Oleh Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.
Jakarta, BISKOM – Artijo! – Nama panggilan yang begitu pendek itu menyimpan cerita panjang tentang kekuatan moralitas dan konsistensi sebuah pribadi yang mempesona. Meskipun dibalut oleh tubuh kurus yang terlihat seakan “kurang darah”, ternyata adalah sosok yang pantang menyerah kepada hal-hal duniawi : yang hanya berjarak satu senti dengan kehinaan jika iman dilemahkan.
Kepergian pendekar hukum dengan nama lengkap Artidjo Alkostar itu, yang hidupnya sederhana dan bersahaja, membangkitkan kesedihan dan rasa kehilangan yang dalam pada tubuh bangsa ini. Artijo adalah simbol sosok pemimpin impian. Mengagumkan lantaran dia tidak pernah kagum kepada apa yang bernama materi. Berbagai pernyataan duka mendalam bertebaran di media melepas Artijo ke peristirahatan terakhirnya.
Hamid Basyaib, aktivis dan mantan wartawan itu berkomentar tentang almarhum. Artikelnya yang berjudul “Sebuah Kitab Keadilan” beredar di media sosial tepat hari wafatnya Artijo, menulis, “sebagai pengacara hingga akhir 1990an, berkantor di bangunan semi-permanen berdinding gedek di pinggiran Jogja, ia tak pernah merundingkan biaya jasa kepada kliennya. Suatu kali seorang klien yang perkaranya menang, kebingungan. Ia merasa harus berterima kasih atas layanan hukum Artidjo. Ia berasal dari Madura, dan tinggal di Kulonprogo. Jika memberi uang, ia kuatir jumlahnya terlalu kecil dan bisa menyinggung perasaan si pengacara. Untuk memberi honor besar, ia tak punya cukup uang. Tiadanya kesepakatan mengenai besaran fee membuatnya repot dan serba salah.
Tapi ia tak mungkin dimakamkan di Kalibata. Ia tak pernah mengurus segala macam syarat administratif dan birokrasi yang memungkinkannya dikuburkan di sana. Ia tetap dia yang dulu: tak pernah menganggap penting segala macam predikat, apalagi status pahlawan bangsa. Dimakamkan di pemakaman UII Yogyakarta, Senin (01/03/21) yang berada satu kompleks dengan kampus terpadu UII, Jalan Kaliurang KM 14,5 Ngemplak, Sleman, DIY. Sebelumnya jenazah disemayamkan di Masjid Ulil Albab UII sebelum dikebumikan. Presiden Jokowi datang melayat ke rumah duka didampingi Menteri Sekretaris Negara, Pratikno. Keduanya turut menyalatkan jenazah almarhum setibanya di masjid Ulil Albab UII.
Masih kata Hamid Basyaib, sikap tak mau meminta ia ulangi ketika ia diangkat menjadi hakim agung pada awal 2000. Kami mengunjungi rumah kontrakannya di sebuah gang sempit di Kwitang disediakan oleh beberapa mahasiswanya dan saya terkejut karena kami harus duduk di lantai beralaskan tikar. Ia minta maaf karena belum sempat membeli kursi. Ia pergi-pulang ke kantor Mahkamah Agung dengan menumpang bajaj.
Ketika saya rasa saatnya tepat, saya mulai “memprotes”. Tidak pantas seorang hakim agung tinggal di gang sempit dan naik bajaj, saya bilang. “Saya dengar ada jatah rumah dan mobil dari kantor,” katanya dengan datar. “Tapi saya tidak mau menghadap pejabat yang mengurusnya untuk meminta-minta. Kalau memang jatah itu ada, berikan saja. Tanpa perlu saya minta.” Si pejabat rupanya sengaja menciptakan situasi yang mengharuskannya menghadap dan memohon; membuat Artidjo, sebagai “anak baru” yang wajib tahu diri dan harus tahu siapa yang berkuasa di instansi itu, berada dalam posisi “di bawah”. Pejabat itu, saya masih ingat namanya karena Artidjo menyebutnya, tidak tahu dia sedang berhadapan dengan manusia jenis apa.
