Salatiga, BISKOM – Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia telah berdampak signifikan terhadap perekonomian. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga stabililtas perekonomian di Indonesia, salah satunya dengan merelokasi anggaran untuk mengatasi dampak dari pandemi ini. Untuk mengetahui lebih detail upaya-upaya pemerintah menangani pandemi ini, Center for Regulation Reform for Development Universitas Kristen Satya Wacana (CoRRDev UKSW) menyelenggarakan kuliah umum online dengan topik “Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Aspek Perpajakan” pada Jumat (22/05/2020). Kegiatan ini menghadirkan Staf Khusus Menteri Keuangan RI, Yustinus Prastowo sebagai narasumber dan dimoderatori oleh Manajer Program CoRRDev Priyo Hari Adi, SE., M.Si., Ph.D., Ak, C.A.
“Saat ini ekonomi melambat dan penerimaan negara menurun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di Q1 2020 sebesar 2,97%. Perekonomian global diperkirakan mengalami resesi di Q2 tahun 2020,” papar Yustinus Prastowo saat membuka kuliah umum ini.
Kondisi yang demikian juga mengharuskan pemerintah melakukan penyesuaian pengaturan, maka diterbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang saat ini sudah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Beberapa hal yang diatur dalam undang-undang ini antara lain penyesuaian batasan defisit APBN; penyesuaian mandatory spending, pergeseran dan refocusing anggaran pemerintah pusat dan daerah; insentif dan relaksasi perpajakan.
“Belanja sosial naik sangat siginifikan. Pemerintah pusat maupun daerah telah melakukan penghematan anggaran. Memang belum maksimal, namun ini kabar baik. Jangan-jangan setelah pandemi ini banyak efisiensi yang bisa dilakukan,” ujar Yustinus.
Beberapa insentif fiskal untuk merespon pandemi Covid-19 yakni penurunan tariff PPh Badan dari 25% menjadi 22% pada 2020 dan 2021, serta 20% pada tahun 2022. “Lalu bagaimana dengan UMKM? PMK Nomor 44/PMK.03/2020 memberikan insentif berupa PPh 21 ditanggung pemerintah bagi 1062 KLU, sehingga take home pay yang diterima oleh karyawan lebih besar. PPh final 0,5% UMKM ditanggung pemerintah, ada juga pengurangan angsuran PPh 25 sebesar 30% kepada 846 KLU serta percepatan restitusi PPN,” terang Yustinus.
Lebih lanjut Yustinus juga menjelaskan, pemerintah akan mengenakan pajak terhadap perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang mulai berlaku 1 Juli 2020. Objek pajaknya yakni barang digital dan jasa digital. Hal ini tercantum dalam PMK Nomor 48/PMK.03/2020, namun kriteria untuk pelaku PMSE ini masih akan ditentukan lebih lanjut.
Sementara itu, menanggapi adanya wacana tax amnesty untuk meningkatkan penerimaan negara masih dikaji. Yustinus menegaskan bahwa kesuksesan tax amnesty yang lalu menyisakan trauma. “Dari sisi deklarasi memang sukses, namun ketika mau dikejar pada mencari backup. Inilah masalah besar kita yang dikhawatirkan terulang lagi. Masih kita perhitungkan juga apakah cost nya bisa lebih murah dibandingkan kita bayar bunga ke BI. Kalau lebih mahal ya tentu opsi ini tidak kita ambil,” kata Yustinus yang juga Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis.
Sebagai penutup Yustinus menerangkan bahwa banyak negara merespon pandemi Covid-19 dengan langkah-langkah kebijakan extraordinary untuk mencegah krisis kesehatan dan mengantisipasi dampaknya terhadap sektor perekonomian.
“Utang menjadi concern baru pasca-pandemi, maka kebijakan fiskal ke depan harus mampu menjalankan dua tugas yakni optimalisasi untuk pembayaran utang dan relaksasi untuk menopang pertumbuhan. Corak kebijakan fiskal menjadi multi center orchestracy dimana tetap mempertahankan desentralisasi tetapi punya tali kekang yang efektif. Diharapkan pajak bisa menjadi alat advokasi karena memampukan kelompok miskin bisa bangkit sebab basic need nya dipenuhi oleh negara,” ungkapnya.
Ketua CoRRDev, Dr. Umbu Rauta SH., M.Hum. mengatakan kegiatan kuliah umum sengaja didesain oleh Pusat Studi Pembaharuan Regulasi untuk Pembangunan (CoRRDev) UKSW dengan pertimbangan pandemi Covid-19 ini berdampak pada aspek perpajakan, yang pada gilirannya akan dirasakan oleh masyarakat atau badan selaku wajib pajak. “Oleh karenanya dibutuhkan informasi kebijakan dari Pemerintah. Selain itu kuliah umum ini sebagai media diseminasi pengetahuan bagi para civitas akademika, khususnya mahasiswa FEB dan FH yang mempunyai mata kuliah perpajakan dan hukum pajak,” pungkas Umbu. (red)