Jakarta, BISKOM – Maraknya peredaran ponsel illegal atau ‘black market’ (BM) di Indonesia makin mengkhawatirkan. Pemerintah memperkirakan nilai kerugian negara dari beredarnya ponsel ilegal di Indonesia selama ini mencapai Rp2 triliun per tahun. Angka kerugian itu muncul lantaran ponsel ilegal tidak terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal inilah yang mendorong lahirnya aturan pembatasan IMEI.
IMEI merupakan nomor identitas ponsel layaknya STNK
pada kendaraan. IMEI juga sebagai security
system perangkat serta berfungsi untuk identifikasi perangkat dalam
jaringan bergerak seluler. Nanti, IMEI akan terdaftar di pusat data Kementerian
Perindustrian. Dengan IMEI, pemerintah bisa memantau peredaran ponsel di
Indonesia, terutama ponsel ilegal.
Pemerintah melalui tiga kementerian yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan pada 18 Oktober 2019 yang lalu telah mengeluarkan peraturan menteri masing-masing kementerian terkait pengaturan IMEI (International Mobile Equipment Identity). Hal ini diyakini dapat melindungi masyarakat dari penggunaan perangkat telekomunikasi yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan mencegah serta mengurangi peredaran perangkat telekomunikasi ilegal yang masuk ke Indonesia.
Aturan ini akan diterapkan pada bulan April 2020. Namun mulai Februari 2020, Kemenkominfo akan mulai melakukan uji coba. Untuk melakukan uji coba tersebut ada sejumlah pihak yang akan dilibatkan, salah satunya adalah operator seluler yang menjadi ujung tombak dalam implementasi regulasi ini.
Operator seluler membutuhkan mesin bernama Equient Identity Register (EIR) untuk mendeteksi ponsel mana saja yang masuk ke Indonesia secara ilegal. Mesin tersebut dapat mendeteksi melalui nomor IMEI milik perangkat. Pengendalian ponsel BM ini dilakukan operator seluler dengan mencocokkan IMEI perangkat yang terhubung ke jaringannya, dengan database resmi yang disimpan oleh pemerintah.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mengatakan adanya regulasi pembatasan IMEI, ponsel BM akan “disita” frekuensinya. “Disita” yang dimaksud oleh Johnny tentu saja adalah pembatasan akses jaringan oleh operator seluler terhadap ponsel yang dibeli lewat jalur tidak resmi. “Ini sekaligus untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa perangkat telepon yang disalurkan melalui saluran yang resmi yang sudah membayar pajaknya dengan benar. Sekalipun murah ya nanti kalau perangkatnya disita atau dimatikan yang rugi pembelinya. Gak bisa komplain kepada negara itu, kenapa belinya di pembeli yang salah,” pungkasnya. (red)