Sejumlah media mainstream menyebutnya sebagai “Algojo Para Koruptor”. Angggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu meninggal pada Ahad, 28 Februari 2021. Semasa hidup, bekas hakim agung dikenal sebagai hakim yang garang. Berani memperberat hukuman beberapa politisi pelaku kasus korupsi, seperti Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh. Pengacara kondang OC Kaligis termasuk yang kena “getah” ketegasan Artijo. Juga dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto, yang terlibat korupsi E-KTP. Ketika memutus perkara korupsi Bank Bali dengan terdakwa Joko Tjandra, Juni 2001, berbeda dengan dua koleganya, Artidjo Alkostar menolak membebaskan Joko. Ia berpendapat Joko harus dihukum 20 tahun penjara. Artijo adalah “Hakim Pelawan Arus”. Demikian media memberinya predikat.
Menyebut nama Artijo otomatis memantik dua hal yang menyentuh emosi masyarakat. Pertama, meluapnya kerinduan akan kehadiran pemimpin yang amanah. Yang jauh dari perbuatan korupsi. Berjarak dari perilaku tercela. Yang konsisten memberi contoh tentang bagaimana bersikap yang tegas. Mempraktikkan sikap jujur dan mewariskan karakter “satunya kata dan perbuatan”. Yang kedua, keharuman namanya meluapkan kebencian dan kekecewaan masyarakat atas maraknya perbuatan korupsi yang diperagakan tanpa rasa malu oleh sejumlah pejabat publik yang berpredikat gagah: politisi!
Kedua aliran alur emosi masyarakat itu mempertebal dorongan kerinduan kepada sosok pemimpin sederhana yang “kebal peluru” karena berani melawan godaan materi yang berlimpah dan berkelindan dengan kekuasaan yang ada dalam genggaman. Nama Bung Hatta, Jenderal Polisi Hoegeng, Jenderal M. Jusuf, Baharuddin Lopa, Bismar Siregar dan yang lain-lain sejenis, bergantian muncul dalam layar besar kehidupan publik. Itu untuk menyebut beberapa sosok tokoh bangsa yang memiliki perwatakan tangguh. Yang berani menghina kehadiran “racun dilara” yang bernama materi di dalam kehidupan mereka.
Rakyat sekarang merindukan sosok pemimpin yang jujur, amanah, sederhana dan bermoral tinggi. Sebagaimana pernah saya tulis: Dimana “Rasul” Kami? Mari coba kita simak George Orwell penulis novel legendaris “1984″ (Ninteen Eighty Four) yang terbit 1949, yang mengatakan, “bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati”. Masih percaya politisi? Tolong baca ini, “Politisi juga tidak punya waktu luang, karena mereka selalu mengincar sesuatu di luar kehidupan politik itu sendiri, kekuasaan dan kemuliaan, atau kebahagiaan”, ucap filsuf Yunani Aristoteles (384 SM – 322 SM). Murid Plato itu juga guru dari Alexander Agung.
Hari ini, harus dikatakan, sosok panutan dan kebanggaan negeri dan pemandu kebajikan makin berkurang. Mereka terpinggirkan oleh ideologi modernisasi yang menafikan moralitas dan menggantinya dengan materialitas. Tertimbun oleh budaya politik yang mendewakan mahar. Namun demkian, rakyat sangat merindukan tampilnya kembali sosok-sosok dengan karakter kuat: berani menjadikan dirinya sebagai tumpukan batu karang, untuk membentengi dan menghadang erosi korupsi yang menerpa bagaikan gulungan gelombang laut memecah pantai.
Sederetan tokoh mantan petinggi negeri ini, yang disebutkan di atas, terkenal karena sederhana. Meninggalkan warisan nama yang harum senantiasa membubung ke udara yang tinggi. Pada saat yang sama keharuman nama itu mencampakkan ke tumpukan sampah ke tempat yang paling rendah dan hina, orang-orang yang malang, para pejabat korup itu. Yang rela kehilangan kehormatan. Rela menukarnya demi membangun sebuah kerajaan materi yang bersifat sesaat dan berlumur kenistaan.
Seperti biasa, seorang teman mengirim WhatsApp dini hari mengutip sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer: “Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini, akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.”. Pesan WhatsApp ternyata ada dua. Satu lagi berbunyi begini: “Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya”, itu kata Charles de Gaulle, presiden Perancis (1959 – 1969). Selamat jalan Pak Artijo! Keharuman namamu adalah vaksin moralitas untuk menciptakan imunitas iman di dalam tubuh dan jiwa pemimpin bangsa. (Hoky)