Jakarta, BISKOM – Wacana terkait ambang batas parlemen (parlieamentary threshold) kembali mencuat. Hal ini muncul usai Rakernas I PDIP 2020 di Jakarta beberapa waktu yang lalu menghasilkan 9 rekomendasi, salah satunya terkait dengan parlieamentary threshold. PDIP merekomendasikan untuk menaikkan parlieamentary threshold menjadi 5% untuk DPR RI.
“Rakernas I PDI Perjuangan 2020 merekomendasikan kepada DPP Partai dan Fraksi DPR RI PDI Perjuangan untuk memperjuangan perubahan UU Pemilu untuk mengembalikan Pemilu Indonesia kembali menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, peningkatan ambang batas parlemen sekurang-kurangnya 5%, pemberlakuan ambang batas parlemen secara berjenjang (5% DPR RI, 4% DPRD Provinsi dan 3% DPRD Kabupaten/Kota), perubahan district magnitude (3-10 Kursi untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan 3-8 Kursi untuk DPR RI) serta memoderasi konversi suara menjadi kursi dengan Sainte Lague Modifikasi dalam rangka mewujudkan Presidensialisme dan Pemerintahan efektif, penguatan serta penyedederhaan sistem kepartaian serta menciptakan pemilu murah,”demikian bunyi rekomendasi ke-5 hasil rakernas PDIP yang ditandatangi langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Menanggapi rekomendasi tersebut, pengamat hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum., menyatakan bahwa gagasan peningkatan ambang batas parlemen merupakan suatu usulan yang bisa berdampak pada penyederhanaan partai politik peserta pemilu, tetapi tidak untuk membatasi jumlah partai politik.
“Instrumen lain yang dapat dilakukan yaitu memperkecil jumlah caleg dalam setiap Dapil, agar kompetisi peserta pemilu semakin ketat. Selain itu, perlu dipikirkan untuk meningkatkan syarat parpol menjadi peserta pemilu. Ini bukan bentuk pemasungan demokrasi karena fungsi parpol tidak hanya mengikuti pemilu,” ujar Umbu Rauta.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mengatakan bahwa semakin tinggi ambang batas parlemen, potensi suara yang terbuang dalam pemilu justru kian besar. Tingginya ambang batas parlemen juga dinilai semakin memperkuat partai-partai besar dan melemahkan partai kecil.
Terkait dengan pernyataan ini, Umbu Rauta berpendapat bahwa gagasan meningkatkan ambang batas akan berdampak pada banyaknya suara yang hilang merupakan konsekuensi dari pilihan kebijakan dalam rangka kompatibilitas sistem kepartaian dengan sistem pemerintahan presiden. “Justru dengan meningkatnya ambang batas, parpol mesti berhitung secara cermat untuk mengikuti pemilu agar tidak berdampak pada hilangnya suara pemilih,” ungkap Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW ini.
Umbu menambahkan, hal prinsip yang perlu direstorasi yaitu mindset pelaku politik dan publik, bahwa fungsi parpol tidak sekedar mengejar jabatan politik melalui arena pemilu. Masih ada fungsi parpol yang lain yang patut dijalankan dan juga bersifat mulia yaitu sosialisi politik, komunikasi politik, dan pendidikan politik. “Sehingga, meski ambang batas parlemen meningkat dan menyebabkan parpol tidak dapat mengikuti pemilu, bukanlah sebuah “malapetaka”, karena masih ada peran parpol yang lain yang dapat dijalankan,” pungkasnya. (Vincent)