Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

Jakarta, BISKOM – Prediksi bahwa kota akan kehilangan signifikansi seiring dengan : “perubahan pola kerja dari kerja kantoran dan di pabrik yang dialihkan menjadi kerja rumahan”. Kalimat itu pasti bukan dari saya. Tapi ditulis Alvin Toffler dalam bukunya yang terbit 1970 yang berjudul “Future Shock” (Goncangan Masa Depan). Penulis dan visioner asal Amerika Serikat itu dikenal luas dengan karya “Future Shock” dan “The Third Wave” (Gelombang Ketiga). Toffler yang lahir di Los Angeles 4 Oktober 1928 meninggal dunia di Los Angeles 27 Juni 2016. pada usia 87 tahun.

Tidak ada salahnya kita kembali menggeledah apa saja prediksi Toffler yang telah ditulisnya tahun 1970. Nyatanya terbukti hari ini : Lima puluh tahun kemudian. Ketika seluruh dunia diserang wabah virus corona atau Covid 19 awal 2020. Termasuk Indonesia. Presiden Jokowi mengeluarkan keputusan pemerintah pada 31 Maret 2020 yang dikenal dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dilandasi dasar hukum PP (Peraturan Pemerintah) No.21/2020 yang mengharuskan masyarakat : bekerja, beribadah dan belajar dari rumah sampai hari ini.

Buku “Future Shock” telah mengkaji, lima puluh tahun yang lalu, akan ada perubahan sosial besar-besaran beberapa tahun kemudian. Membuat dirinya salah satu futuris disegani di era modern. Toffler secara akurat memprediksi perkembangan ekonomi dan teknologi. Mencakup kloning dan internet pribadi, komputer, serta dampak sosial yang ditimbulkannya. Termasuk keterasingan sosial, kemerosotan keluarga dan meningkatnya kejahatan dan penggunaan narkoba.

Ramalannya juga, tentang pada suatu masa dimana kemajuan teknologi membentuk suatu era yang disebut sebagai pasar online. Telah mewabah menjadi life style. Akan hadir suatu masyarakat yang konsumtif, kini terbukti. Konsumerisme sebagai trend global menjadi benar adanya.

Baca :  Series 9, Notebook Ringan dan Tipis Dari Samsung

Menurut Toffler lima puluh tahun yang lalu : “Di masa depan, orang mungkin akan dibuat menderita bukan oleh tidak adanya pilihan. Tetapi oleh berlimpahnya produk yang dapat dipilih. Mereka mungkin akan berubah menjadi korban dari dilema aneh dari masyarakat super-industri: berlimpahnya pilihan.”

Toffler memikat jutaan orang di seluruh dunia dengan ramalan mendalam tentang segala hal. Mulai dari munculnya internet hingga gelombang baru narkoba dan kejahatan. Future Shock telah terjual jutaan kopi. Diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa. Sampai sekarang masih dicetak. Membahas tentang kemajuan sosial dan teknologi yang cepat akan menyapu masyarakat ke era perubahan baru yang tak kenal lelah.

Kejituan prediksi Toffler membuat tokoh-tokoh dunia meliriknya. Mikhail Gorbachev pemimpin Uni Soviet, Perdana Menteri Cina Zhao Ziyang dan guru bisnis Meksiko Carlos Slim, misalnya. Meminta nasihatnya. Toffler dikenal karena mempopulerkan istilah “informasi yang berlebihan” (information overload). Dengan tepat meramalkan ekonomi berbasis pengetahuan akan melampaui era paska-industri. Mengalihkan fokus dari manufaktur dan tenaga kerja ke informasi dan data. “Orang yang buta huruf pada abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melepaskan, dan belajar kembali,” tulis Toffler.

“Teknologi canggih dan sistem informasi memungkinkan sebagian besar pekerjaan masyarakat dilakukan di rumah melalui pemasangan komputer-telekomunikasi,” ujarnya. Dominasi media interaktif yang tersebar, ruang obrolan online, dan perangkat yang mengingatkan anda tentang “janji anda sendiri”, telah dia perkirakan.

