Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

Jakarta, BISKOM – Kepolisian Republik Indonesia menginisiasi pembentukan polisi yang bukan polisi sebagaimana yang senyata-nyatanya sehari-hari yang kita jumpai. Rabu, 24 Februari 2021, Polri meluncurkan program ”Virtual Police”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, virtual memiliki tiga arti atau makna. Pertama disebut secara nyata. Kedua adalah mirip atau sangat mirip dengan sesuatu yang dijelaskan. Sederhananya, virtual adalah mirip dengan sesuatu yang dijelaskan melalui perantara internet.

Jika berpegang kepada pengertian “mirip dengan sesuatu”, maka sederhananya “Virtual Police” dapat dianalogikan dengan “Polisi Buatan” atau “Polisi Tiruan”. Virtual adalah segala komunikasi yang dilakukan secara maya untuk terhubung dengan lawan bicara. Disebutkan tugas “Polisi Tiruan” itu adalah langkah preventif memotong penggunaan pasal karet UU ITE. Bertujuan menahan laju korban yang berjatuhan akibat pengaduan sepihak kepada polisi. Juru bicara Polri mengatakan, diharapkan hal itu sebagai bagian dari upaya menjaga Kamtibmas di dunia digital agar tetap bersih, sehat dan produktif.

Kebijakan Polri membentuk “Polisi Tiruan” dapat dianalogikan sebagai upaya negara menata dan melindungi kehidupan masyarakat dari penyimpangan peraturan yang dapat berakibat kasus hukum. Intensitas tingginya kepedulian negara kepada warga masyarakat juga dilakukan pemerintah Jepang, dengan menginisiasi terbentuknya “Kementerian Kesepian” (Ministry of Loneliness). Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, menunjuk Tetsushi Sakamoto untuk menjabat sebagai Menteri Kesepian. Penunjukan itu dilakukan pada Jumat, 12 Februari 2021.

Pemerintah Jepang  menunjukkan keseriusan di dalam melindungi warganya dari dampak pandemi Covid-19. Meskipun isolasi mandiri diberlakukan, angka kematian semakin meningkat. Bukan karena Covid-19. Akan tetapi akibat bunuh diri. Banyak warga Jepang diduga merasa kesepian, stres, depresi hingga berujung nekat mengakhiri hidupnya. Antara lain disebabkan isolasi yang sangat panjang.

Mantan reporter surat kabar Tetsushi  Sakamoto yang terpilih. Ia adalah politisi dan anggota “House of Representatives in the Diet” (Badan Legislatif Nasional), mewakili Partai Demokrat Liberal. Alumni Universitas Chuo kelahiran 1950. “Saya ingin anda mengendalikan masalah itu dan membuat strategi yang komprehensif,” kata Suga kepada Sakamoto, sebagaimana diberitakan Nikkei Asia, Sabtu 20 Februari 2021.

Baca :  Multipolar dan Telkom University Gelar Kompetisi Aplikasi Tingkat SMK

Penggunaan alat bantu yang “extraordinary” oleh Polri di Indonesia dan yang diperbuat juga pemerintah Jepang sendiri, pernah diimajinasikan sastrawan Inggris, George Orwell, di dalam novelnya yang berjudul “Nineteen Eighty-Four”, disingkat “1984”. Diterbitkan 1949. Orwell mencoba memprediksi kehidupan dan akibat yang ditimbulkan kemajuan teknologi 35 tahun ke depan: pada tahun 1984. Tokoh utamanya Winston Smith. Ia menjadi anggota partai Sosing yang berkuasa di negara Oceania (Britania Raya). Winston adalah pengabdi setia yang sangat taat kepada sang pengendali partai bernama Bung Besar (Big Brother). Ia bekerja di “Kementerian Kebenaran” (Ministry of Truth). Khusus bagian berita dan propaganda yang bertujuan untuk membentuk opini dan cara berpikir masyarakat yang sesuai dengan visi partai.

Winston dengan suka cita melakukan tugas-tugasnya setiap hari. Kemudian ia menyadari, akibat kerajinannya itu, masyarakat tidak mengetahui lagi bagaimana kehidupan mereka sebenarnya berjalan. Hidup  berputar begitu saja dari masa lalu menuju masa sekarang. Sejarah tidak mereka ketahui lagi dengan jelas. Itu memang target utama partai: membolak-balik realitas dengan mengubah dan membentuk kebenaran sesuai dengan kehendak partai. Dunia dalam  novel “1984” sangat kejam, penuh pertentangan, konflik akibat peperangan yang telah menjadi kebiasaan tanpa henti, membuat dunia dalam kegelapan panjang.

Pada saat yang sama kebebasan Winston yang ditemukannya dalam kenikmatan menulis dan mendiskusikannya dengan sang pacar, Julia tidak berlangsung lama. Harapan Winston tentang dunia yang damai, bebas, tenang tanpa intervensi sistem atau struktur kekuasaan lainnya nampaknya tidak pernah terwujud. Kebahagiaannya dengan Julia dan kebebasan berpikirnya terendus oleh “Polisi-Pikiran” (Thought-Police) yang dibentuk khusus, sebagai penindak lanjut segala bentuk isi kebijakan dan garis pikiran yang telah ditetapkan oleh Bung Besar. Celakanya, partai menuduh Winston dan sang pacar  telah melakukan kejahatan seks dan kejahatan pikiran. Mereka diciduk saat sedang bercinta. Winston dan Julia dikriminalisasi. Dipidana: melakukan kejahatan seksual.

