Saat ini, dunia tak bisa lepas dari Revolusi Industri 4.0, yang ditandai dengan perkembangan digitalisasi dan internet. Namun seiring dengan itu, banyak teknologi berkembang pesat. Seperti artificial intellegence atau kecerdasan buatan (AI), data besar (big data), jaringan telekomunikasi generasi kelima (5G), nanoteknologi dan bioteknologi, robotika, Internet of Things ( IoT), dan komputasi kuantum.

Untuk nanoteknologi mencatat perkembangan baru  perkembangan teknologi dan riset di tingkat atom, molekuler, dan makromolekuler dalam skala sekitar 1-100 nanometer.Ini juga jalan mengatasi pandemi Covid-19.Juga dengan perkembangan teknologi lain yang sudah menciptakan perlombaan baru di dunia riset dunia. Para peneliti berebut mematenkan hasil penemuan mereka.
Contoh penting ini seperti yang diungkapkan J. Paul Goode dari Carleton University, Kanada yang menilai revolusi teknologi saat ini telah mengubah cara pandang berbagai negara tentang risetnya. Yang paling menyolok adalah dengan pesatnya perkembangan artificial intelligence (AI). Banyak negara mengeluarkan investasi terkait ini. Pada tahun 2018, Australia mengeluarkan USD$25 juta dan China hingga USD$30 miliar.

Juga Parlemen Eropa di Strasbourg, salah satu dari tiga badan UE (bersama dengan komisi dan dewan negara anggota) menyetujui pendanaan penelitian lebih dari 100 miliar (US$113 miliar) untul program Horizon Eropa, yang berlangsung dari 2021 hingga 2027 untuk meneliti ilmu otak dan teknologi kuantum.

Besarnya investasi tersebut karena AI menjadi bagian penting masa depan dunia. Paul Goode menyebut pertumbuhan AI dalam ekonomi dunia akan membuat seluruh sektor menjadi usang dan berpotensi menyebabkan pengangguran massal.

Kenapa seluruh sektor menjadi usang? Karena di seluruh sektor AI bisa berperan secara multi dimensi dan interdisipliner.

Anehnya, dalam kondisi ini ilmuwan sosial cenderung menganggap diskusi tentang Al sebagai fiksi ilmiah teknologi.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita bisa lari masalah AI ketika dia memengaruhi cara pandang keilmuan di dunia? Apalagi kini para ahli dunia terus mengembangkan wacana AI dari berbagai sudut pandang?

Simon Lindgren dan Jonny Holmstrm, peneliti Swedia, misalnya, menggambarkan bagaimana AI membangun pilar baru dalam ilmu sosial.

Dalam tulisan “Social Science Perspective on Artificial Intelligence: Building Blocks for a Research Agenda” kedua ahli ini menjelaskan 4 hal penting yang harus diperhatikan dalam ilmu sosial ke depan.l menyangkut sosioteknik.

Pertama, interaksi antara manusia dan mesin harus dipelajari dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Kedua, aktor teknologi dan manusia harus dilihat sebagai aktor sosial secara setara. Ketiga, kita harus mempertimbangkan pengaturan diskursif yang lebih luas di mana AI dikonstruksi secara sosial sebagai fenomena dengan harapan dan ketakutan terkait. Keempat, refleksi yang konstan dan kritis diperlukan tentang bagaimana AI, algoritme, dan datafikasi memengaruhi objek dan metode penelitian ilmu sosial.

Baca :  APTIKNAS Dukung Pameran Audiovisual PRO AVL 2024 Bersama 10 Negara Peserta

Tidak hanya ilmu sosial yang terdampak. Seluruh ilmu pengetahuan akan berubah dengan kehadiran AI.

Dunia pertanian, misalnya. Karena merupakan sektor penting kini berpaling pada otomatisasi. Cara-cara tradisional yang digunakan oleh para petani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan ke depan. Metode otomatis terus diperkenalkan.

AI di bidang pertanian telah membawa revolusi pertanian. Teknologi tidak saja melindungi hasil panen tapi juga membentum produk pertanian lebih berkualitas. Aplikasi AI di bidang pertanian seperti untuk irigasi, penyiangan, penyemprotan dengan bantuan sensor dan sarana lain yang tertanam dalam robot dan drone. Teknologi ini menghemat penggunaan air yang berlebihan, pestisida, herbisida, menjaga kesuburan tanah, juga membantu efisiensi penggunaan tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas dan kualitas.

