Salatiga, BISKOM – Regulasi menjadi salah satu unsur penting yang menunjang pembangunan bagi sebuah Negara, tak terkecuali di Indonesia. Banyaknya regulasi yang tumpang tindih telah menghambat pembangunan baik SDM maupun infrastuktur. Hal ini melahirkan gagasan untuk dibentuk sebuah badan/lembaga yang mengurusi soal regulasi.
Rencana pembentukan Badan Pusat Legislasi Nasional (BPLN) dilontarkan Joko Widodo saat debat perdana pilpres 17 Januari 2019. Jokowi menyampaikan ide itu saat menanggapi jawaban Prabowo Subianto soal sinkronisasi peraturan dengan mengoptimalkan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). “Kami akan menggabungkan fungsi-fungsi legislasi, baik yang ada di BPHN, di ditjen peraturan perundang-undangan dan fungsi-fungsi di semua kementerian dalam badan bernama Pusat Legislasi Nasional, sehingga langsung dikontrol presiden,” kata Jokowi.
Keberadaan badan/lembaga baru ini telah disepakati oleh Badan Legislasi DPR dan pemerintah dalam revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Lembaga baru itu bertugas menyusun Propenas di lingkungan pemerintah dan bertanggungjawab di bidang pembentukan perundang-undangan dan untuk mengatur harmonisasi peraturan daerah dengan kementerian atau lembaga. Harmonisasi peraturan-peraturan daerah agar ada koordinasi dengan kementerian terkait,” ujar Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Menurutnya, kadangkala ada daerah yang membuat perda justru bertentangan dengan ideologi negara atau UUD 1945. Revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 ini juga akan mengantisipasi review peraturan. Apakah harus ke pengadilan, ataukah ke DPR, atau cukup di lingkaran eksekutif.
Menyikapi hal tersebut, pakar hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Dr. Umbu Rauta SH., M.Hum. mengungkapkan bahwa persoalan regulasi disebabkan oleh ego sektoral baik di antara kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah. Menurutnya, meskipun ada problem regulasi namun tidak selalu penanganannya dengan pembentukan institusi baru.
“Persoalan regulasi bukan disebabkan oleh ketiadaan lembaga yang mengurusi sehingga perlu dibentuk lembaga baru. Sejatinya tugas pokok dan fungsi terkait sinkronisasi dan harmonisasi pembentukan regulasi telah ada lembaga yang menangani yakni BPHN dan Ditjen Perundang-undangan Kemenkumham, maupun di lingkungan Kemensesneg dan Setkab,” papar Umbu Rauta.
Lebih lanjut Umbu menjelaskan, “Bagi saya, soal jenis kementerian menjadi ranah kewenangan presiden, tidak perlu ada ketentuan eksplisit dari DPR agar dibentuk Kementerian tersendiri yang baru. Biarlah Presiden yang mempertimbangkan secara mandiri, apakah cukup menggabungkan fungsi pembentukan regulasi ke salah satu kementerian yang ada atau membentuk yang baru sama sekali. Perlu juga dipertegas jenis regulasi yang menjadi tugas kementerian tersebut, apakah seluruh jenis perundang-undangan (selain UUD dan Tap MPR) atau cukup jenis perundangan berupa PP, Perpres, Permen, dan Perda,” ujar Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW ini.
Tanpa membentuk lembaga baru, tugas-tugas dan fungsi itu bisa menjadi bagian dari kementerian yang sudah ada dengan alasan efisiensi dan pemberdayaan lembaga. Misalnya mengubah nama Kementerian Hukum dan HAM/Kepala Badan Regulasi Nasional atau Kemterian Sekretaris Kabinet/Kepala Badan Regulasi Nasional, dan lain-lain.
Selain itu, diperlukan kepemimpinan yang kuat dalam mengendalikan aktivitas penyusunan regulasi baik di pusat maupun daerah. “Ke depan perlu upaya untuk tidak selalu meproduk regulasi ketika menghadapi persoalan dalam masyarakat. Boleh jadi persoalan yang muncul ditangani dengan kebijakan nonregulasi,” pungkasnya. (Vincent)