Baca :  Ketua MA Tunjuk Andi Samsan Nganro Jubir Baru, Dan Sesalkan Berita Yang Tidak Update

Dunia Winston berputar-putar tak menentu. Realitas menjadi kabur. Masyarakat tidak mengetahui lagi mana yang benar mana yang salah. Mana yang nyata mana yang bohong. Poster “Bung Besar Sedang Mengawasi Saudara” ada di mana-mana. Seolah-olah mengawasi gerak-gerik setiap orang. Tersebar alat Teleskrin  yang sengaja dipasang di banyak tempat. Tugasnya selalu memberitakan; tentang kemenangan pasukan militer partai; tentang kestabilan ekonomi; dan tentang taraf hidup masyarakat yang semakin membaik. Namun pada kenyataannya, sekedar untuk menemukan barang seperti pisau cukur saja, Winston harus membohongi beberapa orang untuk menyimpan stok pisau cukur: pertanda langkanya barang tersebut.

Alur novel satiris yang ditulis Owell pada 1949  terasa ada pantulan kondisi sosial politik Indonesia hari ini: ada getaran  keresahan masyarakat secara nasional. Apatisme menyebar. Kecemasan menjalar. Lembaga survei Indikator Politik, 25 Oktober 2020 merilis hasil penelitian terkait demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Salah satu hasil survei menyebutkan, mayoritas responden saat ini ada ketakutan mengeluarkan pendapat. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, survei ini diawali berdasarkan pertanyaan ”setuju atau tidak warga makin takut menyatakan pendapat?”.

Burhanuddin mengatakan, masyarakat cenderung takut mengeluarkan pendapat saat ini. Hasil survey menunjukkan, ”sangat setuju 21,9 persen”. Yang menyatakan agak “cenderung setuju dengan pernyataan ini 47,7 persen”. Yang “kurang setuju 22,0 persen”. Dan yang “tidak setuju sama sekali 3,6 persen”, katanya dalam rilis survei terbaru bertajuk ”Politik, Demokrasi, dan Pilkada di Era Pandemi” secara daring. Menurut Muhtadi, hasil survei ini menjadi peringatan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan suara masyarakat yang tidak pro, apa pun pendapatnya.

Ini alarm, kata Muhtadi, lagi-lagi kami ingatkan, ada situasi di bawah alam sadar masyarakat mulai takut ngomong. Padahal dalam konteks demokrasi partisipatoris, warga justru harus didorong berbicara apa pun isinya, terlepas berkualitas atau tidak berkualitas. “Apa pun pendapat mereka, pro atau kontra dalam demokrasi harus mendapat tempat yang sama,” tegas  Muhtadi.

Baca :  Kejaksaan Agung Memeriksa 3 Orang Saksi Terkait Perkara Impor Gula,

Sampai hari ini, residu pemilu 2019 di Indonesia masih menyisakan keterbelahan. Perang konten kasar di medsos masih berlanjut. Debat kusir yang kasar di televisi tetap marak. Tidak ada kesembuhan. Hasil Pemilu tidak mampu mengubah apa-apa. Meskipun kabinet sudah diisi menteri representasi tokoh oposisi. Namun kompromi politik yang instan itu nampaknya seperti tidak mampu memadamkan api dalam sekam.

Sikap kritis masyarakat terus bergejolak di bawah permukaan oleh berbagai kebijakan yang kontroversial. Pada saat yang sama korban berjatuhan dalam jeratan perangkap UU ITE,yang diakui presiden Jokowi mengandung banyak pasal karet. Pasal karetnya itulah yang memberi wewenang kepada siapa saja dengan mudahnya menjadi pelapor. Ramai diberitakan,  Kwik Kian Gie dan mantan menteri Susi Pujiastuti pun mendadak takut berpendapat.

Banyak yang cemas dan berdoa semoga “Virtual Police” bukanlah semacam “Polisi Pikiran” yang berganti casing, yang tetap bertugas secara senyap mengekang kebebasan berpendapat, memiliki kekebalan hukum dan kebebasan mengintervensi rongga alat komunikasi yang paling pribadi seseorang, semacam telepon genggam sekalipun. Sasarannya, sekedar pikiran senyap belaka.

Lalu, bagaimana  memastikan percakapan virtual seseorang tidak ditafsir sesuai kepentingan kekuasaan oleh sang “Polisi Tiruan” itu? Di wilayah manakah posisi “Virtual Police” alias “Polisi Tiruan” akan menempatkan diri? Rekan wartawan senior kembali mengirim pesan WhatsApp yang sendu pada dinihari yang dingin karena hujan semalaman: “mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Mengutip bait lagu “Berita Kepada Kawan” karya Ebit.G.Ade  yang ditulis setelah bencana gas beracun di Dataran Tinggi Dieng, Juni 1978. (Hoky)