasil pemeriksaan tersebut ke Laboratorium yang melakukan pengecekan” tegas Teguh.

Selain melakukan pemeriksaan di sungai, Teguh dan jajarannya melakukan pemeriksaan terhadap dua IPAl (Instalasi Pengolahan Air Limbah) di dua perusahaan yang menurut DLH Kabupaten Bogor telah mengalami perubahan sejak LAHP Ombudsman Jakarta Raya diberikan. “Kami menemukan, adanya ketidaksesuaian standar paling minimum dalam proses pengolahan limbah di salah satu perusahaan yang kami datangi”, sambungnya lagi. Temuan Ombudsman misalnya menunjukan pengolahan limbah B3 padat yang dibiarkan berserakan di gedung pabrik yang diperiksa, ada kebocoran di IPAL, dan tidak tersedianya informasi hasil pemeriksaan limbah terakhir.

Tahun lalu, Ombudsman Jakarta Raya menemukan ada 54 perusahaan yang bermasalah dengan perizinan khususnya terkait pembuangan limbah di sepanjang Sungai Cileungsi. Sebagai tindakan korektif, DLH Kabupaten Bogor kemudian membenahi pengawasan perizinan IPAL perusahaan-perusahaan tersebut, 17 diantaranya dinyatakan sudah clean and clear. “Namun saat kami melakukan pengecekan kemarin, jelas kami menemukan adanya pertidaksesuaian antara dokumen clean and clear DLH kabupaten Bogor dengan fakta di lapangan” tutur Teguh lebih lanjut.

Berdasarkan temuan di lapangan tersebut, Teguh beranggapan DLH Kabupaten Bogor sudah tidak mampu menangani masalah pencemaran Sungai Cileungsi tersebut. “Selain temuan dil apangan, kami juga menemukan fakta bahwa para pelaku kejahatan lingkungan tahun sebelumnya yang diajukan ke proses hukum hanya dijerat dengan Perda saja tidak dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” tegas Teguh.

Kejahatan lingkungan berat seharusnya dijerat dengan pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman maksimal penjara 3 tahun dan denda Rp 3 miliar. Selain perusahaan pencemar lingkungan yang akan ditindak, pengawas lingkungan hidup yang lalai melaksanakan tugas juga bisa dijerat pasal Pidana dalam Undang-undang yang sama. “Maladminitrasi dalam pengawasan lingkungan ini unik” papar Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya ini lagi. “Maladminitrasi dalam pengawasan kejahatan lingkungan hidup, implikasinya Pidana bukan hanya tindakan korektif”, tegasnya. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tersebut menegaskan, kelalaian lembaga pengawas lingkungan hidup juga merupakan tindak pidana. Namun nyatanya, dalam kasus ini, Pelaku kejahatan lingkunganpun hanya dikenai Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dengan hukuman berupa denda sebesar 15 juta rupiah saja.

“Melihat dampak kerugian yang ditimbulkan akibat pencemaran Sungai Cileungsi ini, tidak hanya kematian biota Sungai Cileungsi, tapi juga bau menyengat yang harus ‘dinikmati’ warga di sepanjang jalur Sungai Cileungsi”, menurut Teguh lagi. Hal terburuk adalah, PDAM Tirta Patriot Kota Bekasi tidak dapat menjadikan air baku Sungai Cileungsi, yang saat melintasi Kota Bekasi menjadi Sungai Bekasi, sebagai bahan baku air minum lagi. ”Jelas ini menggangu pelayanan publik terhadap penyediaan air bersih bagi warga Kota Bekasi” tuturnya.

Berdasarkan kondisi tersebut, Ombudsman Jakarta Raya akan menindaklanjuti LAHP yang telah disampaikan sebelumnya dimana di dalam LAHP tersebut, jika DLH Kabupaten Bogor tidak mampu menjadi leading sector penangan pencemaran sungai Cileungsi, maka penanganannya akan dialihkan ke DLH dan jajaran Pemrov Jabar. ”Kami akan melakukan pemanggilan kepada DLH Kabupaten Bogor, DLH Provinsi Jabar, dan Ditjen Gakkum KLHK untuk menindaklanjuti ini” kata Teguh. “Jika diperlukan, kami akan meminta kesiapan dari Gubernur Jabar terkait dengan penanganan pencemaran ini, karena ini sudah lintas Kabupaten/Kota” tegas Teguh lagi.

Selain pemanggilan pihak-pihak tersebut, Ombudsman Jakarta Raya juga akan meminta keterangan dari DLH Kota Bekasi sebagai penanggung jawab tata kelola Sungai Cileungsi di hilir dan PDAM Tirta Patriot selaku pemberi layanan air bersih di Kota Bekasi. “Kami juga akan menindaklanjuti koordinasi dengan Mabes Polri dan Polda Jabar terkait penindakan para pelaku kejahatan lingkungan secara lebih tegas dengan memakai Undang-Undang 39 tahun 2009”, pungkas Teguh.

Sumber: Siaran Pers OMBUDSMAN RI Perwakilan Jakarta Raya, 28 Agustus 2019.