Semarang, BISKOM – Mengukur profesionalitas penjual nasi goreng sangatlah mudah, yaitu dideteksi saja nasi yang digorengnya itu hasil menanak saat ini (hari ini) ataukah nasi kemarin. Kalau yang digorengnya itu nasi kemarin, ia termasuk bukan pedagang/penjual nasi goreng profesional, sekali pun mungkin tetap terasa enak. Mengapa? Pertama, nasi kemarin tersisa membuktikan bahwa ia tidak/belum dapat memperhitungkan secara cermat berapa banyak kebutuhan nasi untuk setiap kali penjualannya. Kedua, -ini yang banyak terjadi- , olahan nasi gorengnya kurang atau bahkan tidak enak, dan karena itu pembeli bukannya semakin bertambah melainkan justru semakin berkurang. Dan ketiga, penjual itu kurang menghargai calon pembelinya, dianggapnya pembeli tidak tahu. Nasi kemarin, tetaplah nasi basi, dan digoreng seenak apa pun akan tetap terasa nuansa kebasiannya.
Baru-baru ini ada putusan MA mengabulkan uji materiil Pasal 3 ayat 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon terpilih dalam Pemilihan Umum). Intinya, MA mengabulkan permohonan itu, dan lalu putusan itu dikaitkan dengan keabsahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2019-2024. Tegasnya, rada-rada hebohlah atas putusan MA itu, putusan yang sudah diketok palu oleh majelis hakim pada 28 Oktober 2019, dan baru di upload di Web MA 3 Juli 2020. Digorenglah “nasi kemarin” itu dengan bumbu komplit.
Menurut orang hukum, putusan itu bisa bersifat prospektif, bisa juga bersifat retroaktif. Maksudnya, putusan itu bersifat prospektif kalau berlaku ke depan setelah putusan itu diketok; tetapi bisa juga bersifat retroaktif jika berlaku surut. Adapun putusan MA terkait PKPU tadi, sifatnya prospektif, karena itu tidak memengaruhi apa saja yang telah diputuskan oleh KPU terkait hasil Pilpres kemarin.
Pertanyaannya, mengapa masih saja ada yang menggorengnya? Jawaban utamanya, ialah karena penggoreng itu tidak profesional, namun tetap menyajikan gorengan nasi kemarinnya ke khalayak yang mau menyantapnya. Seperti di atas telah dikatakan, penggoreng itu pasti beranggapan bahwa calon penyantap tidak tahu bahwa yang digoreng itu nasi kemarin. Penggoreng ini bukan lagi iseng-iseng berhadiah, tetapi pasti secara sengaja melakukannya agar memengaruhi citarasa umum tentang hasil Pilpres 2019.
Putusannya
Dari Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 44 P/HUM/2019, sepanjang 58 halaman, kita dapat membaca 6 (enam) MENGADILI sebagaimana tercantum di halaman 57, yang berintikan:
- Mengabulkan permohonan pengujian hak uji materiil para pemohon, untuk sebagian
- Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU RI No 5 Tahun 2019, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
- Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
- Menyatakan Permohonan Para Pemohon untuk selebihnya tidak diterima
- Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara
- Menghukum Termohon membayar biaya perkara sejumlah Rp 1.000.000,00
Ajakan dan ajaran moral yang mau disampaikan ialah, mari kita hati-hati terhadap masakan nasi goreng yang ternyata nasi kemarin. Enam butir di atas sangat menegaskan bahwa proses hukum sudah sangat transparan dan tidak ada pelanggaran ketentuan apa pun terkait Pilpres 2019, Butir nomor 3 harus dibaca senafas dengan butir nomor 4.
Di samping harus hati-hati atas tawaran gorengan nasi kemarin, juga jangan tergiur oleh berbagai iming-iming bumbu komplit yang ditawarkannya. Ingatlah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak tergoyahkan oleh gorengan apa pun karena sudah final dan binding. Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 mungkin dapat berpengaruh ke penyelenggaraan pemilu yang akan datang, tetapi bukan ke penyelenggaraan dan hasil Pemilu yang lalu; sementara pastilah KPU nantinya akan menyesuaikan PKPU barunya sesuai dengan perubahan UU yang diacunya. Artinya, PKPU sangat mungkin ke depan direvisi sejalan dengan UU yang diacunya yang mungkin mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman.
Penulis: JC Tukiman Taruna Sayoga Ph.D., Akademisi Unika Soegijapranata Semarang (red)