Jakarta, BISKOM – Wacana Presiden Jokowi untuk melakukan pemangkasan atau penyederhanaan pejabat eselon di lingkungan kementerian dan lembaga untuk kemudian menggantikan jabatan tersebut dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) alias robot masih jauh untuk diterapkan.
Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Michael Andreas Purwoadi mengatakan implementasi tersebut membutuhkan data-data untuk menciptakan sebuah algoritma di mesin AI. Data diperlukan untuk algoritma agar memberi pengetahuan kepada kecerdasan buatan. Pengetahuan dan algoritma ini digunakan agar sistem kecerdasan buatan itu mampu melakukan tugas eselon III dan IV. Oleh karena itu, menurutnya pertama-tama pemerintah harus mampu mendefinisikan fungsi kerja eselon III dan IV.
Apabila tugasnya hanya berkaitan dengan administrasi, AI sudah mampu. Akan tetapi, ada contoh kasus kejadian yang lebih rumit yang bisa menjadi tantangan untuk AI.
Misalkan, AI mesti mengurus administrasi dimana
seseorang mesti mengajukan dokumen khusus seperti akta kelahiran agar bisa
diproses. Namun, orang tersebut hanya memiliki surat keterangan rumah sakit.
Contoh kasus yang lebih rumit ini tentu membuat AI membutuhkan data-data yang
lebih lengkap agar bisa mengeluarkan sebuah keputusan.
“Itulah kebijakan yang harus dimasukkan ke dalam AI. Itu yang perlu
data-datanya perlu rekaman historical sehingga kita bisa kemudian melatih
algoritma AI untuk menggantikan eselon III dan IV,” terang Michael.
Sementara itu pengamat hukum dan kebijakan publik Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), RES Fobia, SH., MIDS. menjelaskan beberapa pokok penting yang harus harus menjadi acuan bekerjanya para pejabat dengan budaya baru berdasarkan peran AI. “Dalam hal ini, AI harus bekerja dengan pengenalan terhadap apa yang disebut Joseph S. Nye Jr., sebagai Contextual Intelligence,” katanya beberapa waktu lalu. (red)