Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho.

BISKOM, Jakarta – Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya meminta Pemprov DKI Jakarta memberlakukan kembali SIKM non sektor esensial selama masa PPKM Mikro, 22 Juni s.d. 5 Juli 2021. “SIKM ini penting sebagai bagian dari fungsi kontrol terhadap pekerja yang melakukan Work From Home (WFH) agar tidak menjadi Work From Holiday. Pembatasan terhadap pusat perbelanjaan dan hiburan di wilayah Jakarta dikhawatirkan memunculkan potensi para pekerja tersebut justru beralih keluar kota dan bekerja dari tempat liburan mereka,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho kepada media Jumat (25/06/21). Menurut Teguh, cara idealnya adalah instansi atau perusahaan tempat karyawan bekerja yang melakukan pengawasan melekat, namun secara makro, Pemprov DKI dapat membantu kontrol pelaksanaan PPKM dengan dengan memberlakukan SIKM.

SIKM non sektor esensial ini diusulkan untuk diberlakukan hanya kepada masyarakat yang tidak bekerja di sektor-sektor esensial sebagaimana ketentuan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 796 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berbasis Mikro. Untuk pekerja di sektor esensial termasuk pengantar barang kebutuhan pokok dan jasa pengantaran barang dapat dikecualikan dalam ketentuan tersebut dengan berkaca pada pemberlakuan SIKM sebelumnya. Pada ketentuan SIKM sebelumnya, kewajiban pendaftaran pada sektor pengiriman sembako dan barang ditemukan justru menghambat arus pengiriman kebutuhan pokok dan barang.

Pengawasan WFO

Selain pemberlakuan SIKM non esensial, pengawasan dan penindakan terhadap sektor- sektor yang wajib mengurangi aktifitasnya dapat dilakukan dengan melibatkan Dir Binmas Polda Metro Jaya selaku Pembina Bhabinkamtibmas serta tenaga keamanan di perkantoran, pusat perbelanjaan dan pertokoan. Hal ini mengingat jumlah Polisi Pamong Praja (Pol PP) DKI Jakarta yang jumlahnya tidak memadai untuk melakukan pengawasan terhadap kepatuhan perkantoran di seluruh wilayah Jakarta.

Baca :  Kejaksaan Agung Memeriksa 2 Orang Saksi Terkait Perkara Tol Japek

Dir Binmas Polda Metro Jaya dapat meminta bantuan dari tenaga keamanan binaan mereka untuk secara rutin meminta absensi elektronik perkantoran di tempat mereka bekerja dan menjadi dokumen pemantauan oleh pihak Pol PP untuk dilakukan penindakan jika terjadi kelebihan jumlah pekerja yang masuk di perkantoran tersebut. ”Sulit jika pengawasan hanya dilakukan secara kasat mata atau menunggu sampai di perkantoran tersebut terdapat suspect Covid-19 baru Pol PP bertindak,” lanjut Teguh. 

Kompensasi Pembatasan

Hal lain yang disoroti oleh Ombudsman Jakarta Raya terkait pelaksaan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 796 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berbasis Mikro adalah kompensasi bagi warga terdampak dalam bentuk bantuan sosial. “Efektifitas pembatasan mobilitas warga tidak hanya bergantung pada pendekatan koersif berupa pengawasan dan penegakan Perda 2/2020 saja, namun juga kompensasi atas pembatasan tersebut,” kata Teguh.

Pembatasan mobilitas yang rata-rata mencapai 75% di hampir semua sektor termasuk penutupan tempat hiburan dan wisata bagaimanapun akan berdampak pada daya tahan ekonomi kelompok rentan di DKI Jakarta, termasuk masyarakat yang ekonominya menurun drastis akibat dampak pandemi Covid-19.

Baca :  Babak Baru Penerapan AI di Industri Penerbangan Indonesia

Pembatasan mobilitas selama dua minggu akan memberikan beban berat bagi para pelaku ekonomi yang basis pendapatannya harian termasuk sektor informal. Untuk itu, Ombudsman juga meminta Pemprov DKI Jakarta menyiapkan mitigasi bagi kelompok paling rentan secara ekonomi. “Waktunya Pemprov bicara dengan DPRD untuk memastikan ketersediaan anggaran tambahan bantuan sosial afirmatif sebagai kompensasi pelaksanaan PPKM Mikro dengan Penebalan termasuk dengan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional karena PPKM Penebalan Mikro ini merupakan kebijakan pusat. Sekoersif apapun tindak penegakan dilakukan kepada orang yang basis ekonominya lemah, tidak mungkin menghambat mereka untuk melakukan aktifitas ekonomi terlebih sektor informal merupakan penopang ekonomi utama warga Jakarta,” lanjut Teguh.

Ombudsman berharap Kementerian Sosial dapat menjadi leading sector pendataan dan pendistribusian kompensasi bagi masyarat yang terdampak pembatasan PPKM. “Kami berharap setelah Mensos melakukan pembagian telur rebus bagi sejumlah warga DKI di tengah PPKM, beliau tak berhenti di sana tapi juga menjadi leading sector bagi pendataan dan pendistribusian kompensasi pembatasan selama PPKM untuk mendukung pemerintah daerah yang terkena kebijakan PKKM. Kalau bisa bukan hanya Jakarta tapi daerah lainnya,” menurut Teguh lagi.

Hal terakhir yang sarankan oleh Ombudsman Jakarta Raya adalah dukungan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) terkait penambahan sarana dan prasarana kesehatan di wilayah Jakarta dan penyangga termasuk penyediaan rumah sakit darurat di Jakarta dan sekitarnya. “Kebijakan KPCPEN untuk memberlakukan PPKM mikro di tingkat hulu tidak akan mampu menekan dampak kenaikan transmisi Covid-19 dengan cepat dan berdampak ke hilir, ketersediaan ruang isolasi dan ICU di sarana dan prasarana kesehatan,” kata Teguh.

Baca :  Jaksa Agung ST BurhanuddinRaih Penghargaan Detikcom Awards 2023 Sebagai “Tokoh Restorative Justice”

Sepanjang pemantauan Ombudsman di rumah sakit yang ada di Jakarta dan sekitarnya, keterisian BOR (Bed Occupancy Rate) dan ICU di seluruh wilayah sudah diatas 80%. “Di wilayah Kabupaten Bogor, rata-rata sudah 100% dengan waiting list bagi pasien kritis di atas 10, bahkan waiting list pasien kritis di RSUD Cibinong untuk mendapat penanganan mencapai angka 41 antrian per 23 Juni 2021,” jelas Teguh.

“Padahal rumah sakit juga memiliki kewajiban melakukan penangan pasien non Covid yang juga kondisinya sudah kritis. Situasinya juga sama bagi pasien non Covid yang kritis, tidak ada kamar rawatan yang tersedia untuk mereka.”

“Kami percaya, pemerintah daerah dan pihak rumah sakit pasti sudah mengutamakan pasien kritis dan tidak menerima pasien Covid-19 tanpa gejala lagi, namun itu tetap tidak cukup. Perlu ada dukungan anggaran dari pemerintah pusat untuk menyiapkan rumah sakit darurat beserta sarana dan prasarananya selain realokasi dana DAU, DBH dan dana desa,” ujar Teguh lagi. Sebagai penutup, Teguh menyampaikan bahwa PPKM jangan menjadi solusi parsial, penanganan harus dilakukan dari hulu ke hilir. (Hoky)