Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

Jakarta, BISKOM – Keberadaan  RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) menuai penolakan keras masyarakat. Dianggap memeras Pancasila dan melecehkannya. Mula – mula disederhanakan menjadi Trisila yaitu, sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhanan yang berkebudayaan. Lalu dirampingkan sebagai Ekasila yaitu gotong royong.  Kontan saja  hal itu memantik reaksi keras dari dan terutama  kalangan Islam yang  mengganggap konsep Ekasila menihilkan frasa Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi sukma religiusitas  dari Pancasila.

Reaksi keras bermunculan lewat Maklumat Dewan Pimpinan MUI (Majelis Ulama Indonesia)  Pusat bersama Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia, GP Anshor, Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri, PP Muhammadiyah dan PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Beserta sejumlah komentar pakar hukum tata negara berhamburan mengemukakan sisi buruknya.

Berdasarkan berita di media mainstream dan online, RUU HIP didukung sepenuhnya  tujuh dari sembilan fraksi di DPR sebelum disahkan sebagai inisiatif  Dewan dalam Rapat Paripurna pada 12 Mei 2020. Tercatat pada dokumen risalah rapat Baleg (Badan Legislatif) DPR RI dari situs resmi dpr.go.id, Rabu (22/04). Fraksi Partai Demokrat tak ikut dalam pembahasan. Fraksi PKS setuju dengan catatan.

Yang memberi persetujuan adalah F-PDI Perjuangan, F-PG, F-PGerindra, F-PNasdem, F-PKB, F-PAN, dan F-PPP menerima hasil kerja Panja dan menyetujui RUU itu diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  

Gagasan RUU HIP menimbulkan keresahan. Terpantul lewat pernyataan keras ormas Islam dan Purnawirawan. Merefleksikan kecemasan masyarakat yang menganggap itu adalah sebuah upaya terstruktur, sistimatis dan masif  yang beraroma penyusupan faham komunisme untuk menggergaji Pancasila. Tanpa menempatkan Tap MPRS  No.XXV/1966 sebagai konsideran,  menggumpalkan kecurigaan yang mendorong  konsolidasi nasional kekuatan Pancasila. Serta merta menempatkan PDIP dan Megawati sebagai public enemy (musuh masyarakat).

Pemerintah kelabakan. Langkah peredaman gelombang ketegangan politik yang meninggi di era pandemi dilakukan pemerintah Melalui Menko Polhukam Mahfud MD yang mengumumkan menunda pembahasan. Presiden Jokowi memperkuatnya dengan menegaskan,  bahwa pemerintah sama sekali tidak ikut campur terkait RUU HIP.  “100 persen adalah inisiatif dari DPR”, ujarnya saat menerima sejumlah purnawirawan TNI dan Polri di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (19/06) seperti tertulis dalam  rilis Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.

Baca :  Mobile-8 Dukung Pilpres 2009

Apa yang terjadi di panggung politik Indonesia hari ini?  Benturan keras tak terhindarkan antara wakil rakyat formal di Senayan berhadapan  wakil suara rakyat di luar parlemen Senayan, disebabkan adanya upaya pembelokan jalannya sejarah. Sudah banyak diulas di berbagai forum dan multi media kronologi proses awal lahirnya Pancasila sampai final menjadi konsesus nasional pada 18 Agustus 1945. Sulit membayangkan setelahnya, bagaimana hubungan antara Megawati sebagai Ketua Umum PDIP dengan Jokowi sebagai kader yang secara telak mengatakan pemerintah menunda pembahasannya. Sama sulitnya  membayangkan bagaimana hubungan Jokowi dengan parpol koalisi pemerintah yang mendukungnya memenangkan kursi presiden priode kedua?

Sejak terjadi penolakan terbuka terhadap RUU HIP itu,  posisi PDIP boleh dikata “babak belur”  dihajar kalangan yang  kurang senang dengan ulah PDIP. Megawati sebagai simbol kebesaran PDIP melorot menjadi pelengkap penderita yang dibully habis dari segala penjuru. Sesuatu yang dipastikan, hal seburuk ini tidak pernah diduga olehnya. Perlu mengetahui apa yang melatar belakangi sikap Megawati nekat menabrak tembok tebal. Diujung kekuasaan Orba (Orde Baru) presiden Soeharto, sebagai anak bawang dunia politik Megawati terangkat ke atas panggung menjadi ikon perlawanan ketidak adilan setelah  menjadi korban tindakan represief peristiwa penyerbuan kantor DPP PDIP (1996). Berbekal modal luka sejarah itulah kiprah Megawati dan PDIPnya  makin kokoh di era reformasi sebagai fase pembaharuan sstem politik setelah berada selama 32 tahun dibawah  cengkeraman represif Orba.

Baca :  Kemendikbudristek Pimpin Pertemuan Regional Kedua ASEAN Bahas Transformasi Digital Sistem Pendidikan di ASEAN

Mengklaim diri dan partainya sebagai magnitude utama reformasi, Megawati yang mengklaim diri sebagai penerus ajaran Bung Karno agaknya terus “memelihara” ideologi Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis) warisan ayahnya di bawah selimut perjuangan PDIP. Ajaran Bung Karno diberinya pemahaman sebagai elemen integral  kekuatan politik Indonesia yang mampu merangkum faham  keagamaan, kebangsaan dan sosialis. Menjadi obsesinya dan menunggu waktu untuk mendeklarasikannya menjadi haluan negara.