Baca :  JAM-Pidum Menyetujui 7 Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice

Namun demikian, sehebat-hebatnya Toffler, faktanya hari ini, tidak ada satupun antisipasi atau prediksi dari pakar sebuah bangsa, termasuk pakar futurulogi terkemuka dunia yang pernah memperkirakan pada suatu ketika akan datang suatu masa gelap di tengah gemerlap kemajuan teknolgi,Teror Pandemi Covid 19 tahun 2020 yang melululantakkan kesombongan seluruh dunia!

Bahkan, semua negara, termasuk Indonesia boleh dikata saat ini sedang “kedodoran”, setelah sempat “mabuk kepayang” dengan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang sempat hendak dijadikan “dogma” baru dengan kampanye bisa menggantikan “tangan” Tuhan dalam hal cipta mencipta di atas dunia. Kemajuan penciptaan peralatan kebutuhan manusia sehari-hari melalui kemajuan teknologi informasi, telah dirumuskan menjadi sebuah ideologi baru. Bahkan “disembah” bagaikan “agama” baru. Tuhan seolah-olah telah “dilumpuhan” oleh teknologi. .

Kita, bangsa Indonesia hari ini, bersama ratusan negara di atas dunia hari ini, sedang dalam cengkeraman teror nyata wabah virus corona yang mematikan. Mematikan siapa saja. Baik yang bergejala maupun yang tidak bergejala. Kemajuan teknologi kesehatan dunia, termasuk Indonesia, ternyata ketinggalan oleh kecepatan mutasi super ekspres kuman tak terlihat itu.

Jutaan pelajar yang tidak memiliki handphone atau laptop untuk belajar di rumah. Jaringan internet sangat minim dibanding luasnya negara pulau ini. Tragis, masa depan generasi muda usia sekolah mencemaskan. Terancam putus sekolah. Terancam virus kebodohan. Mereka terpelanting tak tertangani minimnya kemampuan negara yang sangat minimal dalam hal: jaringan internet itu!

KPAI (Komisi Prlindungan Anak dan Ibu) menyebutkan pembelajaran secara online atau PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) yang diberlakukan sejak pertengahan Maret 2020 memunculkan fakta, besarnya kesenjangan pendidikan antara kelompok yang mampu dan tidak mampu. Murid sekolah dari kalangan orang tua tidak mampu dan tinggal di daerah yang jauh dari kota terpaksa mencari sinyal di kuburan, jaringan internet terganggu, naik turun gunung cari sinyal. Bahkan banyak yang tidak punya ponsel untuk belajar.

Baca :  Mau Tahu 5 Rahasia Film Laris Ala Anggy Umbara & Ody Mulya Hidayat ?

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan, Fidiansjah. dalam diskusi dari BNPB, Jakarta, Senin (20/7/2020). “Selama proses belajar masa PSBB ini hanya 68 persen yang punya akses terhadap jaringan. Berarti 31 persen tidak mendapatkan sarana tersebut. Berdasarkan hasil survey 31 persen dari 79,5 juta anak di Indonesia tidak memiliki akses atau sarana belajar di rumah.

Tapi, apa hendak dikata. Bukan salah bunda mengandung. Hari ini pandemi berkata lain. Angka kematian diumumkan tiap hari di televisi. Seperti mengumumkan harga indeks pasar saham. Manusia terkurung kebesaran Sang Pencipta. Manusia mengkerut di dalam kungkungan ketidak mampuan. Kesombongannya, meleleh. Kebesaran kekuasaannya (politik) berbalik menjadi musuh dan menghinanya didalam ketidakberdayaan oleh “maut hitam” itu.

Inilah “Future Shock” wajah baru. Yang hadir menegur manusia yang telah terlalu jauh membanggakan prestasi teknologi. Membuatnya nyaris menjauh dari Sang Pencipta. Sebuah pesan yang dikirim oleh teman di sebuah grup WhatsApp, menulis begini: Apakah ini yang disebut alam telah menyita dunia ini dari tangan “monyet-monyet” yang bernama teknologi. Dan mengembalikan ke jalannya yang asali? (Hoky)