Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

Oleh Zainal Bintang

Jakarta, BISKOM – Pada hari ulang tahunnya yang ke 75 tanggal 1 Juni 2020, Pancasila masih dirundung duka karena perayaannya di tengah Covid19 terpaksa dilakukan secara daring. Presiden Jokowi sebagai inspektur upacara berada di Istana Bogor, pejabat terkait berada di tempat tempat masing – masing. Sebagaimana diketahui melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 24 Tahun 2016,  hari lahir Pancasila ditetapkan 1 Juni sekaligus hari libur nasional.

Berdasarkan berbagai kajian pakar terkait maupun literasi yang beredar di ruang publik  Pancasila masih saja dinarasikan sedang menderita distorsi dan menimbulkan disharmonisasi di dalam implementasinya di lapangan.  Jika dianalogikan lebih ekstrem penyakit yang menimpa Pancasila ibarat tubuh manusia sedang menderita stanting alias gagal mengalami pertumbuhan yang normal. Virus penyakit itu bersumber dari amandemen UUD 45 sebanyak empat kali (1999, 2000, 2001 dan 2002) di era reformasi.

Paling tidak ada dua disharmonisasi yang laten paska amandemen UUD 1945 yang melanda  sektor kehidupan berbangsa dan bernegara di era reformasi. Yang pertama menyangkut tata cara di dalam pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diatur di dalam Pasal 6A UUD 1945. Yang kedua menyangkut implementansi ekonomi kerakyatan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Pertama, pasal 6A (1) sebagai hasil amandemen UUD 1945 yang ketiga (2001)  melahirkan ketentuan yang berbunyi : Presiden dan Wakil Presiden “dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.  Frasa  tersebut dengan telak meniadakan hakekat sila keempat Pancasila yang berbunyi : “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan di dalam permusyawaratan – perwakilan”.

Yang kedua, di sektor ekonomi mengenai pengelolaan kekayaan negara, pada UUD 1945 Pasal 33  jelas tertulis : perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” dan seterusnya. Faktanya ekonomi nasional tergelincir menganut faham neo-lib yang mendewakan pasar bebas. Penumpukan kekayaaan berada di tangan satu kelompok kecil pengusaha kapitalis. Disebut konglomerat. Konglomerasi kapitalis yang bersekutu dengan tokoh politik berpengaruh melahirkan model kekuasaan ekonomi kombinasi politik  yang disebut oligarkis.

Professor Sri Edi Swasono, yang dikenal sebagai salah seorang ekonom kerakyatan dari Universitas Indonesia, menegaskan, “dari segi imperativisme suatu UUD  maka “menguasai” haruslah disertai dengan “memiliki”. Sebab, jika tidak disertai penegasan memiliki, maka penguasaan negara tidak akan berjalan efektif, apalagi dalam tata-main era globalisasi saat ini. “Mengutamakan kemakmuran masyarakat banyak, bukan kemakmuran orang seorang”, kata menantu Moh. Hatta Wapres pertama Indonesia pada Kongres Pancasila IV di Yogya (31 Mei – 01 Juni 2012)

Terkait perluasan pengertian “pemilihan langsung  oleh  rakyat”  dalam praktiknya telah membuka wahana baru : merebaknya budaya politik uang. Menarik mengutip isi makalah Prof Mahfud MD pada acara Kongres Pancasila IV di Yogya 31 Mei – 01 Juni 2012 yang menyatakan, tampaknya banyak dari kita yang agak sesat karena sekarang ini dalam penentuan leader atau pimpinan seperti bupati, gubernur atau apapun. Ukurannya hanya hasil survey yang menekankan pada populeritas, akseptabilitas dan elektabilitas.

Jika hasil survey tinggi dalam tiga aspek itu barulah dia dimajukan sebagai pimpinan. Padahal survey seperti itu tidak mendidik masyarakat karena sering melupakan moralitas dan integritas. “Pimpinan yang kita butuhkan bukan hanya populer, aksetabel dan elektabel melainkan juga harus visioner, bermoral dan berintegritas sehingga mampu menjalankan kepemimpinnya sesuai dengan nilai – nilai Pancasila”, kata mantan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) itu  yang sekarang Menko Polhukam.  

Pada Kongres III Pancasila yang diselenggarakan di aula di Universitas Airlangga, Surabaya (31 Mei – 1 Juni 2011), menghasilkan pernyataan,  bahwa saat ini kondisi negara sedang gawat karena terjadi pembiaran terhadap Pancasila. Kegawatan tersebut dipicu oleh perubahan sistem norma setelah terjadi amandemen UUD 1945 sehingga di dalamnya hanya tersisa 25 pasal yang asli, sedangkan 174 pasal lain merupakan pasal baru. Hal itu menimbulkan kekacauan sistem kelembagaan, sehingga lembaga-lembaga tidak berfungsi secara optimal, terjadi malfungsi dan disfungsi serta dalam menjalankan tugasnya terjadi tumpang tindih dan penelantaran tugas.

Ada beberapa undang – undang yang terkait dengan pengelolaan ekonomi telah “diselundupkan” duet pembentuk undang – undang  (eksekutif dan legislatif) yang berhasil dimentahkan oleh MK.  Misalnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dan UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Koperasi) serta pembatalan oleh  (MK) aturan minimal 5 ribu hektare yang tercantum dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), ini untuk menyebut beberapa contoh.

Dengan demikian MK telah memainkan peran penting melindungi marwah Pancasila terkait frasa keadilan sosial di dalam pengelolaan kekayaan bumi dan alam beserta seluruh isinya.  Memotong penyimpangan yang secara sadar dilakukan oleh eksekutif dan legislatif yang  motifnya jelas memberikan ruang gerak yang besar kepada pengusaha kuat untuk mengangkangi SDA (Sumber Daya Alam) yang sejatinya untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat, yang  diubah menjadi untuk sebesar – besarnya kemakmuran segelintir pemilik modal.

Hal mana menandai kebenaran suara kritis yang menyebut  pembangunan era reformasi tidak menyingkirkan kemiskinan tapi menggusur orang  miskin ke pinggir. Menjadi buruh kasar dan menjadi penonton di tanah air sendiri atau terlempar menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri.

Anomali realitas itu sampai detik ini tetap menjadi perdebatan diantara para pakar hukum dan pakar politik dari kongres ke kongres Pancasila. Ada yang melihat itu sebagai “kecelakaan” yang disengaja yang melekat menjadi “cacat bawaan” reformasi. Namun ada juga pandangan menafsirkan bahwa tidak ada disharmoniasasiantara pasal – pasal itu dengan Pancasila. Celakanya yang berpendapat seperti yang kedua ini adalah suara eksekutif dan legislatif yang sejatinya adalah tim pembentuk undang – undang. Masuk akal jika anomali itu masih terpelihara sampai sekarang yang dipelesetkan menjadi “pagar makan tanaman”.

Masyarakat luas mempertanyakan apakah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yang dibentuk  berdasarkan Perpres  (Peraturan Presiden) Nomor 7 Tahun 2018 mampu mengawal dan  meluruskan  peran substansial Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dapat terwujud?

Kini, gebrakan sejumlah tokoh bangsa yang ada di dalam BPIP dinantikan untuk mengembalikan marwah Pancasila yang hilang, yang diasumsikan oleh masyarkat luas telah dibajak oleh kekuasaan  yang terkesan tidak memuliakan moralitas lantaran terjebak mendewakan materi. (Hoky)