Oleh Zainal Bintang.
Jakarta, BISKOM – Pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat berdamai dengan Covid 19 memicu reaksi Mantan Wapres JK (Jusuf Kalla). Istilah “berdamai” baru bisa dilakukan apabila kedua belah pihak sama-sama menginginkan perbaikan, kata JK. “Berdamai itu kalau dua-duanya ingin berdamai. Kalau hanya kita ingin damai, tapi virusnya enggak, bagaimana?” ujar JK dalam diskusi Universitas Indonesia Webinar “Segitiga Virus Corona”, Selasa (19/5/2020).
JK memang banyak pengalaman bersejarah terlibat dalam upaya perdamaian secara nasional yang diakui dunia internasional. Sebutlah kasus Poso dan Aceh. Masuk akal jika dia sensitif manakala mendengar narasi “perdamaian” di sekitarnya.
Interupsi JK yang di lempar ke ruang publik mengejutkan. Bagaikan bola panas yang menggelinding membelah publik menjadi dua kubu. Yang sependapat JK dan yang sefaham dengan Jokowi.
Pendukung JK adalah penentang pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) Sebaliknya kubu Jokowi menuduh JK terlalu reaktif dan bermotif politik. Jokowi dan mantan Wapresnya dianggap pecah kongsi.
Mengapa JK tidak menggunakan jalur hotline Istana untuk bicara dengan Jokowi dari hati ke hati?
Pernyataan JK hari hari ini terus digoreng berbagai media dan menggelinding menjadi bola panas. Jokowi serta merta menjadi “musuh bersama” masyarakat (common enemy). Banyak yang beranggapan kepretan JK membuka tabir internal pemerintahan Jokowi yang tidak padu dan kurang kompak. Sekaligus memantulkan buruknya moralitas politisi di zaman now. Tenggang rasa dan saling menghargai hilang dari peradaban.
Manuver JK tersebut secara politik dapat menjadi pintu masuk masyarakat pejuang demokrasi mengonsolidasi perlawanan. Untuk meretas tindakan represif negara yang semakin mempersempit ruang kritik dan perbedaan pendapat. Ini ditandai banyaknya kriminalisasi dan pembungkaman tokoh kritis.
Puncak keresahan publik mulai terlihat empat bulan setelah diumumkannya PSBB pada 31 Maret, karena dianggap belum terlihat menghasilkan suatu kondisi kondusif sebagaimana diharapkan. Gugus tugas melaporkan korban Covid 19 meningkat dari hari ke hari. Yang terjadi malah aneka kekacauan di lapangan, pernyataan sesama menteri saling tabrakan diperparah jejak korupsi bantuan sosial.
Terlihat pemerintah seolah tutup mata, masyarakat sepertinya dibolehkan melakukan aktifitas ekonomi, khususnya usaha mikro kecil (UMK).
Pada saat yang sama pelaksanaan protokol kesehatan dikontrol ketat gabungan aparat lintas instansi. Terlihatlah setiap hari pemandangan yang mengiris hati sanubari menyaksikan benturan keras antara pedagang kaki lima melawan petugas satpol pamongpraja yang main rampas seenaknya barang dagangan.
Kerumunan merebak di mana mana : di bandara ; di stasiun kereta api ; di terminal bus ; di pelabuhan dan diperbatasan antar kota dan kabupaten yang berujung kekisruhan yang menyayat perasaan.
Bagi pemerintah terjadinya mobilitas pelaku usaha mikro kecil, bisa mengurangi beban finansial ratusan triliun. Anggaran itu untuk pengadaan logistik yang harus ditanggung negara selama empat bulan. Khusus untuk puluhan juta orang miskin lama dan miskin yang baru yang terpaksa berdiam di rumah saja.
Mereka adalah jutaan karyawan korban PHK (pemutusan hubungan kerja) ; belasaan juta pengusaha informal yang bangkrut kehilangan pembeli dan tertekan hutang mengiringi ribuan perusahaan yang gulung tikar.
Pada saat yang sama berbagai model stimulus yang berfungsi sebagai obat penenang bagi dunia usaha terus dikampanyekan pemerintah. Setiap hari janji stimulus itu dinyanyikan oleh duet kontemporer Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia sebagai “lagu” kebangsaan.
Jokowi yang tiap hari tampil di televisi untuk mengawal isu pelonggaran PSBB, mendadak meminta masyarakat agar bisa hidup secara damai dengan virus korona. “Artinya kita harus hidup berdampingan dengan Covid-19”, ujar Jokowi dalam siaran pers resmi Jumat (15/05/2020).
Tanpa memberi waktu lama, JK tiba – tiba berkelebat menyambar pernyataan Jokowi. Bagaikan tokoh legendaris “Gundala Putra Petir” yang mengibaskan jubah hitam dengan nyala mata sarat energi berseru lantang : menentang ajakan “hidup damai dengan korona”.
Tepuk tangan jutaan pencari keadilan yang selama ini terpinggirkan serentak menggelegar kegirangan. Seakan menemukan seorang “rasul” baru!
Yang pasti hal itu membuat hati miris, karena kekhusyukan “Malam Lailatul Qadar” dan kekhidmatan “Hari Kebangkitan Nasional” hilang ditelan debu hitam konflik politik yang menahun. (Hoky)