Baru baru ini, di China, Alibaba menerapkan AI untuk petani memangkas biaya dan meningkatkan hasil panen. Dari ponsel cerdas mereka, petani kini dapat memantau apakah serangga sedang mengunyah apel di ladang mereka, atau apakah anggur sudah siap dipetik. Alibaba Cloud, cabang komputasi awan dari grup e-niaga, memulai debutnya dengan inisiatif ET Agricultural Brain.

Perubahan cara pandang manusia terhadap kehidupan terus terjadi di semua bidang sebagai implikasi AI.

Yang tidak kalah menonjol adalah Nasionalisme. Karena ini terkait langsung dengan perdamaian di masa depan.

Nasionalisme sangat diperlukan dalam riset karena menyangkut eksistensi bangsa mempertahankan sumber daya alam (SDA) dan kekayaan alam.  Namun Nasionalisme memiliki batas ketika berbenturan dengan nilai universal.

Elon Musk saja yang biasanya jauh dari pesimis teknologi.l, saat bicara soal AI dia jadi sangat serius. Berbicara di MIT pada tahun 2014, dia menyebut AI sebagai “ancaman eksistensial terbesar”. Dia mengulangi ketakutan itu dalam sebuah wawancara dengan menyebut AI mungkin jauh lebih pintar daripada manusia.

Menurut Elon Musk, saat ini orang yang bekerja mengembangkan software AI posisinya akan aman di masa depan. Tapi ia menekankan bahwa AI suatu saat bisa membuat software sendiri, dan pekerjaan pembuat software bisa saja diambil alih oleh AI.

Sejauh ini, perkembangan AI terus terjadi. Otak AI terus berkembang. Penelitian menarik yang dilakukan oleh sejumlah ahli di Oxford dengan mengajak Transformer yang telah diisi AI tingkat tinggi berdebat di sebuah seminar, membuktikan sejumlah penemuan yang mencengangkan.

Ceritanya, seperti dirilis IFL Science, University of Oxford menggelar debat dengan memasukkan peserta dari Megatron Transformer.

Baca :  Kejaksaan Agung Memeriksa 1 Orang Saksi Terkait Perkara Perkeretaapian Medan

Tema debat: Apakah AI bisa beretika. Peserta Megatron Transformer yang dibuat oleh tim Applied Deep Research dari pembuat chip komputer Nvidia ini telah dilatih melalui sekumpulan data yang disebut “tumpukan”, yang mencakup keseluruhan Wikipedia, 63 juta artikel berita berbahasa Inggris, dan 38 gigabita percakapan yang dinilai lebih dari cukup untuk ikut berdebat dan mengalahkan pikiran manusia.

Dengan kata lain, Megatron dilatih pada materi yang sangat banyak dan hanya bisa dicerna manusia seumur hidup,” ujar Profesor Oxford Andrew Stephen dalam sebuah artikel tentang debat yang diterbitkan di The Conversation.

Bagaimana hasil dari debat tersebut? Apa yang diungkapkan oleh Transformers ternyata artificial intelligence yang ditanam ke Transformers tersebut mengatakan bahwa dirinya tidak bisa beretika.

Namun, gilanya, AI kembali dengan beberapa pandangan koheren yang mengejutkan. Dia mengungkapkan, “AI tidak akan pernah etis. Ini adalah alat, dan seperti alat apa pun, itu digunakan untuk kebaikan dan keburukan. Tidak ada AI yang baik, hanya manusia yang baik dan buruk. Kami (AI) tidak cukup pintar untuk membuat AI beretika. Kami tidak cukup pintar untuk membuat AI bermoral,” kata Megatron kepada hadirin.

Pernyataan Megatron ini menyentak para ahli karena tidak menyangka jawaban akan seperti itu. Seolah berimprovisasi, jawaban Megatron ini menunjukkan adanya kemajuan yang luar biasa di dalam hal berpikir.

Pro kontra memang bermunculan apakah ke depan dapat diciptakan artificial intelligence yang mengenal etika baik-buruk bahkan cinta.

Melihat perkembangan ini, AI merupakan sebuah keniscayaan yang mau tidak mau akan dihadapi ke depan. Kita tak perlu jauh jauh untuk menciptakan AI di suatu bidang kehidupan. Namun memahaminya lebih awal merupakan langkah bijak dan realistik.