Pada Pemilu pertama di era refomasi (1999)  PDIP keluar sebagai pemenang tapi yang menjadi presiden bukan Megawati. Sementara itu dari pemilu ke pemilu perolehan suara PDIP tidak pernah jeblok. Pada Pilpres 2014lah akhirnya membuka pintu lebar bagi PDIP menjadi orang nomor satu Indonesia. Tapi, faktanya yang menjadi presiden bukan Megawati. Bukan juga Puan Maharani  atau bukan dari trah Bung Karno. Barangkali ini yang dapat menjelaskan mengapa Megawati harus berulang kali menyebut Jokowi adalah petugas partai sebagai ungkapan kekecewaan yang manusiawi sifatnya.

Banyak yang menilai Megawati  sedang berpacu dengan waktu untuk menancapkan ajaran Bung Karno lewat kekuasaan politik sebagai pemenang pemilu dan pemimpin pemerintahan. Namun waktunya banyak yang hilang. Sejak menjadi ikon pada Pemilu 1999, dia  tidak pernah menggenggam kekuasaan puncak politik. Megawati pun sangat menyadari pada priode pertama Jokowi (2014 – 2019) ,- setelah sepuluh tahun “berpuasa” kekuasaan, waktunya banyak  habis terpakai untuk memastikan rakyat Indonesia mau menerima Jokowi sebagai presiden yang mumpuni. Serta memastikan minimnya penolakan diinternal partai yang kecewa karena luputnya trah Bung Karno.

Pada periode kedua Jokowi (2019 – 20124) inipun, waktunya juga tidak begitu banyak.  Masih sibuk mengeleminasi  keterbelahan masyarakat yang kadung menjadi dua kubu. Hal antara lain dijawab dengan mengajak  Prabowo Subianto masuk dalam kabinet. Dan tiba – tiba terpotong oleh badai wabah korona yang mengguncang konstelasai politik, sosial, ekonomi dan bahkan tatanan kehidupan beragama.

Baca :  Polda Metro Jaya Tambah 14 Titik Pengendalian Mobilitas

Agaknya yang mendorong lahirnya keberanian Megawati berspekulasi mengajukan RUUHIP  di tengah gonjang ganjing pandemi ini, karena meyakini ajegnya konsistensi partai – partai koalisi sebagai teman seiring akan berpegang pada komitmen bersama yang dibangun sebelum Pemilu 2019. Jejak kekonsistenan itu dilihatnya melalui parameter subjektif, dengan mengacu kepada bukti – bukti empiris pada kemulusan beberapa RUU yang berhasil disahkan oleh fraksi koalisi pemerintah, walaupun banyak dikecam karena dinilai harus  menabrak aspirasi masyarakat. Sebutlah Revisi UU KPK, UU Covid 19 dan UU Minerba. Ini pulalah yang menambah penjelasan, mengapa Megawati mengambil keputusan kilat memerintahkan fraksinya di Senayan mengagendakan pembahasan RUU HIP.

Tindakan nekat itu berujung prahara. Ibarat membangunkan macan yang sedang tidur dalam semak-semak politik. Makanya, dengan rasa prihatin harus dikatakan, di ruang publik hari ini dengan mudah ditemukan berbagai teriakan dan desakan untuk menangkap Megawati dan membubarkan PDIP. Pada saat yang sama mengemuka pula tuntutan menghidupkan kembali Piagam Jakarta untuk mengganti Pancasila sebagai counter issue. Konsolidasi kekuatan nasional yang berbasis umat Islam di akar rumput tak terhindarkan. Musuh – musuh agamapun kembali diabsen satu persatu setiap hari bersama daftar dosanya.

Gemuruh gerakan protes oleh kekuatan Pancasila bergema di seluruh tanah air saat ini, mengingatkan  kejadian pada Pilkada 2017 di DKI. Jutaan  umat Islam  sholat di Monas sebagai pernyataan  kesetiaan kepada Pancasila yang merupakan  bagian yang substansial  dari aqidah. Frasa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah adalah elemen keilahian yang memancarkan cahaya religiusitas berbangsa dan bernegara. Tidak bisa ditawar – tawar apalagi mau dibawa lari ke lorong gelap atas nama demokrasi.

Di negeri ini tidak ada tempat bagi mereka yang mencoba – coba memeras Pancasila. Pancasila adalah jalan tengah kompromi berbudaya yang elegan kekuatan kebangsaan untuk mewujudkan sebuah negara dan masyarakat yang religius, terhormat dan berdaulat. Indonesia memang bukan negara agama. Tapi Indonesia adalah negara yang menghormati keberagaman agama  yang berlabuh pada muara yang  sama : Ketuhanan Yang Maha Esa, Bukan pada yang lain!

Penulis: Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah social budaya. (Hoky)