BISKOM, Salatiga – Peristiwa politik mengejutkan terjadi pada 29 September 2022 dimana Hakim Konstitusi Aswanto, diberhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan alasan kecewa dengan kinerja yudisialnya. Pada saat bersamaan, DPR juga memutuskan untuk mengganti posisi Aswanto dengan Guntur Hamzah melalui proses yang dianggap tidak transparan dan objektif. Hal tersebut jelas mengganggu kemerdekaan atau kemandirian Mahkamah Konstitusi sebagai kekuasaan kehakiman.
Dalam rangka merayakan ulang tahun ke-4 Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Universitas Kristen Satya Wacana (PSHTK UKSW) dan Dies Natalis ke 63 Fakultas Hukum UKSW, PSHTK UKSW tergerak untuk menyelenggarakan kegiatan Talkshow dengan topik “Independensi Kekuasaan Kehakiman”. Kegiatan Talkshow diselenggarakan pada Selasa, 18 Oktober 2022 melalui zoom meeting dengan dihadiri oleh 3 (tiga) narasumber berkompeten yaitu Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum. (Hakim MK RI 2003-2008 & 2015-2020, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana), Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum (Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta), dan Dr. Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H. (Peneliti PSHTK & Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Kristen Satya Wacana).
Berkenaan dengan tindakan DPR dalam memberhentikan Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna menegaskan bahwa prinsip fundamental yang menjadi landasan utama dalam suatu negara demokrasi yang berdasar pada hukum (constitutional democratic state) harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu: constitutionalism (menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi) dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman (the independence of the judiciary). Secara konstitusional, Indonesia merupakan negara constitutional democratic state sehingga tindakan DPR dalam menghentikan Hakim Konstitusi Aswanto mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hal tersebut merupakan ancaman langsung terhadap eksistensi negara hukum.
Lebih lanjut, Ni’matul Huda menitikberatkan pada 2 (dua) aspek yaitu Pertama, pentingnya check and balances dalam hubungan lembaga negara sehingga diharapkan kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, dan dikontrol dengan sebaik-baiknya. Kedua, pentingnya judicial review oleh MK terhadap produk DPR karena produk DPR tidak boleh dibiarkan bertentangan dengan konstitusi dan apabila tetap dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya proses deligitimasi konstitusi, pelanggaran hak konstitusional warga negara, dan berujung pada ambruknya demokrasi.
Terakhir, Titon Slamet Kurnia berpendapat, tindakan DPR memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto jelas merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Kesalahan tersebut terutama karena melanggar asas security of tenure yang sangat penting secara fungsional untuk asas independensi yudisial. Namun praktik tersebut seharusnya menjadi pintu masuk dibukanya ruang disagreement antara pembentuk Undang-Undang dan MK atau dikenal dengan check and balances supaya institusi pengujian yudisial konstitusionalitas undang-undang ini dapat tetap langgeng di masa depan. Jika saluran untuk berbeda pendapat ini tersedia, mungkin DPR tidak akan blunder. (Vin)