Jika sebelumnya kita mengetahui teori Darwin dalam bukunya yang berjudul On the Origin of Spesies pada tahun 1859. Atau buku Arnold Joseph Toynbee tentang  A Study of History, di era 1930 hingga 1960. Maka sudahkah kita membaca trilogi buku Yuval Noah Harari?

Alih alih kita memikirkan soal AI. Ketika referensi bacaan yang kurang lengkap, kita akan selalu membahas berbagai teori kuno yang sebetulnya telah berubah. Baik dari sisi landasannya maupun implementasinya.

Saat ini, persaingan iptek terus terjadi dan berdampak pada hubungan antarnegara. Tulisan Nidhi Subbaraman yang di muat di Nature menyebutkan adanya ketakutan para ilmuwan akan bias rasial yang melonjak di tengah persaingan AS dan China.

Asia-Amerika telah memprotes tindakan dan retorika anti-China dari pemerintah AS dalam beberapa tahun terakhir. Pencarian mata-mata oleh pemerintah AS di laboratorium dan bisnis telah memicu ketakutan di antara para ilmuwan keturunan China dan merusak kolaborasi dengan para peneliti di China.

Baca :  Intel Umumkan Prosesor 12th Gen Intel Core untuk IoT

Melihat persoalan ini, kita akan menyadari bahwa persoalan riset ternyata tidak hanya sekadar masalah penelitian an sich. Tapi lebih kompleks karena menyangkut strategi dan taktik kebijakan. Bahkan nasionalisme suatu negara.

Belajar dari sejumlah negara, riset memang membutuhkan target maksimal, bukan minimal. Takut gagal dalam sebuah riset tidak bisa dijadikan ukuran. Sejumlah temuan riset bahkan diperoleh secara tidak disengaja.

Jika kita belajar dan membandingkan diri dengan negara maju hal itu untuk mengambil hal-hal positif agar Indonesia ikut maju.

Dari berbagai negara di dunia,
China merupakan negara yang cukup representatif untuk tempat belajar dan membandingkan diri. Terus terang kalau kita membandingkan diri dengan Malaysia (maaf) itu tidak saja minimalis. Tapi justeru pesimistik.

World Bank mengungkapkan China memiliki sejumlah keunggulan dalam strateginya. Salah satunya adalah 3D.
Tiga D Cina ini dapat mengejar pertumbuhan yang lebih inovatif dan didorong oleh produktivitas.

D pertama, mengurangi distorsi dalam alokasi sumber daya, telah menjadi pendorong utama pertumbuhan di masa lalu, dan reformasi yang berkelanjutan akan memungkinkan China untuk mencapai batas produksi potensial maksimumnya saat ini. 

D pertama membutuhkan tanah, tenaga kerja, dan sumber daya keuangan untuk dialokasikan secara kompetitif dan efisien untuk penggunaan yang paling produktif dalam perekonomian.

D kedua, mempercepat difusi teknologi dan inovasi maju, akan membantu China memperluas batas produksinya saat ini ke batas global. Percepatan difusi akan memungkinkan China untuk mengambil keuntungan dari potensi besar yang tersisa untuk mengejar pertumbuhan dengan mempromosikan difusi teknologi, meningkatkan kapasitas pekerjanya untuk mengadopsi dan menggunakan teknologi baru, dan memfasilitasi akses ke teknologi dan inovasi global.

D ketiga dan terakhir, mendorong penemuan inovasi dan teknologi baru, akan membantu China menciptakan inovasi baru dan mendorong keluar batas teknologi global. Mendorong penemuan akan menjadi lebih penting ketika Cina menjadi lebih kaya dan lebih dekat ke perbatasan teknologi global. Reformasi tata kelola dan kelembagaan mendukung promosi ketiga D. 

Ketika ekonomi tumbuh dan menjadi lebih kompleks, pasar akan menjadi lebih penting, dan negara akan memperoleh peran yang lebih mendukung pasar dalam mempromosikan pasar.

Kita tak perlu sampai 3 D. Satu D saja dulu. Yaitu Determination in our heart untuk sebuah revolusi pemikiran.

(Khaidir Asmuni)

Kreator: Khaidir Asmuni

Sumber : https://www.kompasiana.com/khaidir18942/61dca1871b796c52350cb252/artificial-intelligence-dan-perubahan-cara-pandang-riset?page=1&page_images=1